Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Suka menulis tentang ekonomi dan puisi, financial literacy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Mengapa Anak Sekolah Tidak Diajarkan Cara Mengelola Uang?

20 November 2024   06:00 Diperbarui: 20 November 2024   06:05 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Uang adalah elemen yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. 

Setiap aspek dalam hidup kita, mulai dari mengatur anggaran bulanan, menentukan prioritas pengeluaran, hingga merencanakan masa depan melalui tabungan atau investasi, selalu melibatkan uang. 

Meski penting, banyak orang di Indonesia masih bingung atau bahkan tidak tahu cara mengelola keuangan mereka dengan baik. 

Kondisi ini terbukti dari Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2022 oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia hanya sebesar 49,68%. 

Artinya, hampir setengah dari populasi belum memiliki pemahaman yang memadai tentang pengelolaan keuangan.

Mengapa tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia masih rendah? Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya pendidikan keuangan, baik di rumah maupun di sekolah. 

Apa Itu Literasi Keuangan?

Literasi keuangan adalah kemampuan untuk memahami, mengelola, dan mengambil keputusan keuangan secara bijak. Ini mencakup berbagai aspek, seperti:

  • Mengatur anggaran
  • Memahami konsep bunga dan cicilan
  • Menyusun dana darurat
  • Mengenali instrumen investasi

Namun, keterampilan dasar ini sering kali tidak diajarkan secara formal di sekolah, sehingga banyak orang baru belajar setelah menghadapi kesulitan finansial.

Literasi Keuangan yang Masih Diabaikan di Sekolah

Sistem pendidikan formal di Indonesia masih fokus pada aspek teoritis dan akademis, seperti matematika, sains, dan sastra. 

Meski penting, fokus ini mengabaikan pengajaran keterampilan hidup yang relevan, salah satunya adalah kemampuan mengelola keuangan pribadi.

Banyak individu baru menyadari pentingnya literasi keuangan ketika mereka sudah menghadapi masalah finansial. 

Beberapa contoh nyata masalah yang sering terjadi adalah:

1. Ketergantungan pada Cicilan

Cicilan sering dianggap sebagai solusi praktis untuk memenuhi kebutuhan atau gaya hidup. 

Namun, banyak yang tidak menyadari bahwa cicilan jangka panjang sering kali memiliki total pembayaran yang jauh lebih tinggi dibandingkan pembelian tunai. 

Ditambah lagi, keterlambatan pembayaran cicilan dapat memicu denda yang semakin membebani keuangan.

2. Tidak Paham Investasi

Dalam kurikulum pendidikan, hampir tidak ada materi yang membahas pentingnya investasi sebagai alternatif menabung. 

Padahal, di tengah inflasi yang terus meningkat, investasi merupakan cara yang lebih efektif untuk menjaga nilai uang.

Kendala Guru dalam Mengajarkan Literasi Keuangan

Pentingnya literasi keuangan tidak hanya terletak pada kurikulum, tetapi juga pada kompetensi guru yang mengajarkan topik tersebut. 

Sayangnya, banyak guru di Indonesia sendiri mengalami tantangan finansial, yang membuat mereka sulit untuk mengajarkan literasi keuangan secara efektif.

1. Masalah Finansial Guru

Gaji guru honorer di Indonesia sering kali sangat rendah, bahkan ada yang hanya mendapatkan Rp1-2 juta per bulan. Dalam beberapa kasus, gaji guru honorer bahkan kurang dari Rp1 juta.

Dengan pendapatan yang minim, banyak guru yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka, apalagi memahami konsep keuangan yang lebih kompleks seperti investasi.

Berdasarkan data dari OJK, 42% korban pinjaman online ilegal adalah guru. Kondisi ini menunjukkan bahwa bahkan tenaga pendidik pun masih banyak yang kesulitan mengelola keuangan mereka.

2. Kurangnya Kompetensi Guru

Hasil Ujian Kompetensi Guru (UKG) 2015 menunjukkan rata-rata nilai guru hanya 44,5 dari standar 75. 

Ini menjadi indikasi bahwa masih banyak guru yang belum memiliki kompetensi yang memadai, termasuk dalam hal literasi keuangan. 

Bandingkan dengan Finlandia, di mana seorang guru minimal harus memiliki gelar master, bahkan untuk mengajar siswa sekolah dasar.

Mengapa Literasi Keuangan Tidak Pernah Menjadi Fokus Pendidikan?

Untuk memahami mengapa literasi keuangan tidak masuk dalam kurikulum, kita perlu menilik latar belakang historis dari sistem pendidikan modern. 

Sistem pendidikan yang kita kenal saat ini banyak dipengaruhi oleh John D. Rockefeller, salah satu orang terkaya pada awal abad ke-20. 

Melalui Rockefeller Foundation, ia menciptakan model pendidikan berbasis standar, yang dikenal sebagai factory model education. 

Sistem ini dirancang untuk mencetak generasi pekerja yang patuh dan mengikuti aturan, bukan individu yang berpikir kritis atau mandiri secara finansial.

Tujuan sistem ini adalah menciptakan tenaga kerja yang terampil untuk kebutuhan industri, tetapi tidak cukup kritis untuk mempertanyakan aturan atau struktur yang ada. 

Konsep literasi keuangan yang mengajarkan kemandirian finansial tidak sesuai dengan tujuan sistem tersebut.

Dampak Sistem Pendidikan yang Terlalu Akademis

Kurikulum pendidikan di Indonesia cenderung menitikberatkan pada hafalan dan mata pelajaran akademis. 

Hal ini menyebabkan lulusan sekolah sering kali tidak memiliki keterampilan dasar yang diperlukan untuk bertahan di dunia nyata. 

Literasi keuangan, yang seharusnya menjadi bagian dari keterampilan hidup, sering kali terabaikan.

Sementara itu, banyak individu sukses justru belajar keuangan di luar pendidikan formal. Mereka mendapatkan pengetahuan ini dari pengalaman langsung atau mentor, bukan dari bangku sekolah. 

Hal ini menunjukkan bahwa ilmu keuangan lebih banyak diajarkan melalui jalur nonformal dibandingkan sistem pendidikan formal.

Solusi untuk Meningkatkan Literasi Keuangan

Untuk mengatasi rendahnya tingkat literasi keuangan di Indonesia, beberapa langkah dapat diambil:

  1. Integrasi Literasi Keuangan ke dalam Kurikulum
    Pemerintah perlu memasukkan literasi keuangan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan, dimulai dari tingkat dasar. Materi yang diajarkan bisa meliputi perencanaan anggaran, manajemen utang, hingga pengenalan investasi.

  2. Pelatihan Guru tentang Literasi Keuangan
    Guru harus diberi pelatihan khusus agar memiliki pemahaman keuangan yang baik. Pelatihan ini penting agar mereka mampu mengajarkan materi keuangan dengan efektif kepada siswa.

  3. Peningkatan Apresiasi terhadap Guru
    Gaji guru perlu ditingkatkan agar mereka tidak hanya fokus pada masalah finansial pribadi. Dengan kondisi keuangan yang stabil, guru dapat lebih fokus pada pengajaran, termasuk literasi keuangan.

  4. Pemanfaatan Teknologi untuk Pembelajaran Keuangan
    Di era digital, sumber daya untuk belajar keuangan sangat melimpah. Pemerintah dan sekolah dapat memanfaatkan platform digital untuk menyampaikan materi keuangan kepada siswa.

  5. Meningkatkan Kesadaran Orang Tua
    Orang tua juga memiliki peran penting dalam mengajarkan literasi keuangan kepada anak-anak. Dengan pemahaman yang baik, mereka dapat membantu anak-anak membangun kebiasaan finansial yang sehat sejak dini.

Mengubah Paradigma Pendidikan di Indonesia

Sistem pendidikan yang ada saat ini harus mulai bertransformasi dari sekadar akademis menuju pendidikan yang juga mempersiapkan siswa untuk kehidupan nyata. 

Skill pengelolaan keuangan adalah salah satu keterampilan penting yang dapat membantu individu bertahan dalam situasi ekonomi yang tidak menentu.

Di Finlandia, misalnya, sistem pendidikan tidak hanya berfokus pada mata pelajaran akademis tetapi juga pada pengembangan keterampilan hidup. Guru dihargai dan diberi dukungan penuh untuk mengajarkan materi yang relevan. 

Indonesia perlu belajar dari negara-negara seperti ini untuk meningkatkan kualitas pendidikan, termasuk dalam hal literasi keuangan.

Penutup

Pendidikan keuangan adalah kebutuhan mendesak yang harus diajarkan kepada setiap individu sejak dini. 

Sistem pendidikan yang hanya berfokus pada hafalan dan teori akademis sudah tidak relevan dengan kebutuhan dunia modern. 

Meski tantangan historis dan struktural masih ada, langkah-langkah seperti pelatihan guru, integrasi materi keuangan dalam kurikulum, dan pemanfaatan teknologi dapat menjadi solusi.

Ingat, literasi keuangan bukan hanya untuk pengusaha atau profesional, tetapi untuk semua orang. Jika pendidikan formal belum memberikan bekal ini, masyarakat harus proaktif belajar dari sumber lain. 

Di era digital ini, peluang untuk belajar terbuka luas. Gunakan kesempatan ini untuk memperkuat keterampilan finansial Anda demi masa depan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun