Â
                               Diambil dari kiriman konologi FB
Â
Â
" Kalau difikir-fikir UTS / UAS / UKK/ US/ UN  sepertinya belum tepat sasaran ya ? Buat sekolah swasta , ternyata nggak ngefek ! Yang ada aku sebagai pendidik jadi stres sendiri melihat tingkah dan gaya mereka yang selalu ingin cari celah untuk mencari jawaban atau remedial sekalian . Aku cape teriak-teriak terus, kalo sudah bete serahin aja, buat apa kalian lama ? Toh nggak terisi juga bukan ? Nunggu apa ? Jawaban? Sms teman ? Hadeeh ! Orang Indonesia ya, maunya dapet enak, dapet nilai tinggi, dapet lebih ! Tapi males mikir, tinggal enak, nggak mau susah. Pantes aja watak watak  korup bertebaran diseluruh sekolah ! Apa yg salah dr kurikulum ini yaa ?  lihat saja, gaji PNS , bego pintar, malas rajin nggak ada bedanya , yang ada yang pinter dan rajin ikutan turun kinerjanya , atau mencoba pintar untuk licik memainkan kelemahan pengawasan dan kebodohan rekan sesama dan gaptek . "
Kata kata diatas kutulis 3 tahun yang lalu , dan kembali kushare dikronologiku saat facebook kembali mengingatkan akan tulisanku 3 tahu yang lalu . Ah masih relevan !! dari semester ke semester selalu sama yang kutemui , namun untuk mid semester kali ini terasa miris sekali yang kudapati . Saat mengawas kembali dan berkali kali mendapatkan sikap sikap yang sama , namun yang kuheran sesama pendidik justru menyalahkan aku karena masalah psikologis anak anak saat kuawasi . Aneh ?? padahal selama lebih dari 25 tahun hal mengawas itu lazim kulakukan . Namun baru kali ini aku harus berbenturan dengan rekan seprofesi mengenai karakter tidak baik , menyontek . Lebih memukul perasaanku adalah , tidak ditanya apa alasanku , apalagi dipanggil baik baik . . .segera pada saat briefing mengawas untuk jam berikutnya kesalahanku dibahas didepan umum terlebih posisi beliau sebagai ketua panitia . Spontan aku meradang , karena aku merasa benar dan menjalankan tugasku sebagai pengawas .Â
 Aku sempat lost down / hilang harapan . . .namun tidak ada keinginanku untuk melaporkan hal ini atau apapun . Yang ada benar benar aku tidak ingin lagi menjalankan idealisku ditempatku saat ini . Kemarahan dan putus asa dengan arogansi rekan yang seakan semua dimataku mendukung . Padahal aku hanya mengingatkan bahwa hasil / nilai bukan tujuan . Tapi refleksi hasil belajar seperti apa prosesnya terjadi pada peserta didik ? sudah sejauh mana ? . Dua hari aku sempat terdiam dan tak ingin apa apa , tetap mengawas , namun hatiku kosong , terserahlah . . . .kalian mau jadi apa . Toh percuma hanya aku yang teriak lantang dan disalahkan . Padahal aku kalau mengawas tidak pernah sampai harus merobek kertas ulangan  siswa seperti yang lain , tapi kenapa seolah aku saja yang paling disudutkan ?
 Bungsuku sempat heran juga dengan sikapku , pelan pelan aku mencoba berbagi bebanku , kutanya , dek , ibu seperti apa sih dimata anak anak murid disekolah ? tanyaku , karena untuk bungsuku kali ini satu satunya yang harus satu sekolah denganku , demi meringankan biaya sekolah yang harus kutanggung sebagai orang tua tunggal . Aku tahu anakku selalu fair dan tak pernah terbawa arus , pikirannya selalu netral dan mendukung sikap disiplin yang kutegakkan dimanapun sebagai pendidik , termasuk dirumah . Tak heran , aku bisa memarahinya didepan teman temannya bila dia salah disekolah . Diujung obrolan kami berdua , bungsuku hanya mengatakan , ya sudah terimakasih ibu sudah cerita , tapi apa ibu bisa merubah sikap  / idealis ibu  yang sudah bagus itu menjadi sama saja dengan guru lain yang tidak perduli dengan karakter lebih baik ? Aku tertegun , namun karena didada ini masih sesak aku memilih diam dan berkata " lihat nanti saja dek !! " pungkasku  Â
 Aku kembali tertegun saat dikronologi kawan pendidik dimana kami pernah masuk dalam komunitas yang sama sebuah gambar berisi tulisan diatas pada judul tulisan ini , ya Allah betapa lemah semangatku ini , mengahadapi keadaan yang mungkin belum seberapa dibanding kejadian kejadian lain . Padahal masih banyak tantangan sebagai pendidik yang berkaitan dengan penanaman karakter siswa . Keadaanku belum seberapa . . .
Â