Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Sarjana Ekonomi Universitas Negeri Malang, suka menulis tentang ekonomi dan puisi, pegiat literasi keuangan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Wabi Sabi: Filosofi Jepang yang Menolak Standar Sempurna

17 Juli 2023   12:00 Diperbarui: 17 Juli 2023   12:03 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kita melihat kehidupan selebgram dan artis melalui media sosial, seringkali kita merasa iri dengan kehidupan mereka yang tampak begitu sempurna. 

Mereka dapat pergi liburan ke luar negeri, membangun rumah indah, memiliki mobil mewah, makan di tempat-tempat mewah, dan membeli barang-barang apapun yang mereka inginkan. 

Sementara itu, kita bekerja keras, sering lembur, dan merelakan waktu liburan untuk menambah penghasilan.

"Pada kenyataannya, tidak ada apapun di alam semesta yang sepenuhnya sempurna atau benar-benar diam, hanya dalam pikiran manusia konsep seperti itu ada." - Alan Watts

Penghasilan kita mungkin terbilang tinggi, tetapi itu tidak cukup membuat kita puas. Kita sering bertanya-tanya, bagaimana bisa meningkatkannya lagi dan lagi. 

Kita berpikir bahwa dengan lebih banyak uang, kita akan lebih bahagia. Namun, anehnya, hal-hal ini tidak membuat kita lebih bahagia. 

Mereka tidak pernah membuat kita merasa cukup. Kita menyadari bahwa kita telah diajari tentang kesempurnaan hidup yang sebenarnya tidak pernah ada.

Namun, kemudian kita menemukan filosofi Wabi Sabi, sebuah konsep asal Jepang yang menolak kesempurnaan dan menerima ketidaksempurnaan. 

Makna Filosofi Wabi Sabi

Wabi Sabi melihat keindahan dalam ketidaksempurnaan dan menerimanya. 

Istilah ini sering digunakan dalam seni dan estetika, mengakui siklus alami pertumbuhan, kematian, dan pembusukan.

Menurut Richard Powell, penulis buku "Wabi Sabi Simple," Wabi Sabi menjaga semua yang otentik dengan mengakui tiga realitas sederhana: 

tidak ada yang abadi, tidak ada yang selesai, dan tidak ada yang sempurna. 

Makna kata "wabi" sendiri berasal dari kata kerja "wabu," yang berarti merana, dan kata sifatnya "wabisi" digunakan untuk menggambarkan rasa sedih dan kemiskinan. Kata ini juga bisa diartikan sebagai sifat sederhana, tidak materialistis, dan rendah hati.

Sedangkan kata "Sabi" memiliki arti pergerakan atau pertumbuhan alami. Hal ini menunjukkan bahwa keindahan tidak dapat berlangsung selamanya. Pada zaman dahulu, kata "Sabi" berarti kehancuran saat bertambah tua.

Sejarah Filosofi Wabi Sabi

Filosofi Wabi Sabi diperkirakan muncul pada masa Dinasti Tiongkok antara tahun 960 sampai 1279 Masehi. Pada awalnya, Wabi Sabi merupakan konsep dalam Buddhisme. 

Kemudian, perkembangan Wabi Sabi dipercaya terjadi pada zaman Dinasti Song, ketika seni menggunakan prinsip estetika yang sederhana dan alami. 

Lukisan-lukisan, literatur, dan karya seni pada masa itu mulai mengikuti pertumbuhan alami. Pada masa itu, juga muncul kegiatan upacara minum teh di Jepang yang menggunakan peralatan sederhana.

Kesederhanaan ini kemudian menjadi ciri khas yang menetapkan bentuk estetika Wabi Sabi. 

Terdapat tujuh prinsip dalam Wabi Sabi yang digunakan untuk mencapai estetika tersebut, antara lain Shibumi (Simpel), Seijaku (Tenang), Shizen (alami), Kanso (sederhana, Yuugen (abadi-sederhana), Datsuzoku (Bebas, tidak terikat) dan Fukinsei (asimetris). 

Filosofi Wabi Sabi dalam Kehidupan

Filosofi Wabi Sabi tidak hanya berlaku dalam seni dan estetika, tetapi juga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Manusia seringkali terjebak dalam mengejar kesempurnaan yang tidak realistis, terutama karena pengaruh media massa dan media sosial yang menampilkan standar kecantikan dan gaya hidup yang tinggi dan ideal. 

Hal ini membuat manusia cemas, stres, dan depresi karena terus-menerus mengejar standar tersebut.

Kita sering menggunakan filter foto dan mengedit gambar kita sebelum mengunggahnya ke media sosial. 

Namun, hal itu tidak pernah mengubah realitas kita yang sebenarnya. 

Kita hanya akan membenci diri sendiri saat kita harus berhadapan dengan orang lain secara langsung. Kita menyadari bahwa gambar yang kita unggah telah terlalu jauh dari kenyataan.

Kita menghabiskan banyak uang untuk mencoba terlihat indah dan menarik di media sosial, namun siapa yang harus membayarnya? Orang lain hanya melihat foto-foto tersebut dan belum tentu peduli. Namun, kita yang harus berurusan dengan tagihan dan membayar semuanya.

Filosofi Wabi Sabi mengingatkan kita untuk menghentikan keinginan kita akan kesuksesan, kekayaan, status, kekuasaan, dan kemewahan, serta menikmati hidup tanpa beban. 

Wabi Sabi adalah tentang menerima bahwa tidak semua hal harus sempurna. Kita tetap menarik meskipun memiliki banyak kekurangan dalam diri kita, seperti tubuh yang gemuk, tubuh yang kurus, tinggi atau pendek, jerawat, tanda lahir, berbagai tipe rambut, dan warna kulit yang berbeda-beda.

Setiap hal alami yang kita miliki, meskipun tidak sempurna, adalah keindahan. Kita tidak perlu mengubahnya menjadi standar tertentu dengan tindakan yang justru menghilangkan sifat alami dan membuat kita menjadi seragam satu sama lain.

Wabi Sabi juga tentang menerima segala hal yang diberikan oleh alam. Kita menerima takdir hidup dengan bahagia. 

Wabi Sabi menciptakan ruang terbuka untuk penerimaan, pengampunan, dan perhatian. Kita tidak lagi menyesali kekurangan atau kejadian pahit di masa lalu, melainkan menerima semuanya sebagai seni kehidupan.

Mungkin kehidupan kita saat ini masih penuh dengan perjuangan, cicilan hutang, dan kebutuhan untuk berhemat. Namun, jika kita melihatnya melalui perspektif Wabi Sabi, mungkin hidup kita tidak terlalu menantang lagi ketika semua yang kita butuhkan telah tersedia di depan mata.

Seperti yang dikatakan oleh Lao Tzu, "Lebih mudah membawa cangkir yang kosong daripada cangkir yang diisi sampai penuh. Semakin tajam pisau, semakin mudah ia tumpul. Semakin banyak kekayaan yang kamu miliki, semakin sulit untuk dilindungi."

Menerima ketidaksempurnaan

Menerima ketidaksempurnaan tidak berarti kita tidak berusaha memperbaiki diri atau meningkatkan kualitas hidup. Namun, tujuan utamanya bukanlah untuk mencapai kesempurnaan.

Mengejar kesempurnaan hanya akan membuat kita lelah, cemas, gelisah, dan tidak pernah puas. 

Standar yang terlalu tinggi dan selalu berubah-ubah membuat kita terbelenggu, tidak bebas, penuh rasa khawatir, dan tidak pernah merasa cukup. 

Sementara itu, selalu ada keindahan dalam ketidaksempurnaan.

Banyak hal indah dalam hidup yang layak untuk dinikmati dan disyukuri. Menerima ketidaksempurnaan memungkinkan kita hidup dengan lebih tenang dan bebas dari rasa gelisah. 

Kita belajar untuk menikmati apa yang kita miliki dan hal-hal di sekitar kita dengan penuh syukur.

Jadi, mari kita menghentikan pengejaran tak henti-hentinya akan kesempurnaan dan belajar untuk menerima dan menikmati ketidaksempurnaan dalam hidup ini. 

Karena kenyataannya, tidak pernah ada hal yang benar-benar sempurna. 

Dalam kehidupan yang sederhana dan apa adanya, kita akan menemukan keindahan yang sesungguhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun