Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Suka menulis tentang ekonomi dan puisi, financial literacy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Doom Spending, Ketika Stres Ekonomi Membuat Gen Z dan Milenial Boros Tanpa Kendali

1 Oktober 2024   06:00 Diperbarui: 1 Oktober 2024   07:49 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi boros. sumber: freepik

Peribahasa "sudah jatuh tertimpa tangga" tampaknya menjadi gambaran nyata bagi nasib generasi Z dan milenial. 

Setelah kesulitan mencari pekerjaan, mereka dihadapkan pada ancaman lain, yaitu menjadi lebih miskin dibandingkan generasi sebelumnya. 

Fenomena 'doom spending' atau pengeluaran yang tidak terkendali menjadi salah satu penyebab utama dari ancaman ini. 

Bagaimana tidak, di tengah tekanan ekonomi dan ketidakpastian masa depan, kebiasaan belanja impulsif ini justru semakin marak terjadi.

Kondisi Generasi Muda dan Tantangan Ekonomi

Menurut data yang ada, sekitar 9,89 juta generasi Z dan milenial di Indonesia masih kesulitan mencari pekerjaan. 

Tingginya angka pengangguran muda ini menunjukkan adanya masalah mendasar dalam perekonomian, di mana lapangan kerja yang layak masih sulit ditemukan bagi generasi muda. 

Hal ini tentunya menambah tekanan mental dan psikologis bagi mereka yang sedang berjuang untuk mandiri secara finansial. 

Tidak hanya itu, beban hidup yang semakin berat, terutama dengan harga kebutuhan yang terus meningkat, membuat mereka rentan terhadap perilaku doom spending.

Generasi Z dan milenial seringkali disebut sebagai generasi yang menghadapi masa depan yang lebih sulit dibandingkan generasi sebelumnya. 

Di tengah ketidakpastian ekonomi global, perang dagang, hingga isu lingkungan yang kian memburuk, mereka dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. 

Kondisi ini memperparah tekanan emosional yang mereka rasakan, dan banyak dari mereka akhirnya mencari pelarian dalam bentuk konsumsi berlebihan atau belanja impulsif.

Apa Itu Doom Spending?

Doom spending adalah fenomena di mana seseorang melakukan belanja tanpa berpikir panjang, biasanya sebagai bentuk pelarian dari stres atau kecemasan yang mereka rasakan. 

Dalam banyak kasus, belanja impulsif ini dilakukan tanpa perhitungan matang dan sering kali mengakibatkan penyesalan di kemudian hari. 

Doom spending terjadi bukan hanya karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi lebih kepada kebutuhan psikologis untuk merasa lebih baik dalam jangka pendek.

Fenomena ini semakin diperparah dengan adanya akses mudah ke teknologi dan platform belanja online. Dengan hanya beberapa kali klik di ponsel pintar, barang yang diinginkan bisa langsung sampai di depan pintu rumah. 

Selain itu, fitur-fitur pembayaran seperti 'Buy Now, Pay Later (BNPL)' yang memberikan kemudahan dalam menunda pembayaran juga mendorong perilaku belanja impulsif. 

Hal ini membuat banyak individu merasa seolah-olah mereka mampu membeli barang-barang yang sebenarnya di luar kemampuan finansial mereka.

Doom spending umumnya muncul sebagai reaksi atas ketidakpastian ekonomi. 

Ketika seseorang merasa pesimis tentang masa depannya, baik itu karena kondisi perekonomian yang tidak stabil, isu hubungan internasional yang penuh ketegangan, atau masalah pribadi lainnya, mereka cenderung mencari cara untuk merasa lebih baik dengan cara berbelanja. 

Sayangnya, solusi jangka pendek ini sering kali membawa masalah jangka panjang berupa krisis keuangan pribadi.

Pengaruh Media Sosial dan FOMO

Salah satu faktor lain yang memperparah perilaku doom spending adalah media sosial. 

Penetrasi internet yang tinggi di Indonesia, yang merupakan salah satu yang tercepat di dunia, memberikan akses luas bagi generasi muda untuk terpapar gaya hidup konsumtif. 

Media sosial memicu perasaan Fear of Missing Out (FOMO), di mana individu merasa takut ketinggalan tren atau gaya hidup tertentu yang ditampilkan oleh orang lain. 

Hal ini akhirnya mendorong mereka untuk terus mengikuti gaya hidup tersebut, meskipun sebenarnya mereka tidak mampu secara finansial.

FOMO ini sering kali muncul ketika seseorang melihat teman atau influencer di media sosial memamerkan barang-barang mewah, liburan ke luar negeri, atau gaya hidup glamor lainnya. 

Meskipun terlihat menyenangkan di permukaan, namun di balik itu, banyak dari mereka yang harus mengorbankan stabilitas keuangan mereka demi memenuhi ekspektasi sosial yang tidak realistis. 

Ketika individu terus-menerus membandingkan hidup mereka dengan kehidupan yang ditampilkan di media sosial, mereka merasa tertekan untuk mengikuti tren tersebut, yang pada akhirnya memicu perilaku doom spending.

YOLO dan Kurangnya Literasi Keuangan

Selain FOMO, banyak generasi muda yang juga mengadopsi pola pikir 'You Only Live Once' (YOLO), di mana mereka merasa bahwa hidup ini harus dinikmati sepenuhnya tanpa perlu terlalu memikirkan masa depan. 

Prinsip ini memang memberikan kebebasan untuk menikmati hidup saat ini, namun di sisi lain, tanpa perencanaan keuangan yang baik, hal ini justru bisa berdampak buruk pada masa depan mereka.

Kurangnya literasi keuangan di kalangan generasi muda turut memperparah situasi ini. 

Banyak dari mereka yang tidak memahami pentingnya pengelolaan keuangan yang baik, seperti menabung, berinvestasi, atau mengatur pengeluaran sesuai dengan kemampuan. 

Alih-alih, mereka lebih memilih untuk membelanjakan uang untuk barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan, hanya demi kepuasan sesaat. Padahal, dalam jangka panjang, perilaku ini bisa membawa mereka ke dalam masalah keuangan yang serius.

Dampak Doom Spending terhadap Generasi Muda

Doom spending memiliki dampak yang signifikan terhadap kondisi keuangan generasi muda. 

Pengeluaran yang tidak terkendali bisa membuat mereka terjebak dalam utang, terutama dengan kemudahan akses pinjaman dari fitur-fitur seperti BNPL atau kartu kredit. 

Dalam jangka panjang, hal ini bisa menghambat kemampuan mereka untuk menabung, berinvestasi, atau bahkan membeli aset penting seperti rumah atau kendaraan.

Lebih dari itu, doom spending juga berdampak pada kesehatan mental. 

Ketika seseorang menyadari bahwa mereka telah menghabiskan uang secara berlebihan dan menghadapi kesulitan keuangan, perasaan stres dan cemas akan semakin meningkat. 

Lingkaran setan ini terus berputar, di mana stres ekonomi mendorong perilaku doom spending, dan doom spending pada akhirnya memperburuk stres ekonomi tersebut.

Peran Pemerintah dan Solusi untuk Mengatasi Doom Spending

Mengatasi fenomena doom spending bukanlah hal yang mudah, namun ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk meminimalkan dampaknya. 

Pemerintah memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas perekonomian agar generasi muda tidak merasa pesimis tentang masa depan mereka. 

Salah satu caranya adalah dengan menciptakan lebih banyak lapangan kerja bagi generasi muda, sehingga mereka memiliki stabilitas finansial yang lebih baik dan tidak mudah terjebak dalam perilaku konsumtif yang berlebihan.

Selain itu, peningkatan literasi keuangan juga menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini. 

Edukasi tentang pentingnya menabung, berinvestasi, dan mengelola pengeluaran dengan bijak perlu ditanamkan sejak dini. 

Kampanye literasi keuangan di kalangan generasi muda harus terus digalakkan, baik melalui media sosial, institusi pendidikan, maupun melalui program-program pemerintah.

Terakhir, penting juga bagi individu untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial. 

Sebagai pengguna, kita harus menyadari bahwa apa yang ditampilkan di media sosial sering kali hanya sisi terbaik dari kehidupan seseorang. 

Dengan menyadari hal ini, kita dapat mengurangi tekanan untuk selalu mengikuti tren dan lebih fokus pada kesejahteraan finansial kita sendiri.

Kesimpulan

Fenomena doom spending adalah cerminan dari tekanan sosial dan ekonomi yang dialami oleh generasi Z dan milenial. 

Meskipun menjadi pelarian sementara dari stres, perilaku belanja impulsif ini dapat memberikan dampak jangka panjang yang merugikan. 

Tanpa literasi keuangan yang memadai dan kesadaran akan pentingnya perencanaan keuangan, generasi muda bisa terjebak dalam siklus utang dan pengeluaran yang tidak terkendali.

Oleh karena itu, solusi untuk mengatasi doom spending tidak hanya berada di tangan individu, tetapi juga melibatkan peran pemerintah, sektor pendidikan, dan masyarakat luas. 

Dengan pendekatan yang menyeluruh, generasi muda bisa diajak untuk lebih bijak dalam mengelola keuangan mereka dan menghadapi masa depan dengan lebih optimis. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun