Yudas, engkau tahu bahwa aku telah menjualnya sebanyak satu kali. Tidak lebih banyak dari engkau (yang telah berkali-kali menjualnya). Malukah kau? Aku sangsi! Namaku Yudas, oh sungguh perutku mual melihat orang-orang menyebutmu... indah dan berarti!
Namaku"Ahh dasar setan!"
Brak!
"Eh? Ada apa mas?"
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Eh, a anu, tidak, tidak, maaf"
"Atau boleh saya tambah kopinya?"
"Eh, a anu, tidak, eh iya, maaf, terima kasih"
Damn! Jon mengepalkan tinjunya keras-keras seakan ingin meninju orang yang mengenakan kaos bertuliskan "Namaku Yudas...." Secangkir kopi pahit dihadapannya mengerling pias, sedangkan sebungkus rokok kreteknya mengajaknya membuat asap tebal,
"Ayo bakar aku, hembuskan asapnya kuat-kuat, agar matamu tak melihatnya!"
"Apa?"
"Ayo Jon..."
"Apa?"
"Ini kopinya mas, silakan"
"Eh? I iya, makasih"
"Anda baik-baik saja mas? Sepertinya agak pucat?"
"Eh? I iya, ti tidak, saya baik-baik saja, makasih"
"Baik mas"
Huf! Jon menghembuskan asap rokok kreteknya kuat-kuat hingga orang yang mengenakan kaos bertuliskan "Namaku Yudas" tak terlihat lagi. Namun malangnya, ia justru terbayang-bayang tulisan dan kalimat di kaos orang tersebut,
Namaku Yudas, engkau tahu bahwa aku telah menjualnya sebanyak satu kali. Tidak lebih banyak dari engkau (yang telah berkali-kali menjualnya). Malukah kau? Aku sangsi! Namaku Yudas, oh sungguh perutku mual melihat orang-orang menyebutmu... indah dan berarti!
Damn! Jon mengepalkan tinjunya keras-keras! Sebuah kalimat berita dari whatsapp menyadarkannya, kembali ke alam sadar, duduk sendiri di kedai kopi, menikmati secangkir kopi pahit dan sebatang rokok kretek sambil...
Jon, sori ya Jon, kamu ndak perlu ngurusi biayanya, semua sudah kesepakatan antara peserta dengan panitia, jangan sok pahlawan ya.
"Ahh dasar setan!"
Brak!
Huf! Jon kembali menghembuskan asap rokok kreteknya kuat-kuat hingga tiba-tiba tercekat lalu batuk,
"Uhuk huk huk"
Biaya total per peserta duaratuslimapuluhribu mas, aku sebenarnya keberatan, tapi kan bisa dicicil per bulan sampai satu tahun, sebuah pesan masuk lagi, meninju hatinya, melambungkan lamunannya kembali,
"... aku telah menjualnya sebanyak satu kali. Tidak lebih banyak dari engkau yang telah berkali-kali menjualnya. Malukah kau?"
"Ahh dasar setan!"
Brak! Tidak!
"Eh? Ada apa mas?"
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Eh, a anu, tidak, tidak, maaf"
"Atau boleh saya tambah kopinya?"
"Eh, a anu, tidak, eh iya, maaf, terima kasih"
Diregukknya kembali kopi pahit dan dihisapnya lagi kuat-kuat rokok kreteknya. Begitu terus berulang-ulang hingga ia tak dapat lagi melihat jari jemarinya, kakinya, mejanya, kopinya, kedainya...
Di tempat lain biayanya hanya lima puluh ribu per peserta mas..
Karunia itu kan gratis mas? Masak harus dibeli?
Bagaimana bila aku tak mampu beli?
"Mas?"
Namaku Yudas, engkau tahu bahwa aku telah menjualnya sebanyak satu kali. Tidak lebih banyak dari engkau (yang telah berkali-kali menjualnya). Malukah kau? Aku sangsi! Namaku Yudas, oh sungguh perutku mual melihat orang-orang menyebutmu... indah dan berarti!
"Anda baik-baik saja mas? Sepertinya agak pucat?"
"Eh? I iya, ti tidak, saya baik-baik saja, makasih"
"Baik mas"
Bagaimana bila aku tak mampu beli? Apakah aku akan berdosa mas?
Mas?
Mas?
Mas?
Kembali diregukknya kopi pahit dan dihisapnya kuat-kuat rokok kreteknya. Begitu terus berulang-ulang hingga ia tak dapat lagi melihat jari jemarinya, kakinya, mejanya, kopinya, kedainya... Â
Namaku Yudas,
engkau tahu bahwa aku telah menjualnya sebanyak satu kali.
Tidak lebih banyak dari engkau (yang telah berkali-kali menjualnya).
Malukah kau?
.
.
.
Jogja, Oktober 2024
miss sukarti dimejo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H