Merah padam wajah Giras. Mendidih darahnya.
"Empu Sambara!" Kepala Desa berseru. "Amankan Tuan Giras."
Mendengar perintah yang menghinakan itu, Giras tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak bertindak. Dia ayunkan kaki, menendang Empu Sambara yang mengadang jalan.
Empu Sambara menangkis tendangan dengan lengan kirinya, dan dengan lengan yang sama mencengkeram kaki itu. Dia seret empunya kaki melalui kakinya. Giras balas menendang dengan kaki satunya yang bebas.
Empu Sambara terpental, sedangkan Giras terjatuh dari kuda.
Sementara itu, melihat junjungannya baku hantam dengan musuh, para prajurit Tuban pun memulai perkelahian. Pagar Desa Nyiurmelambailambai yang menjadi lawan mereka.
Pertarungan itu berlangsung singkat, karena tahu-tahu semua pada jatuh bergelimpangan, baik yang bertarung maupun yang tidak. Balai desa dan sekitarnya mendadak berubah menjadi perairan, menelan orang-orang yang ada di sana. Hanya ada satu orang yang tidak ikut menggelepar, yang punya kuasa menapak pada permukaan air. Orang itu, tidak salah lagi, dialah yang menanam sirep. Orang itu, seorang perempuan tua dengan raut wajah yang keras. Orang itu adalah Empu Nil.
Empu Nil berjalan menghampiri Giras yang bersusah payah menjaga tubuhnya agar tetap mengapung. Empu Nil memandang rendah Giras dan berkata:
"Jika binasa yang kalian cari, silakan melawan kami."
Bertukar pandang dengan Empu Nil, tidak tampak lagi keangkuhan di sorot mata Giras. Panglima satgas kapal peronda Tuban itu menyadari kekalahannya dari pendekar tua itu. Kalah pengetahuan, kalah pengalaman. Kalah siasat, kalah nekat. Pendek kata, kalah segala-galanya.
Empu Nil berbalik dan berjalan kembali ke tempatnya semula. Kesan yang muncul dari sikap Empu Nil adalah acuh tak acuh, terhadap Giras, terhadap semua. Empu Nil kembali menunjukkan kehebatannya. Di langkahnya yang ketiga, sirep yang dia pasang menghilang.