...
Sementara itu, Regep sudah sampai di balai desa. Kedatangannya yang terburu-buru menarik perhatian orang-orang yang ada di sana. Namun, Regep tidak peduli dengan wajah-wajah heran itu, dan terus melangkah maju menghampiri Empu Sambara. Dia abaikan paru-parunya yang kembang kempis menagih istirahat. Dia abaikan pula petinggi asing yang sedang menghadap.
Sesampainya di hadapan Empu Sambara, Regep lebih dahulu mengangkat sembah kepada Kepala Desa dan berkata, "Ampuni saya yang telah lancang menyelang, Pak Kades." Setelah itu dia berpaling ke Empu Sambara, menyembah dada dan berkata, "Darurat, ya, Empu. Awak kapal Tuban mengamuk, baku bunuh dengan awak kapal Demak. Cetbang mereka gunakan, Empu."
Serta-merta sekalian yang hadir terperanjat.
"Apa maksudmu dengan 'awak kapal Tuban mengamuk', hei, kau, orang Nyiur?" Giras yang pertama menanggapi. Menggarang. Dia maju mendesak Regep. "Kami bukan berandal yang tak tahu aturan!"
"Tenanglah, Tuan Giras." Empu Sambara melerai. Dia jauhkan bawahannya dari cengkeraman punggawa Tuban itu, yang lantas memelototi dirinya. Dia abaikan pelototan itu, lalu menanyai Regep, "Apa sebabnya?"
"Kapal dagang Demak lepas kendali dan menubruk kapal perang Tuban."
"Bedebah!" Giras menyumpah. "Minta ditumpas begundal-begundal itu!
Giras langsung pergi tanpa meminta diri ataupun memberi penghormatan. Sudah pasti dia dikuasai amarah. Di samping itu, tidak ada alasan baginya untuk bertahan lebih lama lagi di balai desa Nyiurmelambailambai. Serah terima bea jasa sudah selesai.
Giras sudah mendaratkan pantatnya di pelana, tinggal memberikan aba-aba pada kuda. Namun, saat itulah muncul Empu Sambara menahan tali kekang kudanya.
"Tuan Giras!" Suara itu, Ki Ageng Nyiur, Kepala Desa Nyiurmelambailambai, memanggil Giras sebelum laki-laki itu menyemburkan sumpah serapah ke Empu Sambara. "Tenanglah di sini. Biar Pagar Desa kami yang menangani perkara ini."