Mohon tunggu...
Mita Cornila
Mita Cornila Mohon Tunggu... Mahasiswa - murid

Bukan orang kreatif, tapi maksa terjun di dunia kreatif.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sahabat di Tangga Masjid

19 September 2022   21:38 Diperbarui: 19 September 2022   21:41 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wajahku masih sedikit basah. Begitu dingin saat angin menerpa. Orang-orang di bawah sana dengan cepat-cepat berteduh pada bangunan ini. Melepas alas, bergegas menuju sumber air untuk mendinginkan kepala mereka yang sekiranya panas akibat cuaca dan tugas. Dan aku beranjak keluar, saat ruangan yang cukup besar ini mulai penuh dengan orang-orang yang ingin beribadah.

Kulangkahkan kaki menuju anak tangga yang diatasnya dinaungi dedaunan mungil dari sebuah pohon. Aku pun tak tahu itu pohon apa. Yang pasti, daunnya tetap hijau dan sedikit yang gugur jika dibanding dengan dedaunan pohon lain.

Pandanganku masih sibuk mengamati wajah-wajah yang jauh. Berharap ku temui wajah yang sudah lama tak jumpa. Wajah yang selama tiga tahun tak ditemui. Wajah yang sama-sama dusta menunjukkan diri sedang baik-baik saja. Tuhan, aku merindukannya, batinku.

Sedikit ku dongakkan kepala. Menatap langit biru yang menjadi latar dedaunan mungil itu. Perpaduan yang sempurna. Aku dengannya sama-sama menyukai perpaduan ini.

"Apa kabar?" Spontan aku menoleh ke sekelilingku saat mendengar suara itu.

"Hey, apa kabar?" Bisik itu masih terdengar. Mungkin ku kira itu suara dari orang-orang sekitarku yang sedang menanyakan kabar dengan lawan bicaranya.

"Apa kabar, sahabat?" Lagi, untuk ketiga kalianya. Aku masih menoleh-noleh mencari darimana bisikan itu, dan akhirnya aku putuskan menjawab, "Baik," dengan begitu lirih.

"Bodohkah jika aku menjawabnya?"batinku.

"Baguslah, dimana sahabatmu itu?"

Apa-apaan ini. Apa iya telingaku sedang bermasalah. Aku pun menggosok-gosok telinga berharap kembali menormal.

"Apa iya aku harus mengulang tiga kali lagi?"

"Siapa kamu?" sahutku dengan nada yang gemetar.

"Yang menaungimu."

Aku mengerutkan alis, "Pohon?"

"Iya."

Aku mencoba mengamati sekitarku, mereka tampak biasa saja. Apa mungkin suara itu hanya aku yang dapat mendengarnya. Dan kini tanda tanya berkelebatan di kepalaku.

"Dia begitu sering ke sini, sama sepertimu, duduk menyendiri di atas tangga dan mengamatiku tanpa bosan." Suara itu kembali terdengar dan aku hanya memilih mendengarnya. Rasanya ingin sekali aku segera beranjak dari sini, tetapi aku masih belum berniat untuk pulang. Dan nyatanya aku tetap duduk di anak tangga ini.

"Apa kalian akan bertemu di sini? Aku sudah lama tak mendengar cerita kalian."

Baru beberapa menit aku tenang karena tidak mendengar bisikan. Tetapi hal itu harus terdengar kembali. Namun, bisikan itu membuatku benar-benar mengingat teman akrab yang sudah lama tak ku temui.

Saat itu memanglah menjadi titik terlemah kami berdua. Dalam beberapa waktu aku sempatkan duduk di tangga masjid ini, menunggu, menemani, dan mendengar ceritanya. Keluh kesahnya. Namun, sudah tiga tahun berlalu, kami tidak saling temu. Bahkan hanya sekedar melalui pesan singkat, itu pu tak pernah. Hanya melihat cerita yang dibagikan, rasanya seperti sudah cukup mengabarkan jika ia masih baik-baik saja.

"Kau tahu, kami sudah lama tak bertemu."Tanpa ku sadari, kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku.

"Karena kalian tidak saling berkomunikasi,"sahut suara itu lagi. "Andaikan salah satu dari kalian bisa membuang pikiran 'sebagai pengganggu' pasti pertemanan kalian tak akan serenggang ini."

"Andai kau tahu, betapa susahnya melakukan hal itu." Aku menghela napas. "Sudahlah, tak ku temui wajahnya hari ini, sudah sore, aku mau pulang." Aku telah berdiri, membenahi tas ranselku yang ringan dan menuju anak tangga paling bawah untuk memakai sepatu."

"Aku dengar, besok aku akan dipangkas oleh petugas kebersihan kampus. Jadi, apakah kalian akan tetap sering kemari?"

Aku hanya terdiam mendengar suara itu sembari menatap dahan dan daun-daun kecil di atasku.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun