Mohon tunggu...
Anjani Eki
Anjani Eki Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Fiksi

Penikmat Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayangan Dunia Tanpa Suara

19 Agustus 2016   09:27 Diperbarui: 19 Agustus 2016   09:39 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kalau sampe Mak gue tahu, ada bule lagi ngejar gue. Bisa dilempar panci ama isi-isinya "

"Gila, sadis amat Emak lo"

Gadis itu bersembunyi dibalik punggung Denny. Teman sekolahnya. Rania tampak cantik. Mengenakan kebaya merah jambu. Dia mengangkat kain kebaya sebatas betis. Bersiap-siap lari. Mencari tempat bersembunyi.

"ni semua salah lo Den "

"Kok gue sih Ran ?"

"Ya iyalah, pasti lo yang bocorin ke Pieree, kalo gue dateng "

"Lagian Ran, bukannya enak ama dia. Masa depan cerah. Prancis Bu "

"Ogah gue. Lebih suka disini"

"Payah lo"

"Bodo amat"

Rania berhasil membujuk Denny untuk mengantarnya keluar. Mereka berjalan cepat menuju tempat parkir. Setelah mengucapkan terima kasih. Dengan terburu-buru gadis itu masuk ke mobil. Melaju secepat mungkin. Meninggalkan lelaki berbatik coklat di pesta pernikahan.

Lelaki itu hanya menatap binggung. Usahanya untuk menjodohkan Rania dengan Pieree gagal total.

Gadis itu supel. Mudah bergaul. Banyak teman pria yang jatuh hati padanya. Namun tidak satupun dari mereka yang berhasil singgah di hati Rania. Termasuk Denny.

"Kan kita janji Den, ga akan ada hubungan yang kompleks diantara kita "

Rania menutup rapat kisah cintanya dari sahabat dan teman dekat.

***

Rania mengganti high heelsnya dengan sepatu kets. Menghapus riasan diwajah. Gadis berkulit coklat itu berhenti di sebuah kafe. Khusus menjual ice cream. Beberapa pengunjung menatap aneh. Berkebaya dengan sepatu kets. Rania cuek. Dia berjalan menuju sofa di ujung ruangan. Menatap orang lalu lalang dari balik jendela besar.

"Mama kok ga pernah dikenalin Ran ?"

"Iya Ma, nanti dulu ya..."

Hatinya berkecamuk. Dia telah menyimpan satu nama.Tito. Tapi bagaimana mengatakan kepada Ibunya. Bahwa lelaki ini tidak seperti yang lain. Bukan karena dia pelukis yang penghasilannya tidak pasti. Ah, bukan itu.

Fisiknya sempurna. Senyum menawan. Tinggi seratus tujuh puluh lima centimer. Tidak gemuk. Tidak kurus. Proporsional untuk laki-laki. Saudara kandung Denny. Tapi sangat jauh berbeda.

Terjebak figur ayah. Mencari bayangannya di setiap laki-laki yang ditemui. Dulu sekali memang benar. Namun waktu telah mendewasakannya. Sedalam apapun kesedihan itu. Tak akan membuatnya hidup kembali.

Ada ketenangan dalam mata Tito. Nyaman. Bayangan itu memang ada dalam dirinya. Tapi gadis itu jatuh hati seutuhnya. Bukan embel-embel karena mirip ayah. Apalagi mencari bayangan ayah dalam diri pelukis itu.

***

Seorang laki-laki sedang duduk. Di ruangan besar penuh dengan kanvas. Mencampur warna merah dan biru. Menuang sedikit air. Menyatukan dengan kuas nomer empat. Ukuran sedang. Cukup untuk membuat siluet wajah gadis yang dikaguminya. Jari- jari berkelok membuat garis dengan tegas.Tidak sedikitpun ada keraguan. Dunianya sepi. Tanpa suara.

Rania berjalan mendekati laki-laki itu. Perlahan berdiri disampingnya. Tito tersenyum menatap Rania. Meletakkan kuas di atas meja. Diangkat kedua tangan. Merangkai huruf dengan jari-jari. Mengucapkan "Apa kabar cantik ?" dalam bahasa isyarat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun