Syahbandar yang sedang sibuk memeriksa catatan dengan seorang pegawainya mengangkat pandang sekilas. "Oh, engkau, San," jawabnya sambil membalas sembah. Kemudian pandangnya kembali menekuri permukaan meja. "Cepat sekali engkau kembali."
"Ampun, Tuan Syahbandar. Saya langsung berlayar kemari setelah dari Pasai."
Syahbandar yang menyadari adanya kejanggalan mengalihkan perhatian dari pekerjaannya. Nakhoda itu, Santika namanya, adalah teman lama Syahbandar. Mereka seangkatan ketika belajar di Perguruan Naga dulu. Kecuali bila melibatkan punggawa lain, perbincangan di antara keduanya jarang menggunakan gaya bicara resmi. Oleh sebab itu, begitu Syahbandar melihat raut wajah kawannya, tahulah dia ada yang tidak beres.
"Ada apa? Bicaralah seperti biasa."
Santika malah menundukkan pandang dan diam. Sikapnya itu semakin membangkitkan penasaran. Syahbandar lantas mengubernya dengan pertanyaan.
"Kenapa kau langsung kembali? Bukankah engkau ada urusan dagang di Malaka?"
Santika langsung menegakkan pandang ketika mendengar pertanyaan terakhir. Syahbandar bisa dengan jelas melihat kekalutan yang terpancar dari wajah tegang Santika. Mata mereka bertemu hanya untuk menularkan resah dari satu pihak ke pihak lainnya. Kegelisahan yang dibawa Santika dari seberang lautan telah sampai kepada Syahbandar.
Santika mengangkat sembah lagi. Kali ini tinggi hingga kedua telapak tangannya yang tertaut berada tepat di depan wajah. Meringis hingga terpejam matanya, dia sedikit menundukkan kepala.
"Beribu ampun, Tuan Syahbandar! Sebab saya langsung berlayar kemari, tidak mampir ke Malaka, lantaran saya mencari selamat, Tuan. Malaka, Tuan...." Santika menguatkan diri untuk membuka mata dan menatap Syahbandar yang manik matanya membesar menyambut kabar yang dia dengar. "Malaka jatuh ke tangan Peranggi, Tuan!"
________
Dikutip dari novel Naga Angin 1