Mohon tunggu...
Jannu A. Bordineo
Jannu A. Bordineo Mohon Tunggu... Penulis - Pengarang

Jannu A. Bordineo, lahir di Gersik, sebuah kampung di Kabupaten Penajam Paser Utara yang sering disalah kira dengan salah satu kabupaten di Jawa. Lulusan teknik yang menggandrungi sastra. Mulai menulis cerita sejak ikut lomba mengarang cerpen sewaktu SD. Buku kesukaannya adalah Jiwa Pelaut karya Moerwanto. Temui dia di kedalaman hutan atau di keluasan lautan, karena dia pendamba ketenangan. http://www.lautankata.com/ fb.com/bordineo IG: @bordineo.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kabar dari Seberang

22 Maret 2020   10:24 Diperbarui: 22 Maret 2020   10:41 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Syahbandar yang sedang sibuk memeriksa catatan dengan seorang pegawainya mengangkat pandang sekilas. "Oh, engkau, San," jawabnya sambil membalas sembah. Kemudian pandangnya kembali menekuri permukaan meja. "Cepat sekali engkau kembali."

"Ampun, Tuan Syahbandar. Saya langsung berlayar kemari setelah dari Pasai."

Syahbandar yang menyadari adanya kejanggalan mengalihkan perhatian dari pekerjaannya. Nakhoda itu, Santika namanya, adalah teman lama Syahbandar. Mereka seangkatan ketika belajar di Perguruan Naga dulu. Kecuali bila melibatkan punggawa lain, perbincangan di antara keduanya jarang menggunakan gaya bicara resmi. Oleh sebab itu, begitu Syahbandar melihat raut wajah kawannya, tahulah dia ada yang tidak beres.

"Ada apa? Bicaralah seperti biasa."

Santika malah menundukkan pandang dan diam. Sikapnya itu semakin membangkitkan penasaran. Syahbandar lantas mengubernya dengan pertanyaan.

"Kenapa kau langsung kembali? Bukankah engkau ada urusan dagang di Malaka?"

Santika langsung menegakkan pandang ketika mendengar pertanyaan terakhir. Syahbandar bisa dengan jelas melihat kekalutan yang terpancar dari wajah tegang Santika. Mata mereka bertemu hanya untuk menularkan resah dari satu pihak ke pihak lainnya. Kegelisahan yang dibawa Santika dari seberang lautan telah sampai kepada Syahbandar.

Santika mengangkat sembah lagi. Kali ini tinggi hingga kedua telapak tangannya yang tertaut berada tepat di depan wajah. Meringis hingga terpejam matanya, dia sedikit menundukkan kepala.

"Beribu ampun, Tuan Syahbandar! Sebab saya langsung berlayar kemari, tidak mampir ke Malaka, lantaran saya mencari selamat, Tuan. Malaka, Tuan...." Santika menguatkan diri untuk membuka mata dan menatap Syahbandar yang manik matanya membesar menyambut kabar yang dia dengar. "Malaka jatuh ke tangan Peranggi, Tuan!"

________

Dikutip dari novel Naga Angin 1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun