Mohon tunggu...
Dwi Purwanti
Dwi Purwanti Mohon Tunggu... lainnya -

Iseng is my state of art

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pendidikan Politik untuk Pemilih Perlu Gak Sih?

20 Juni 2013   07:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:43 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan ini entah pemilihan yang ke berapa yang saya saksikan. TPS disebar di beberapa spot strategis untuk menarik minat pemilih. Tapi jangan bayangkan masyarakat akan berbondong-bondong memberikan suaranya. Tahun ini walau terjadi peningkatan jumlah pemilih, tapi jumlahnya hanya mencapai 30 sekian persen dari jumlah penduduk lokal yang punya hak suara. Jangankan dibayar, disuruh milih saja ogah.

Kebanyakan orang Hong Kong tidak suka politik. Bagi mereka bayar pajak tahunan, dapat retur pajak itu sudah cukup. Namun bukan berarti mereka percaya pada dewan legislatif mereka. Bahkan suara sumbang lebih terdengar jika melihat siaran langsung rapat legislatif yang merumuskan suatu putusan. Mirip-mirip di tanah air lah.

Mungkin bedanya rakyat Hong Kong masih punya ICAC (KPK-nya HK) yang kinerjanya tidak diragukan lagi. Saya masih ingat ketika para calon Chief Executif berkampanye lewat debat yang disiarkan di teve-teve HK, ICAC bekerja melacak dan memeriksa harta serta properti para calon dan hasilnya diumumkan kepada masyarakat.

Jangankan harta siluman yang tak jelas dari mana datangnya, bahkan mantan CE Donald Tsang (ketika masih menjabat) pernah dihujat habis-habisan oleh rakyatnya karena ketahuan menggunakan fasilitas pesawat pribadi seorang pengusaha dalam satu kunjungan ke luar negeri karena itu dianggap salah satu bentuk gratifikasi. Siapa lagi yang membuka kalau bukan ICAC dan akhirnya sang CE minta maaf kepada publik. Di Indonesia mana ada pejabat membungkuk-bungkuk meminta maaf kepada rakyatnya?

Mimpi saya suatu hari Indonesia seperti itu. Ada lembaga independen yang menelusuri para calon pejabat dari harta, bukti prestasi sampai sedetail-detailnya dan kemudian disosialisasikan kepada rakyat dengan sejujur-jujurnya, seterbuka mungkin. Bukankah harta benda pejabat dan calon pejabat bukan aurat yang tabu jika orang banyak mengobok-obok serta mempertanyakan dari mana asal, dari mana diperoleh?

Dan hasil temuan apapun dipublikasikan di situs yang bisa diakses oleh siapa saja agar rakyat (terutama yang buta seperti saya) bisa mempelajari lebih dalam para calon yang akan dipilih, bukan hanya tahu wajahnya saja, itupun dari iklan di teve, ditampakkan yang baik-baik mirip iklan kecap saja. Di tanah air tercinta ini yang namanya kecap selalu mengklaim kalau mereknya nomor satu dan terbaik. Mirip kan dengan iklan perdagangan kursi?

Sudahlah. Sepertinya keinginan saya terlalu muluk. Korupsi yang terlanjur mengakar di segala lapisan masyarakat, bukan hal yang mudah disembuhkan. Mungkin negara ini perlu dikemoterapi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun