Seorang wanita muda duduk tersudut disebuah bangku kayu dicat putih, airmatanya tidak berhenti mengalir meratapi nasib belahan hati yang kini terbaring koma, hatinya terus mengumandangkan doa dan berharap keajaiban akan datang untuk membangunkan sang belahan hati yang sudah terbaring 15 bulan yang lalu, saat mobil truk menghamtamkan dirinya yang membuatnya harus terpental jauh dan berakhir disini.
"Maaf keluarga bapak Bram" tanya seorang dokter saat keluar ruangan ICU
"saya ibunya, dokter!"seorang wanita paruh baya setengah berlari menuju sang dokter, diikuti oleh beberapa dari keluarga si pasien, begitupun dengan aku,Â
"saya ingin bicara dengan ibu, bisa ikut keruangan saya?" kami mengikuti langkah dokter yang membimbing kami menuju ke ruangannya, tapi hanya aku yang menemani ibunya Bram. Â setelah mempersilahkan kami duduk, dokter menatap kami lekat-lekat secara bergantian dan menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ada hal yang kurang menyenangkan ingin dia sampaikan kepada kami.
"saat ini, kondisi anak ibu masih kritis dan tidak kunjung membaik, besar harapan hidup anak ibu 10% untuk saat ini, saya rasa sebaiknya ibu menghentikan pengobatan dan mengikhlaskan kepergian anak ibu Bram",Â
"jangan hentikan pengobatannya dokter, walaupun kemungkinan hidupnya hanya 1%" kataku dengan mantap, entah kekuatan apa yang membuatku harus berkata demikian, disampingku ibunya Bram hanya bisa menangis terisak sambil memegang tanganku penuh harapan.
        Pagi ini saya berjalan lunglai menelusuri jalan stapak dibawah naungan gedung-gedung perkantoran dan pertokoan, hatiku masih gusar mengingat kata-kata yang diucapkan oleh dokter kemarin, aku berjalan sambil memegang cincin yang terpahat indah dijari manis kiriku, yach aku dan Bram sudah bertunangan, andaikan kecelakan itu tidak terjadi, aku dan Bram pasti sudah merencanakan pesta yang indah. Tiba-tiba suara bising membuyarkan lamunku, seorang nenek tua berpakaian lusuh dan bau dengan perawakan yang cukup menyeramkan digelandang seorang pria berperut tambun keluar dari sebuah toko,Â
"hey nenek tua, jangan pernah lagi datang ke toko kami, kamu membuat pelanggan kami pada kabur" hardik pria tadi, kemudian melempar barang kepunyaan nenek tersebut, uang koin pun berserakan dilantai stapak toko tersebut, tidak ada kata-kata yang keluhan yang keluar dari mulut nenek tersebut, hanya kucing hitam bersamanya yang mengaung seolah merasa tidak pastas diperlakukan seperti itu oleh manusia yang merasa lebih mulia daripada manusia lainnya, aku kemudian menghampiri dan memungut koin-koin yang berserakan di lantai stapak depan toko, dua orang pria tadi hanya melihat kami didepan kaca tokonya seolah-olah siap mencegal nenek tua itu.
" apa yang nenek inginkan?" tanyaku sambil mengusap bahu renta nenek tadi,Â
" kucingku saya menginginkan sepotong roti isi tuna" kata nenek tersebut sambil memperlihatkan beberapa koin yang dirasa cukup untuk membeli sepotong roti isi tuna, aku tersenyum sambil mengatupkan kembali tangannya yang berisi beberapa koin perak, kemudian beranjaklah aku menuju kedalam toko memesan beberapa potong roti isi tuna, si pelayan tersebut tersenyum saat menerima pembayaran dariku,
"anda baik sekali nona, semoga Tuhan memberikan kebahagiaan padamu"
aku pun segera memberikan roti tersebut pada nenek tua yang sedari tadi menunggu di depan toko bersama kucingnya, dan nenek itupun merogoh tas kain yang dipegangnya, diapun mengeluarkan kalung berwarna biru bercahaya, seketika waktu terasa berhenti sampai bandul kalung tersebut menyentuh telapak tanganku,Â
"benda ini memiliki kekuatan magis, benda ini kepunyaan dewi valkyrie, gunakanlah dengan bijaksana nak." Akupun segera memasangkan kalung tersebut pada leherku, seketika kuarahkan pandanganku kedepan, sang nenek beserta kucingnya sudah hilang dari pandanganku.
          Di ruangan putih ini, Bram masih saja terpaku, tak berdaya, kugenggam tangan Bram erat-erat sambil kugumamkan dalam hati hati "Aku ingin melihat Bram terbangun walau aku yang harus menggantikan dirinya", tiba-tiba cahaya biru keluar memantul dari bandul kalung yang kukenakan, spirit wanita rupawan kini tengah berada di depanku, "Aku mendengar doaku, aku bisa mengabulkan keinginanmu, sebagai gantinya, kau akan menjadi spirit, apakah kau sanggup?", aku pun ragu-ragu mengiyakan, tapi disisi lain aku sangat berharap kalau Bram segera terbangun, lama ku tertegun, suara itupun berlanjut " jangan risau, aku akan menjamin jiwamu hingga 10  purnama, kau harus menyakinkan pengorbananmu, kalo tidak jiwamu untukku".
         Bias sinar matahari menembus bilar-bilar kaca rumah sakit, pagi yang sama seperti sebelum-sebelumnya, kutatap lekat-lekat wajah Bram dengan penuh kasih, kulihat telunjuknya bergerak-gerak, "ini sebuah keajaiban" pekikku kegirangan dalam hati, beberapa saat suster masuk dan mengabarkan ke dokter tentang keadaan Bram, tak lama berselang tim dokter kemudian datang dan memeriksakan kondisinya.
"dokter bagaima kondisi Mas Bram?" sahutku, tapi dokter tidak menjawab pertanyaanku bahkan menoleh kepadaku pun tidak, saat kusentuh pundak dokter, tanganku terlihat transparan, ku segera menjangkau  cermin yang ada di dekatku, pantulan wajahku tak terlihat di cermin, aku menangis sejadi-jadinya, menangisi nasibku kini.
         Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, tak terasa sudah seminggu Bram terbangun dari tidur panjangnya, tiap hari Bram hanya menatap hampa keluar jendela seolah menantikan seseorang, yach! mungkin Mia yang dirindukannya, padahal sedari kemarin Mia tak pernah beranjak dari sisinya,Â
" selamat siang Bram, saya Dokter Mira, Mulai hari ini saya yang akan memeriksa perkembangan kondisi kamu", seorang wanita memperkenalkan diri sambil melemparkan senyum menawannya, kenapa Tuhan hatiku terasa sakit keluhku dalam hati, apakah ini yang dinamakan cemburu?, "tidak...tidak...Bram tidak akan menghianati cintaku".
         Ditempat lain, keluarga Bram dan keluarga Mia bersama-sama melaporkan kejadian hilangnya Mia sejak seminggu  yang lalu, polisi pun bekerja keras mencari keberadaan Mia, mereka menghubungi para kerabat dan teman-teman Mia, tapi tak satupun yang tahu keberadaan Mia, selebaran, pamflet, brosur pun tersebar di jalanan, di pusat pertokoan, dan di internet, tapi kabar tentang keberadaan Mia tidak juga terdengar.
        "pagi Bram, bagaimana kondisimu hari ini? tanya dokter Mira sambil melemparkan senyum terbaiknya hari ini, seperti biasanya Bram diam bergeming, hanya menoleh sesekali kemudian membuang pandangannya ke arah jendela, "kamu hanya makan sedikit, kalo begini bagaimana caranya kondisi tubuhmu bisa pulih" sambil menyodorkan sendok berisi bubur tapi Bram tetap menutup mulutnya, "saya tahu, kamu pasti sedih karena pacarmu Mia tidak ada saat ini!" lanjutnya. sang dokter pun tidak menyerah berusaha memasukkan suapan ke mulut Bram, kemudian sang dokter menceritakan sepenggal kisahnya dimasa lalu, Bram pun luluh oleh kisah yang diceritakan oleh sang dokter, perlahan-lahan pun dia terlarut dan tanpa terasa semangkuk bubur habis dilahap oleh Bram.
        10 hari sejak terbangun, Bram dinyatakan sehat dan bisa kembali ke kehidupan normalnya, keluarga, teman dan kerabatnya sangat senang mendengar kabar baik keluarnya Bram dari rumah sakit, mereka kemudian membuat pesta penyambutan di rumah Bram, semuanya hadir, kecuali Mia..yach kecuali Mia, kekasih yang begitu dicintainya, hatinya begitu sepi di tengah-tengah keriuhan pesta malam itu, dia lebih memilih duduk di bangku taman sambil memengang bingkai foto Mia di kedua tangannya, kepalanya mengadah ke langit, pikirannya berkecambuk sampai-sampai membuat dirinya hampir gila, ditengah kesendiriannya malam itu, Dokter Mira menghampiri Bram, dia terlihat sangat cantik malam ini, dengan gaun biru malam yang menawan, mata Bram terpana sesaat dia melupakan kerinduannya pada Mia, mereka pun saling bertukar kisah dibawah bayangan sinar bulan purnama yang indah.
        Malam-malam berganti, tak terasa sejak 5 bulan terakhir, kabar tentang ditemukannya Mia belum juga terdengar, sudah berbagai cara dilakukan oleh Bram dan keluarga, pikiran Bram berkecamuk, tuduhan selingkuh disematkan kepada Mia, pikiran Bram tentang Mia bersama lelaki lain menghantui hampir tiap malam, disisi lain, dokter Mira seakan hadir mengisi kekosongan hatinya yang mungkin pantas disebut benih cinta.
       Tepat tanggal 01 juni, disebuah kafe yang cukup popular, Bram mantap menyatakan perasaan dan keinginannya untuk melamar dokter Mira, diiringi lagu A Thousand Year, Bram berlutut sambil tangan kanannya memegang sebuah cincin berlian,Â
"Maukah kamu menerimaku sebagai penjaga hatimu selamanya"
"yeah" jawab dokter Mira cukup yakin, riuh pengunjung bertepuk tangan merayakan kebahagian mereka, tapi tahukah kamu jika Mia pun hadir disana menyaksikan lamaran Bram kepada dokter Mira, hatinya tercabik-cabik, perih, mungkin ini perih yang terdalam yang dia rasakan selama hidupnya, dia tidak mampu menahan kejadian yang sudah terjadi didepannya.
       Tanggal 15 Juni menjadi saksi kebahagiaan Bram dan dokter Mira, dekorasi indah turut menghiasi hari ini, Bram tengah mempersiapkan diri, dia menatap cermin didepannya, sambil tersenyum mengagumi wajahnya hari ini, tiba-tiba pandangannya tertuju pada bingkai foto Mia di sudut meja, Bram kemudian membalikkan bingkai tersebut,seolah dia ingin mengubur semua kenangan dimasa lalu, "Bram semenit lagi" ujar EO dari balik pintu
"Ok!"jawab Bram, ketika berdiri hendak meninggalkan ruangan, "BRUUKK"Â bingkai foto Mia terjatuh tepat di atas sepatu yang dikenalan oleh Bram, dia membungkukkan badan hendak meraih bingkai foto tersebut, secara praktis ingatan kenangan tentang Mia kembali menjalari memory, ingatan indah bersamanya kembali muncul, seketika bayangan Mia hadir dibalik pantulan cermin, Mia tampak matanya berurai airmata, namun entahlah airmata bahagia ataukah airmata kesedihan, Bram setengah berteriak menepuk-nepuk cermin, menyebut-nyebut nama Mia sambil berurai airmata, Bram kemudian berlari keluar meninggalkan kamar, meninggalkan ruang resepsi, meninggalkan sekumpulan orang yang menatapnya dengan penuh keheranan, menuju mobil yang terparkir di bassment hotel tempat resepsi diadakan. Mobil merah melaju menuju satu tempat, yach tempat itu adalah rumah Mia, tepatnya di loteng kamarnya,
"bukannya kamu akan mengucapkan ikrar pernikahan hari ini?" tanya ibu Mia keheranan,
 "tidak bu, ada yang lebih penting dari itu!" ucap Bram dengan nafas tersengal-sengal,
di loteng, Bram masih mendapati seberkas bayangan Mia, di sampingnya terdapat sebuah buku harian, Bram mendekap bayangan Mia, rasa bersalahnya menyesaki rongga dadanya, airmatanya tak henti-hentinya mengalir, penyesalan terbesar dalam hidupnya karena meragukan cinta Mia, bersamaan itu pula, bias-bias bayangan Mia menghilang dari depan matanya.
"Miiiiaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!"teriak Bram dalam.
Ibu Mia terkaget mendengat jeritan Bram berlari menyusul ke loteng,
"ada apa Bram???" tanya Ibu Mia keheranan
"Mia Bu telah pergi bu, pergi untuk selamanya" kata Bram sambil memeluk ibu Mia erat, mereka menangis sejadi-jadinya.
yang tersisa hanya kalung berbantul biru diatas buku harian yang menjadi saksi bisu kepiluan yang terasa saat itu.
      2 Tahun kemudian
Di rumah sakit yang sama dimana Bram dirawat
"Bayi Cantik, mau diberi nama siapa bu?" tanya suster kepada sepasang suami istri yang tengah berbahagia, "kami akan menamainya Mia Audria" jawab sepasang suami istri tersebut, "kalo boleh tau kira-kira artinya apa yach?"tanya suster itu lagi, "itu nama wanita terhebat yang pernah hadir dalam hidup kami" kata Bram sambil menatap wajah istrinya dengan sangat  dalam-dalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H