Keberadaan pedofil seringkali menjadi momok yang menkhawatirkan di tengah kalangan masyarakat karena dapat mengancam keamanan anak-anak yang dimana mereka ini merupakan kelompok yang rentan terhadap eksploitasi. Pedofilia seringkali dinormalisasikan di Indonesia. Akibatnya, hal ini malah diwajarkan dan dianggap sebagai hal biasa oleh kebanyakan orang. Meski pedofilia diakui sebagai kejahatan serius yang melukai hak asasi anak, penerapan hukum terhadap pelaku sering kali dipertanyakan. Kelemahan dalam regulasi, penegakan hukum yang tidak konsisten, serta minimnya rehabilitasi bagi pelaku dan korban menjadi sorotan utama meskipun sudah ada UU yang mengatur tentang tindak pidana pedofilia. Â Â
Pengertian tentang pedofilia
Tahukah kalian tentang apa yang dimaksud dengan pedofilia? Singkatnya, pedofilia merupakan ketertarikan seksual dengan anak di bawah umur. Mestinya kita tahu bahwa pedofilia merupakan hal yang ilegal dan harusnya tidak dinormalisasikan. Dilansir dari peraturan.bpk.go.id  dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap Anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.
Konsep pedofilia
Istilah pedofilia pertama kali diperkenalkan pada akhir abad ke-19 oleh seorang psikiater Jerman bernama Richard von Krafft-Ebing dalam bukunya yang berjudul Psychopathia Sexualis (1886). Krafft-Ebing merupakan salah satu tokoh yang mempelajari kelainan seksual dari perspektif medis dan psikologis. Penggunaan istilah "pedofilia" yang merujuk pada ketertarikan seksual terhadap anak-anak berasal dari bahasa Yunani "pais" (anak) dan "philia" (cinta atau ketertarikan). Richard von Krafft-Ebing menekankan bahwa pedofilia adalah gangguan atau perilaku yang tidak normal, Ia mengkategorikan perilaku seksual yang tidak konvensional atau ekstrem sebagai bagian dari "psikopati seksual."
Walaupun istilah ini pertama kali dikenalkan pada akhir abad ke-19, konsep mengenai ketertarikan seksual terhadap anak-anak sebenarnya sudah ada jauh sebelumnya dalam berbagai budaya dan masyarakat. Namun, pada saat itu, pemahaman tentang gangguan seksual dan perilaku seksual menyimpang masih sangat terbatas, dan penelitian lebih lanjut baru dilakukan pada abad ke-20.Â
Pada abad ke-20, dengan perkembangan psikologi dan psikiatri modern, pedofilia semakin dipelajari dalam konteks gangguan mental atau kelainan psikoseksual. Namun, seiring berjalannya waktu, pedofilia telah menjadi lebih dikenal dalam konteks hukum dan perlindungan anak. Segala bentuk perilaku seksual terhadap anak-anak dianggap sebagai tindak pidana yang sangat serius.Â
Kekhawatiran
 Longgarnya hukum terkait tindak pedofilia menyebabkan para pelaku tidak jera sehingga mereka bisa saja melakukan hal tersebut berulang kali. Terdapat banyak kasus yang sudah ditemukan di Indonesia. Misalnya, kasus pernikahan seorang lansia dengan anak di bawah umur di  Lombok yang sempat ramai diperbincangkan di media sosial. Sangat disayangkan masyarakat di sana menormalisasikan hal tersebut. Padahal, anak di bawah umur memiliki emosi yang belum stabil sehingga mudah dimanipulasi dan dieksploitasi.  Dari kasus tersebut, tentunya publik bertanya-tanya mengapa masyarakat di sekitar mereka menormalisasikan tindak pedofilia tersebut.Â
Contoh lainnya yaitu kasus yang baru-baru ini terjadi, Â tepatnya di SMAN 1 Gorontalo yang dimana ada seorang guru yang mendekati muridnya hingga akhirnya mereka melakukan perbuatan asusila. Modus awal pelaku yaitu dengan selalu membantu korban mengerjakan tugasnya. Untungnya, pelaku sudah diadili dan diberi hukuman sesuai dengan perbuatannya.Â
Tidak banyak kasus yang kemudian diproses secara hukum karena kurangnya perhatian dari publik. Aparat lebih mengutamakan kasus-kasus yang viral. Bukan hanya aparat, beberapa orang pun masih menganggap remeh tindak pedofilia ini. Hal ini tentunya memunculkan beberapa dilema dan kekhawatiran sebagai berikut.Â
- Maraknya pernikahan dini
Pernikahan dini dalam konteks pedofilia tentunya akan merugikan korban. Hal ini dikarenakan korban merupakan anak di bawah umur yang dipaksa sehingga mereka tidak dapat bersuara dan tidak dapat mengambil keputusan.
- Psikis korban terganggu
Korban tindak pedofilia terutama yang mengalami pelecehan seksual atau eksploitasi seksual dapat menderita berbagai gangguan psikis seperti gangguan kecemasan dan depresi. Selain itu, korban pedofilia dapat memiliki trauma yang mendalam dan berjangka panjang. Di sisi lain, korban tindak pedofilia yang dipaksa menikah masih sangat muda secara fisik dan emosional. Mereka belum siap untuk menjalani kehidupan pernikahan, apalagi tuntutan seksual yang akan mereka hadapi.
- Rusaknya pola pikir penerus bangsa
Karena pedofilia masih dinormalisasikan dan aparat hukum kurang tegas dalam menindaklanjuti pedofil, kita sama saja memberi ruang pada penerus bangsa untuk menumbuhkan pola pikir bahwa hal ini adalah hal yang normal.Â
Kesimpulan
Setelah melihat pemaparan di atas, telah kita ketahui bagaimana longgarnya hukum terhadap tindak pedofil dan dampaknya bagi korban. Maka dari itu, kita tidak boleh menganggap remeh perihal pedofilia sehingga akhirnya dinormalisasikan. Seharusnya aparat lebih kooperatif dalam menangani kasus pedofilia yang marak terjadi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H