Mohon tunggu...
Mitha Aullia
Mitha Aullia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

seorang mahasiswa yang saat ini akan memasuki semester akhir

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Tantangan Perjalanan ke Cilubang Berbuah Manis

24 Desember 2021   01:50 Diperbarui: 24 Desember 2021   02:07 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerbang selamat datang provinsi Banten | dokumen: Mitha Aullia

Keheningan rumah dengan seisinya memutar balikan memori dan mengingatkan pengalaman saya bersama salah satu kawan saya, Melisa ketika mengunjungi rumah Neneknya di Kampung Cilubang, Kecamatan Cilograng, Kabupetan Lebak Banten. 

Pada awal Desember 2021 ketika senja mulai menghampiri, separuh cahaya jingganya pun menyelimuti langit Kota Bogor serta waktu menunjukkan 15.30 WIB, saya dan Melisa segera menancap gas Sang kuda besi menuju kediaman Nenek.

Mengarungi padatnya lalu lintas cukup melelahkan. Beruntungnya, cuaca sore itu seakan bersahabat dengan kami. Rintik hujan yang biasa turun membasahi bibir bumi tidak datang menyapa, digantikan oleh awan teduh lengkap dengan angin kecil nya membuat perjalanan kami kala itu sedikit menenangkan.

Tantangan mulai terjadi tepat 18.30 WIB saat kami tiba di salah satu kawasan industri, waktu tersebut menandakan bubarnya karyawan dari pabrik untuk pulang ke rumah masing-masing. 

Tidak sampai hitungan menit, ribuan karyawan keluar dari balik gerbang pabrik dan berhamburan di jalan raya yang kami lintasi sehingga kami terjebak dalam kemacetan selama 30 menit. 

Selepas macet, tanpa disadari kami sudah menginjakkan kaki di Parung Kuda, Kabupaten Sukabumi. Namun, masih harus menempuh waktu 3 sampai 4 jam untuk mencapai tujuan yaitu Kampung Cilubang.

Sejak tiba di Parung Kuda dan melewati daerah ini, kami merasakan perjalanan yang berbanding kebalik dari beberapa jam lalu. Jalanan kala itu terbilang cukup berbahaya dengan minimnya pencahayaan dan rute yang meliuk-liuk karena banyaknya tikungan disetiap jalan, selain itu hanya satu sampai dua kendaraan yang berjalan beriringan dengan kami. Kehati-hatian dalam berkendara sangat diutamakan ketika kami melewati jalan tersebut.

Minimnya pencahayaan mengaburkan kami dari pemandangan indah di sekitar yang mestinya sedap dipandang ketika matahari memunculkan wujudnya. Daerah ini masih asri dengan penghijauan, pohon yang menjulang dan pantai, pada malam itu tidak dapat kami saksikan guna memanjakan mata. Bahkan rumah warga sekitar pun tidak tampak begitu jelas. Lagi-lagi karena minim nya pencahayaan.

Semilir angin yang semakin dingin seakan memberi isyarat bahwa hari semakin larut. Sangat tidak mungkin rasanya kami untuk tetap meneruskan perjalanan yang masih panjang ini dengan keadaan jalan yang semakin gelap serta tubuh yang pegal bukan main. Akhirnya Melisa memutuskan menumpang rehat sejenak untuk sekadar merebahkan tubuh di kediaman sang Bibi seraya menunggu matahari terbit.

Perlahan mentari merambat naik ke permukaan langit, berniat menggantikan tugas sang bulan untuk menyinari bumi. Suara ayam berkokok serta burung-burung dipagi hari menjadi suara latar akan dimulainya aktivitas di hari yang sejuk ini. Aroma khas pedesaan dengan rasa dingin yang menyapa kulit, membuat mata yang tadinya tertutup rapat kini mulai terbuka.

Tanpa berlama, kami memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan. Bibi dengan kerutan tipis di wajahnya menandakan bahwa usianya tak lagi muda. Beliau mendekap Melisa sangat erat sebagai salam perpisahan pertemuan satu malam mereka setelah sekian lama. Dari posisi saya berdiri, masih terdengar bisikan lembut yang di ucapkan Bibi kepada Melisa. "Hati-hati dijalan ya, sering-sering main kesini. Nengokin Bibi walaupun sehari kaya sekarang juga gapapa".

Kami kembali menyusuri jalan sekitar Kabupaten Sukabumi di pagi itu dengan perasaan riang dan harapan dapat secepatnya sampai ditempat tujuan. Pemandangan yang indah kali ini dapat saya lihat dengan jelas, pantai dengan beberapa kapal nelayan menjadi pemandangan favorite saya. 

Namun sepertinya setiap hal tidak bisa berjalan selancar apa yang diharapkan, karena tiba-tiba tepat setelah kami memasuki gerbang perbatasan Provinsi Banten, air dari langit perlahan turun membasahi bumi.

Dengan hujan yang menemani, kami tetap melanjutkan perjalanan. Jalan demi jalan kami lewati, menanjak, menurun, berbelok hingga akhirnya tujuan ada didepan mata. Stir yang dikendalikan berbelok kearah kanan memasuki sebuah gang atau tepatnya kami sudah memasuki Kampung Cilubang.

Sisa rintik hujan sore itu menjadi saksi kedatangan kami yang disambut hangat oleh Nenek dari Melisa. Wanita lansia dengan tubuh yang sudah tidak sekokoh dulu berjalan dengan punggung bongkoknya menyambut sang cucu yang datang. Seutas senyum tercetak diwajahnya, melihat cucu yang tumbuh sehat membuat rasa letih yang Nenek rasakan lenyap begitu saja.

Hawu milik Mak Erum | dokumen: Mitha Aullia
Hawu milik Mak Erum | dokumen: Mitha Aullia

Rumsanah atau yang akrab disapa Mak Erum dengan perasaan senang yang tidak dapat ditutupi, menerima bingkisan ikan segar yang tadi sempat saya dan Melisa beli. Beliau bergegas mengolah ikan segar tersebut secara sederhana, mengingat alat memasak yang ia gunakan masih memakai tungku api atau biasa disebut Hawu.

Saat bulan kembali menunjukkan kehadiran nya, saya, Melisa dan Mak Erum berkumpul diruang tengah rumah sederhana ini. Tanpa adanya jaringan internet dan televisi, kami hanya menikmati waktu dengan bercengkrama, walaupun sejujurnya saya lebih banyak diam mendengarkan perbincangan antara Nenek dan Cucu tersebut, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah mereka yang tidak dapat sepenuhnya saya pahami.

Sampailah kami di hari terakhir liburan singkat ini. Pagi di kampung Cilubang terasa sangat menenangkan. Jalanan licin bekas guyuran hujan semalam tidak mematahkan semangat para warga untuk tetap beraktivitas. Dari teras rumah Mak Erum saya bisa melihat anak-anak dengan seragam sekolahnya berlalu lalang serta para petani yang berjalan dengan cangkul digenggaman.

Kampung Cilubang sangat menggambarkan bagaimana sebuah perkampungan. Jarak rumah antar warga tidak terlalu jauh dengan rasa keakraban bak saudara sendiri. Warga disini sangat ramah, menyapa saya dan Melisa yang saat itu berjalan santai menikmati udara pagi. Banyak terdapat lahan pertanian tempat warga sekitar bekerja, menambah kesan asri dengan hijaunya dedaunan padi.

Tak terasa hari semakin siang, saya dan Melisa bergegas untuk pulang. Saat mengantar kami keluar rumah, Mak Erum memeluk kami secara bergantian. Saya dan Melisa pamit dengan perasaan hangat yang menyelimuti.

Melihat pantai yang menjadi pemandangan di sepanjang jalan pulang membuat saya dan Melisa memutuskan untuk mampir sejenak, sekadar menikmati hembusan angin serta pasir yang menggelitik telapak kaki.

Pantai Karang Hawu | dokumen: Mitha Aullia
Pantai Karang Hawu | dokumen: Mitha Aullia

Pantai Karang Hawu, menjadi pilihan kami. Pantai yang saat itu sepi pengunjung membuat kami dapat lebih leluasa menikmati suara deburan ombak serta semilir angin yang berhembus. Senyum diwajah saya terus tertarik lebar ketika melihat ombak yang berlomba datang ke tepi. Tenang sekali rasanya.

Perjalanan 3 hari 2 malam itu benar-benar meninggalkan kesan yang mendalam untuk saya, meski menantang namun berbuah kemanisan. Segala keterbatasan saya rasakan baik selama perjalanan atau hidup di daerah ini, membuat saya berpikir bahwa apapun yang kita alami, bersyukur tetap menjadi pilhan utama. 

Teringat akan Mak Erum, dalam benak saya berdoa, semoga Mak Erum selalu diberi kesehatan di usia nya saat ini serta  sehingga kemudian hari Melisa dapat kembali mengajak saya mengunjungi beliau. (MA)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun