"Tapi Kang, saya musti mendapatkan "itu", bagaimanapun, biarpun"
"Jon anak pinter, coba pikir bentar ya, kalo ni ya, seratus jutaan lebih kita jadikan modal usaha, kita tekuni, kamu bisa jadi bos Jon, bukan karyawan yang cuma dapat upah minimum plus-plus..."
"Tapi Kang, saya musti mendapatkan "itu", bagaimanapun, biarpun"
"Tapi Kang, saya musti mendapatkan "itu", bagaimanapun, biarpun"
"Tapi Kang, saya musti mendapatkan "itu", bagaimanapun, biarpun"
"Apa? Harus pake "itu"?"
"I am affraid, yes.."
Setan! Sejak berdirinya pabrik-pabrik besar di sawah-sawah yang dulunya hijau, tak terhitung banyaknya sanak saudaraku yang jatuh gila! Gila pada sebuah ucapan, "itu". Entah apakah harus aku terjemahkan sebagai ijasah S1 atau S-teh! Tapi yang jelas, kini kulihat anak-anak muda sedang mengantri, mengemis pada empunya pabrik-pabrik besar di sawah-sawah yang dulunya hijau, sambil membawa kopian "itu" untuk ditukar dengan status karyawan dengan upah minimum plus-plus...
"Minimum plus-plus, minimum plus-plus, minimum plus-plus," kang Bocil bergumam seperti orang gila, sambil meratapi rumahnya yang tergadai.
"Kapan? Kapan bisa kutebus? Kapan? Kapan Jon? Mana gajimu Jon? Katanya kau sisihkan buat bayar cicilan utang-gadai?"
"Mana Jon?"