Mohon tunggu...
Mita Hapsari
Mita Hapsari Mohon Tunggu... -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tidak Ada Kata Berpisah Dalam Kehidupan Pernikahan

30 April 2016   10:29 Diperbarui: 30 April 2016   11:18 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini kisah tentang seorang teman, ibu muda yang cantik berputra tiga. Dua minggu yang lalu kami saling meluangkan waktu untuk bertemu di sebuah pondok kopi kecil di utara kota Jogjakarta. Wajahnya seperti biasa selalu segar dan berseri. Dari jauh senyumnya sudah terlihat. Umurnya menjelang 40 tahun saat ini. Dan herannya, ia tidak sabar menunggu ‘life begin at 40-nya. “Aku yakin ada makna yang dalam dibalik kata-kata itu,” celetuknya sumringah ditengah obrolan kami.

Sembari menyesap latte-nya ia menambahkan, “perjalanan hidup ini mengajarkan banyak hal, baik yang rumit, menyakitkan maupun membahagiakan. Tapi kata seorang temanku, besi terbaik ditempa dalam api terpanas. Perjalanan hidup yang penuh kerikil bahkan batu tajam, apabila bisa dimaknai dengan positif, akan membuahkan pelajaran paling berharga dalam kehidupan kita. Dan kita tidak akan pernah menyangka, ketulusan kita berbagi dengan orang lain, sekecil apapun ternyata berdampak besar tanpa kita sadari.” Mata indahnya mulai menerawang jauh. 

Aku terkesiap memandangnya. Wajah cantik ini aku akui selalu membaca senyum setiap kali berbicara. Padahal aku yakin hati dan pikirannya senantiasa bergemuruh. Ia seorang ibu -yang sejauh aku mengenalnya-jarang sekali mengeluh. Entah mengapa, setiap berkata-kata selalu terasa dalam dan menggelitik si lawan bicaranya untuk berpikir.

Entah merasa tertampar atau merasa terbukakan pikirannya, dsb. Kali ini aku merasa ia ingin mengungkapkan sesuatu. Buah pengalaman dan kontemplasi pikirannya yang sudah bebas dari keluhan. Aku sangat mengagumi kemampuannya ini. Sedikit gugup menanti. Demi mengalihkan perhatian, aku menggeser cangkir kopiku yang tiba-tiba terasa menjauh. Dan benar saja, butiran kata-kata mulai meluncur tenang dari bibirnya.

“Beberapa tahun yang lalu, aku pulang mengunjungi ibuku. Sedari dulu, ada sebuah pertanyaan besar yang mengganjal di pikiranku. Pertanyaan tentang seputar kehidupan pernikahan orang tuaku yang tidak pernah terlihat bahagia di mataku. Seringkali pertanyaan itu sudah berada di ujung lidah, tapi kembali tersangkut, tidak mampu aku ungkapkan. Pada akhirnya, moment itu datang.

Saat aku sudah menjelma menjadi wanita dewasa, mampu melihat masalah dengan lebih obyektif dan mengesampingkan emosi. Kami sedang berada didalam mobil waktu itu. Hanya berdua. Dan aku bertanya pada ibuku. "Mengapa ? Mengapa pernikahan yang tidak pernah terlihat bahagia, penuh dengan kekerasan dalam rumah tangga baik verbal, fisik maupun mental itu tetap dipertahankan ?

Aku kira, ini adalah pembicaraan antara dua orang ibu. Aku sudah bisa memahami bahwa kebahagiaan adalah hak setiap orang dan perlu diraih. Sesaat ibuku terdiam. Mungkin tidak menyangka pertanyaan semacam ini bakal terlontar dari mulutku saat itu. Setelah sempat terdiam, ibuku menjawab lirih, ‘Ibu cuma memikirkan kebahagiaan anak-anak. Ibu tidak ingin, anak-anak ibu tumbuh dan kehilangan kedua orangtuanya karena berpisah. Jadi apapun yang terjadi, ibu tetap bertahan, demi anak-anak.’

Aku pikir, semua orang yang pernah mengenal keluargaku, akan sepakat dan paham sepenuhnya, bahwa seandainya ibuku meminta bercerai pada saat itu, akan sangat dimaklumi dan dimengerti keputusannya. Jadi, bisa dibayangkan kan, sosok suami atau ayah seperti apa yang terpampang disini? Tapi ibu, beliau memilih bertahan, demi anak-anak. Cuma itu. Dengan menggadaikan kebahagiannya sendiri, karena kebahagiannya sudah ia letakkan di hati anak-anaknya.

Sebenarnya, aku menangis dalam hati mendengar penjelasan singkat ini. Aku tidak mampu meneruskan pembicaraan itu. Diatas mobil yang masih melaju, aku dan ibuku sama-sama terdiam. Otakku berputar, mengenang seluruh perjalanan hidupku. Melakukan refleksi atas satu keputusan ibuku di masa lampau ini.

Selama hidupku, aku adalah perempuan yang tidak pernah berhenti menyesali, memiliki ayah yang tidak pernah memberikan ketenangan dalam rumah. Seorang ayah yang tidak pernah menjadi teman. Seorang ayah yang tidak menjadi pelindung bagi kami. Betapa minimnya kedekatan kami. Aku terus-menerus menyalahkan perannya selama ini yang membuatku kesulitan membuat relasi dengan lawan jenis.

Tapi keputusan seorang ibu dimasa lalu ini, ternyata memberiku dampak yang sangat besar bagi kehidupan relasiku hingga puluhan tahun mendatang. Keputusannya ini mengendap di alam bawah sadarku. Pada cara pandangku dalam mempertahankan sebuah relasi. Selama ini aku selalu berupaya mempertahankan sebuah hubungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun