Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Suka menulis tentang ekonomi dan puisi, financial literacy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ekspektasi vs Realita: Menyibak Ilusi Gaji dan Kriteria Ideal di Media Sosial

4 Agustus 2024   06:00 Diperbarui: 4 Agustus 2024   06:05 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini, saya menonton konten yang ramai dibicarakan di media sosial. Konten tersebut membahas tentang kriteria gaji ideal yang dianggap atraktif oleh perempuan. 

Biasanya, konten seperti ini sangat ramai dengan berbagai opini. Ada yang bilang bahwa preferensi adalah hal yang wajar, namun ada juga yang menganggap standar tersebut tidak masuk akal.

Namun, saya tidak ingin membahas berapa sebenarnya gaji ideal seorang pria. 

Setiap orang memiliki standarnya masing-masing, apakah suka dengan pria yang bekerja sebagai pengemudi ojek online atau yang menganggur. Itu semua pilihan pribadi dan tidak ada masalah dengan itu. 

Media Sosial dan Ilusi Standar Ideal

Dalam konten ini, saya ingin membahas ilusi yang dibentuk oleh media sosial. 

Banyak orang yang mengikuti standar media sosial seakan-akan itu adalah hal yang baik dan sesuai dengan realita, padahal jika kita teliti lagi, standar tersebut sering kali tidak masuk akal. 

Media sosial membuat kita mudah terkecoh dan menganggap kehidupan masyarakat seperti yang kita lihat di media sosial, padahal kenyataannya berbeda.

Media sosial memainkan peran besar dalam membentuk pandangan kita tentang realitas. 

Algoritma di balik platform media sosial seperti Instagram, Twitter, dan TikTok dirancang untuk menunjukkan konten yang sesuai dengan minat dan perilaku kita. 

Akibatnya, kita sering kali terjebak dalam "eco chamber," di mana kita hanya terpapar informasi, ide, atau opini yang kita sukai dan setujui. Hal ini membuat sudut pandang atau informasi lain terabaikan.

Statistik Penggunaan Media Sosial di Indonesia

Pertama-tama, penting untuk memahami bahwa tidak semua orang menggunakan media sosial. Di Indonesia, hanya sekitar 25 juta atau sekitar 9% dari 275 juta penduduk yang menggunakan Twitter. 

Bahkan TikTok, yang dianggap sebagai platform media sosial paling populer saat ini, hanya digunakan oleh sekitar 38,7% penduduk Indonesia. Ini menunjukkan bahwa tren atau opini yang dihasilkan oleh segelintir orang di media sosial tidak selalu mewakili keseluruhan masyarakat.

Akibat dari fenomena ini adalah kita sering kali menganggap bahwa opini yang muncul di media sosial mewakili pendapat mayoritas, padahal sebenarnya hanya representasi dari sebagian kecil populasi. 

Hal ini dapat menyebabkan kita memiliki pandangan yang salah tentang realitas dan membuat penilaian yang tidak akurat terhadap kondisi kita sendiri atau orang lain.

Realita Gaji di Indonesia

Sebagai contoh, banyak video viral di media sosial yang menampilkan wanita yang menyatakan bahwa mereka menginginkan pria dengan gaji di atas 20 juta per bulan. 

Namun, data menunjukkan bahwa rata-rata gaji di Indonesia hanya sekitar 3,04 juta per bulan. Bahkan, hanya 10% orang di Indonesia yang memiliki gaji di atas 17 juta per bulan. Ini berarti peluang untuk menemukan pria dengan gaji 25 juta ke atas sangat kecil.

Jika seorang wanita mencari pasangan dengan kriteria tersebut, maka ia harus bersaing dengan banyak wanita lain untuk mendapatkan pria yang berada di 10% teratas dalam hal penghasilan. 

Selain itu, kita juga tidak tahu apakah pria-pria tersebut sesuai dengan kriteria lain yang diinginkan, seperti usia, status pernikahan, atau preferensi lainnya.

Pendidikan dan Kesuksesan

Selain itu, ada banyak konten yang menunjukkan orang sukses tanpa kuliah. Banyak yang mengatakan bahwa Steve Jobs, Bill Gates, dan Mark Zuckerberg sukses tanpa gelar sarjana. 

Namun, kenyataannya, 66% CEO perusahaan top dunia memiliki gelar master. Ada korelasi antara pendidikan dan pendapatan. 

Orang dengan gelar master memiliki pendapatan 20% lebih tinggi dibandingkan sarjana, dan sarjana memiliki pendapatan 59% lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA.

Di Indonesia, data menunjukkan bahwa gaji rata-rata lulusan sarjana 59,8% lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA. Artinya, meskipun ada beberapa contoh orang sukses tanpa gelar, sebagian besar orang yang sukses memiliki pendidikan yang tinggi.

Selain itu, penting untuk diingat bahwa banyak dari contoh orang sukses tanpa gelar memiliki latar belakang sosial ekonomi yang mendukung. 

Sebagai contoh, Bill Gates berasal dari keluarga kaya dan memiliki akses ke sumber daya yang tidak dimiliki oleh banyak orang. Jadi, jika kita membandingkan diri kita dengan mereka, kita harus mempertimbangkan faktor-faktor lain selain pendidikan.

Kesuksesan Tanpa Pendidikan Formal

Kita juga sering melihat konten di media sosial tentang orang yang sukses tanpa pendidikan formal. Misalnya, banyak video yang menunjukkan orang yang tidak kuliah tetapi berhasil menjadi pengusaha sukses. 

Namun, kenyataannya, 90% startup atau UMKM gagal di tahun pertama. Artinya, peluang untuk sukses tanpa pendidikan formal sangat kecil.

Jika kita memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan formal dan memilih untuk memulai bisnis, kita harus siap menghadapi risiko kegagalan yang tinggi. 

Tanpa dukungan finansial yang kuat, kita mungkin tidak bisa afford untuk gagal sekali, dua kali, atau bahkan tiga kali. Oleh karena itu, melanjutkan pendidikan formal adalah pilihan yang lebih aman bagi banyak orang.

Realita Kriteria Fisik

Contoh lain dari ilusi media sosial adalah standar fisik yang dianggap ideal. Misalnya, banyak wanita Amerika yang menginginkan pria dengan tinggi di atas 180 cm. 

Namun, data menunjukkan bahwa hanya 14,5% pria Amerika yang memiliki tinggi tersebut. Rata-rata tinggi pria Amerika adalah sekitar 176 cm, yang berarti standar fisik yang mereka inginkan tidak realistis.

Jika wanita-wanita ini diberi tahu tentang data sebenarnya, mungkin mereka akan bingung mengapa mereka sulit menemukan pasangan yang memenuhi kriteria fisik tersebut. 

Selain itu, kriteria fisik saja tidak cukup untuk menentukan apakah seseorang adalah pasangan yang ideal. Banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan, seperti kepribadian, nilai-nilai, dan kompatibilitas.

Konsekuensi dari Ilusi Media Sosial

Kekeliruan dalam memahami realitas sosial akibat media sosial dapat memiliki konsekuensi yang serius. 

Jika kita memiliki ekspektasi yang tidak realistis, kita mungkin akan merasa kecewa dan frustasi ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Hal ini dapat mempengaruhi kesejahteraan mental dan emosional kita.

Selain itu, ekspektasi yang tidak realistis juga dapat mempengaruhi hubungan kita dengan orang lain. 

Jika kita mengharapkan pasangan atau teman untuk memenuhi standar yang tidak realistis, kita mungkin akan sulit menemukan kebahagiaan dan kepuasan dalam hubungan kita. 

Kita juga mungkin akan kehilangan kesempatan untuk menjalin hubungan yang bermakna dengan orang-orang yang tidak memenuhi standar tersebut tetapi memiliki kualitas lain yang berharga.

Mengatasi Ilusi Media Sosial

Untuk mengatasi ilusi media sosial, kita perlu lebih kritis dalam mengonsumsi konten di media sosial. Berikut beberapa langkah yang bisa kita lakukan:

1. Memahami Bias Algoritma 

Sadari bahwa algoritma media sosial dirancang untuk menampilkan konten yang sesuai dengan minat dan perilaku kita. Hal ini bisa membuat kita terjebak dalam "eco chamber" yang memperkuat pandangan kita sendiri. 

Cobalah untuk mengikuti akun atau sumber informasi yang memiliki sudut pandang berbeda untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang suatu isu.

2. Verifikasi Informasi

Jangan langsung percaya pada informasi yang kita temukan di media sosial. Selalu verifikasi informasi tersebut dengan mencari sumber yang kredibel dan terpercaya. 

Misalnya, jika kita melihat klaim tentang gaji atau kesuksesan tanpa pendidikan, cari data statistik atau studi yang mendukung atau menyangkal klaim tersebut.

3. Tetapkan Ekspektasi yang Realistis

Berdasarkan informasi yang telah diverifikasi, tetapkan ekspektasi yang realistis dalam hidup kita. 

Sadari bahwa media sosial sering kali menampilkan versi ideal dari kehidupan seseorang yang tidak selalu mencerminkan kenyataan. 

Fokuslah pada hal-hal yang benar-benar penting bagi kita dan hindari membandingkan diri dengan orang lain.

4. Perhatikan Kesejahteraan Mental

Jika kita merasa tertekan atau cemas karena ekspektasi yang tidak realistis, pertimbangkan untuk mengambil istirahat dari media sosial. 

Luangkan waktu untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan dan bermanfaat, seperti olahraga, hobi, atau berkumpul dengan teman dan keluarga.

5. Diskusikan dengan Orang Lain

Diskusikan pandangan dan ekspektasi kita dengan orang lain, terutama mereka yang memiliki pengalaman atau pengetahuan yang berbeda. 

Hal ini dapat membantu kita mendapatkan perspektif yang lebih luas dan memperkaya pemahaman kita tentang realitas sosial.

Penutup

Kesimpulannya, media sosial sering kali membentuk ilusi yang membuat kita memiliki ekspektasi tidak realistis. 

Hal ini dapat mempengaruhi penilaian kita terhadap kondisi kita sendiri dan orang lain, serta membuat ekspektasi yang tidak masuk akal dalam hidup kita. 

Penting untuk memiliki pemahaman yang realistis tentang realitas sosial agar kita dapat membuat keputusan yang lebih baik dan tidak terjebak dalam ilusi media sosial.

Dengan menjadi lebih kritis dalam mengonsumsi konten di media sosial, kita dapat menghindari jebakan ilusi tersebut dan membangun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun