Pernahkah anda menyadari bahwa di Indonesia, pernikahan sering kali tidak hanya menjadi momen penyatuan dua orang, tetapi juga ajang pembuktian?Â
Pernikahan sering kali lebih mirip sebuah pameran, baik untuk keluarga, lingkungan, hingga gengsi sosial. Di tengah segala euforia ini, ada satu hal yang sering terlupakan, yaitu biaya.
Dalam masyarakat kita, biaya pernikahan bukan hanya soal angka. Ini adalah simbol, alat ukur gengsi, dan kadang bahkan menjadi penyebab tekanan finansial yang berat.Â
Banyak pasangan muda yang baru memulai hidup bersama harus menanggung utang besar karena tuntutan ini.
Tekanan Sosial yang Membengkakkan Biaya
Cobalah bayangkan skenario berikut: Anda dan pasangan sepakat untuk membuat pesta kecil, mengundang 100 hingga 200 orang di rumah atau gedung sederhana.Â
Namun, ketika ide ini sampai ke telinga keluarga besar, Anda langsung mendapat komentar seperti, "Loh, masa pestanya kecil banget? Kita kan keluarga besar."
Tekanan seperti ini membuat pesta pernikahan yang awalnya sederhana berubah menjadi ajang yang harus memuaskan semua pihak.Â
Masalahnya, memuaskan semua orang tidaklah murah. Orang-orang yang meminta pesta besar sering kali tidak membantu membiayainya.Â
Ironisnya, kebanyakan tamu yang hadir hanya peduli dengan makanan, dekorasi, dan hiburan. Setelah pesta selesai, mereka lupa, tapi Anda tetap harus membayar tagihannya.
Pernikahan Sebagai Simbol Status Sosial
Di banyak tempat di Indonesia, pernikahan sering dianggap sebagai simbol status sosial.Â
Makin mewah pestanya, makin tinggi derajat keluarga di mata masyarakat. Logikanya sederhana: pesta besar sama dengan keluarga sukses.Â