Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Sarjana Ekonomi Universitas Negeri Malang, suka menulis tentang ekonomi dan puisi, pegiat literasi keuangan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jepang: Krisis Kependudukan, Hikikomori dan Ekonomi yang Stagnan

13 Februari 2024   18:00 Diperbarui: 15 Februari 2024   11:48 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jepang. Sumber: Freepik

Jepang, sebuah negara yang seringkali menjadi contoh negara maju dengan masyarakatnya yang disiplin, kekayaan sejarah budaya, dan pengaruh pop culture yang melintasi batas internasional. 

Namun, dibalik gemerlapnya citra tersebut, Jepang tengah berjuang menghadapi sejumlah masalah ekonomi yang menjadi ancaman serius bagi masa depannya. 

Krisis Kependudukan yang Memprihatinkan

Salah satu ciri unik Jepang saat ini adalah krisis kependudukan yang sedang dihadapinya. 

Dalam beberapa dekade terakhir, Jepang mengalami penurunan populasi yang signifikan karena angka kelahiran yang terus menurun. 

Di satu sisi, jumlah lansia di atas usia 65 tahun terus meningkat, sementara di sisi lain, jumlah angkatan kerja usia muda cenderung menurun setiap tahunnya. 

Dampaknya adalah ketidakseimbangan demografis yang merugikan, di mana satu dari tiga penduduk Jepang saat ini adalah lansia yang tidak lagi produktif secara ekonomi.

Penurunan angka kelahiran ini telah menjadi faktor kunci dalam menyebabkan penurunan populasi Jepang. Idealnya, setiap perempuan di Jepang harus melahirkan dua anak untuk menjaga kestabilan populasi. 

Namun, kenyataannya, rasio kelahiran bayi per perempuan hanya sekitar 1,3 bayi, jauh di bawah angka yang dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah populasi.

Krisis kependudukan ini membawa konsekuensi ekonomi yang besar bagi generasi muda Jepang. 

Dengan jumlah lansia yang mencapai sepertiga dari total populasi, pemerintah terpaksa mengalokasikan sebagian besar anggaran untuk program jaminan sosial dan kesehatan bagi lansia. 

Hal ini menyebabkan generasi muda Jepang terbebani dengan pajak yang tinggi dan meningkatnya utang negara.

Tantangan Sosial di Kalangan Pemuda Jepang

Selain masalah kependudukan, Jepang juga menghadapi tantangan sosial yang signifikan di kalangan pemuda. 

Dalam dua hingga tiga dekade terakhir, kaum muda Jepang mengalami berbagai masalah sosial kompleks, yang menyebabkan pesimisme terhadap masa depan dan kurangnya minat untuk membentuk keluarga atau memiliki anak.

Salah satu penyebab utama krisis sosial ini adalah tekanan sosial dan budaya kerja yang tinggi. 

Budaya kerja yang diwarisi dari nilai-nilai bushido menciptakan lingkungan kerja yang ekstrem, di mana jam kerja yang panjang dan kurangnya penghargaan terhadap generasi muda membuat mereka kehilangan motivasi. 

Fenomena karoshi, atau meninggal di tempat kerja karena kelelahan, menjadi masalah serius di Jepang.

Tekanan sosial yang tinggi ini juga menyebabkan fenomena hikikomori, di mana banyak pemuda Jepang menarik diri dari interaksi sosial dan hidup secara menyendiri. 

Fenomena ini mengakibatkan sekitar 1,2 juta penduduk Jepang hidup sebagai hikikomori, menciptakan gangguan sosial yang signifikan.

Tantangan ini bukan hanya masalah individu tetapi menciptakan dampak luas pada struktur sosial dan ekonomi Jepang. 

Munculnya hikikomori mengurangi partisipasi mereka dalam kegiatan ekonomi dan sosial, menciptakan ketidakseimbangan yang semakin memperparah ketegangan di masyarakat.

Mandeknya Ekonomi: Antara Kemajuan dan Keterbelakangan

Di tengah krisis kependudukan dan sosial, ekonomi Jepang mengalami stagnasi yang mengejutkan. 

Setelah mengalami kemajuan ekonomi yang pesat pada tahun 1970-an dan 1980-an, Jepang terjerat dalam krisis ekonomi pada tahun 1990-an yang meninggalkan trauma mendalam. 

Sejak saat itu, masyarakat Jepang menjadi sangat skeptis terhadap investasi dan pengeluaran yang dianggap berisiko.

Hal ini menyebabkan tingkat konsumsi di Jepang terus menurun, menghambat pertumbuhan ekonomi. 

Bank Sentral Jepang telah mencoba merangsang ekonomi dengan menurunkan suku bunga, namun upaya tersebut terbukti tidak cukup efektif. 

Selain itu, budaya konservatif dan sistem ekonomi yang sulit bagi pengusaha membuat sulit bagi masyarakat Jepang untuk memulai bisnis atau mengakses kredit.

Akibatnya, pemerintah Jepang terpaksa terus memperbesar utangnya untuk menjaga perekonomian tetap berjalan. Pada tahun 2022, akumulasi utang Jepang mencapai 260% dari GDP, angka yang sangat mengkhawatirkan.

Upaya Pemecahan Masalah

Menghadapi tantangan yang kompleks ini, pemerintah Jepang dan masyarakatnya perlu bekerja sama untuk menemukan solusi yang efektif. Langkah-langkah konkrit perlu diambil untuk mengatasi masalah kependudukan, krisis sosial, dan stagnasi ekonomi yang semakin meresahkan.

1. Mendorong Kebijakan Pro-Keluarga

Pemerintah Jepang harus mengambil langkah-langkah konkrit untuk mendorong kebijakan pro-keluarga. Insentif finansial, seperti kredit pajak untuk keluarga dengan anak, dapat merangsang angka kelahiran. 

Selain itu, fasilitas dan program dukungan untuk perawatan anak dan keluarga juga perlu ditingkatkan untuk menciptakan lingkungan yang lebih ramah keluarga.

2. Reformasi Budaya Kerja

Reformasi budaya kerja menjadi langkah krusial untuk mengatasi tekanan sosial yang tinggi di lingkungan kerja Jepang. 

Pengurangan jam kerja, peningkatan fleksibilitas dalam bekerja, dan promosi keseimbangan kerja-hidup perlu didorong untuk memotivasi generasi muda dan mengurangi tingkat stres.

3. Perbaikan Sistem Ekonomi

Perbaikan sistem ekonomi juga merupakan kunci untuk mengatasi stagnasi ekonomi. Pemerintah perlu memperbaiki regulasi yang menghambat pertumbuhan bisnis, meningkatkan akses terhadap kredit untuk pengusaha muda, dan mengurangi ketergantungan pada utang pemerintah.

4. Penguatan Jaringan Sosial dan Dukungan Mental

Selain langkah-langkah struktural, penguatan jaringan sosial dan dukungan mental juga penting dalam mengatasi krisis sosial di kalangan pemuda Jepang. Program dukungan mental dan rehabilitasi, serta promosi keterlibatan sosial, dapat membantu mengurangi tingkat isolasi dan meningkatkan kesejahteraan psikologis.

Kesimpulan: Membangun Masa Depan yang Lebih Baik

Jepang menghadapi tantangan ekonomi yang kompleks, mulai dari krisis kependudukan hingga stagnasi ekonomi, yang membutuhkan solusi terintegrasi dan berkelanjutan. 

Dengan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, Jepang memiliki potensi untuk mengatasi tantangan ini dan membangun masa depan yang lebih baik.

Dengan menerapkan kebijakan yang progresif, merombak budaya kerja yang ekstrem, dan memperbaiki sistem ekonomi yang terhambat, Jepang dapat melibas tantangan ekonomi yang mengancam masa depannya. 

Yang terpenting, upaya ini harus diiringi dengan perubahan sikap sosial dan mental yang mendorong inklusi, keseimbangan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Jepang.

Dengan demikian, melalui langkah-langkah yang tepat dan kerjasama yang kuat, Jepang dapat menemukan jalan keluar dari tantangan ekonomi yang melanda dan membangun masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun