Mohon tunggu...
Dwi Purwanti
Dwi Purwanti Mohon Tunggu... lainnya -

Iseng is my state of art

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pendidikan Politik untuk Pemilih Perlu Gak Sih?

20 Juni 2013   07:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:43 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemarin (19 Juni 2013) Kabupaten Madiun mengadakan Pemilukada Bupati dengan mengusung 4 pasangan calon. Saya tidak tahu detail tentang mereka karena saya sudah lama merantau dan baru kembali. Jangankan tahu tentang para calon pejabat itu, anak-anak tetangga saja saya tidak hapal namanya satu per satu, bahkan masih sulit membedakan si ini anak siapa atau si itu cucu siapa.

Beberapa hari sebelum "coblosan" surat panggilan pemilih diedarkan dan karena keluarga kami terdiri dari 4 orang maka kami dapat 4 lembar surat. Saya tidak terlalu memperhatikan karena saya pasti tidak memilih karena tidak tahu harus memilih calon yang mana. Dapat dipastikan adik saya juga tidak akan menggunakan hak suaranya karena dia bekerja di luar kota.

Malam berikutnya, ibu saya ribut (lebih kepada ngomel sendiri) tentang uang yang tidak dimasukkan amplop. Saya bertanya pada beliau siapa lagi yang punya gawe kok ngeributin amplop, maklum akhir-akhir ini tetangga saya banyak yang menikah.

Beliau cerita kalau Mbak N (seorang timses salah satu pasangan calon) barusan mampir menyerahkan dua lembar uang nominal Rp20.000 disertai pesan  "Jangan lupa coblos Mbah XX nomor XX ya." Saya tidak kaget kalau bakal ada politik uang seperti ini, saya hanya berpesan kepada ibu untuk memilih calon bukan berdasarkan amplopan. Tak ada bahasan setelah itu.

Lalu kemarin pagi, ibu (tidak biasanya) masuk ke kamar saya dengan semangat membara mengajak saya nyoblos. Acuh tak acuh saya bilang saya tidak akan berangkat ke TPS, toh sebelumnya saya sudah menjelaskan alasan kenapa saya tidak memilih. Intinya kami eyel-eyelan antara saya yang tidak mau pergi dan ibu yang memaksa saya harus mencoblos satu pasangan calon.

Berkali-kali saya menjelaskan ke beliau kenapa saya tidak berangkat dan beliau dengan keras kepalanya berusaha mempengaruhi saya untuk mencoblos calon yang timsesnya memberi amplop beberapa malam yang lalu bahkan menyangka saya tidak mau memilih karena tidak kebagian amplop.

Hal ini membuat saya dongkol dan menyudahi perdebatan dengan nada bicara yang mulai naik. Beliau akhirnya mundur teratur karena tahu kalau diteruskan akan berbahaya apalagi jika saya benar-benar meledak.

Saya benar-benar dongkol entah kepada siapa. Kampanye pemilu bersih untuk Madiun baru ternyata sama saja dengan pemilu jaman dulu. Uang berbicara. Para calon sogok sana sogok sini. Dan saya yakin tidak hanya si Mbah XX yang main kotor. Sorenya di Sakti (tevenya orang Madiun) bahkan diberitakan ada orang yang tertangkap tangan membawa amplop bertuliskan Madiun Baru ketika membeli bensin eceran di salah satu kecamatan.

Tapi entah kenapa laporan kepada orang tersebut malah dicabut oleh pelapor. Uang bicara lagi? Entahlah yang pasti tidak jadi diperkarakan.

Mungkin inilah potret sebenarnya negara kita, siapa yang salah kalau pemilihan umum dari jaman orba sampai jaman reformasi sama saja lagunya, masih tetap uang yang berbicara. Calon pejabat yang membutuhkan suara rakyat atau rakyat yang memilih hanya berdasarkan siapa yang bayar (lebih)?

Saya jadi ingat pemilihan umum di Hong Kong yang kebetulan diadakan sesaat sebelum saya pulang. Kampanye ramai-ramai ada dan mirip di tanah air. Tak hanya banner, bahkan billboard tentang calon legislatif berdasarkan distrik terpampang di sepanjang jalan utama.

Pemilihan ini entah pemilihan yang ke berapa yang saya saksikan. TPS disebar di beberapa spot strategis untuk menarik minat pemilih. Tapi jangan bayangkan masyarakat akan berbondong-bondong memberikan suaranya. Tahun ini walau terjadi peningkatan jumlah pemilih, tapi jumlahnya hanya mencapai 30 sekian persen dari jumlah penduduk lokal yang punya hak suara. Jangankan dibayar, disuruh milih saja ogah.

Kebanyakan orang Hong Kong tidak suka politik. Bagi mereka bayar pajak tahunan, dapat retur pajak itu sudah cukup. Namun bukan berarti mereka percaya pada dewan legislatif mereka. Bahkan suara sumbang lebih terdengar jika melihat siaran langsung rapat legislatif yang merumuskan suatu putusan. Mirip-mirip di tanah air lah.

Mungkin bedanya rakyat Hong Kong masih punya ICAC (KPK-nya HK) yang kinerjanya tidak diragukan lagi. Saya masih ingat ketika para calon Chief Executif berkampanye lewat debat yang disiarkan di teve-teve HK, ICAC bekerja melacak dan memeriksa harta serta properti para calon dan hasilnya diumumkan kepada masyarakat.

Jangankan harta siluman yang tak jelas dari mana datangnya, bahkan mantan CE Donald Tsang (ketika masih menjabat) pernah dihujat habis-habisan oleh rakyatnya karena ketahuan menggunakan fasilitas pesawat pribadi seorang pengusaha dalam satu kunjungan ke luar negeri karena itu dianggap salah satu bentuk gratifikasi. Siapa lagi yang membuka kalau bukan ICAC dan akhirnya sang CE minta maaf kepada publik. Di Indonesia mana ada pejabat membungkuk-bungkuk meminta maaf kepada rakyatnya?

Mimpi saya suatu hari Indonesia seperti itu. Ada lembaga independen yang menelusuri para calon pejabat dari harta, bukti prestasi sampai sedetail-detailnya dan kemudian disosialisasikan kepada rakyat dengan sejujur-jujurnya, seterbuka mungkin. Bukankah harta benda pejabat dan calon pejabat bukan aurat yang tabu jika orang banyak mengobok-obok serta mempertanyakan dari mana asal, dari mana diperoleh?

Dan hasil temuan apapun dipublikasikan di situs yang bisa diakses oleh siapa saja agar rakyat (terutama yang buta seperti saya) bisa mempelajari lebih dalam para calon yang akan dipilih, bukan hanya tahu wajahnya saja, itupun dari iklan di teve, ditampakkan yang baik-baik mirip iklan kecap saja. Di tanah air tercinta ini yang namanya kecap selalu mengklaim kalau mereknya nomor satu dan terbaik. Mirip kan dengan iklan perdagangan kursi?

Sudahlah. Sepertinya keinginan saya terlalu muluk. Korupsi yang terlanjur mengakar di segala lapisan masyarakat, bukan hal yang mudah disembuhkan. Mungkin negara ini perlu dikemoterapi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun