Menurut Richard Powell, penulis buku "Wabi Sabi Simple," Wabi Sabi menjaga semua yang otentik dengan mengakui tiga realitas sederhana:Â
tidak ada yang abadi, tidak ada yang selesai, dan tidak ada yang sempurna.Â
Makna kata "wabi" sendiri berasal dari kata kerja "wabu," yang berarti merana, dan kata sifatnya "wabisi" digunakan untuk menggambarkan rasa sedih dan kemiskinan. Kata ini juga bisa diartikan sebagai sifat sederhana, tidak materialistis, dan rendah hati.
Sedangkan kata "Sabi" memiliki arti pergerakan atau pertumbuhan alami. Hal ini menunjukkan bahwa keindahan tidak dapat berlangsung selamanya. Pada zaman dahulu, kata "Sabi" berarti kehancuran saat bertambah tua.
Sejarah Filosofi Wabi Sabi
Filosofi Wabi Sabi diperkirakan muncul pada masa Dinasti Tiongkok antara tahun 960 sampai 1279 Masehi. Pada awalnya, Wabi Sabi merupakan konsep dalam Buddhisme.Â
Kemudian, perkembangan Wabi Sabi dipercaya terjadi pada zaman Dinasti Song, ketika seni menggunakan prinsip estetika yang sederhana dan alami.Â
Lukisan-lukisan, literatur, dan karya seni pada masa itu mulai mengikuti pertumbuhan alami. Pada masa itu, juga muncul kegiatan upacara minum teh di Jepang yang menggunakan peralatan sederhana.
Kesederhanaan ini kemudian menjadi ciri khas yang menetapkan bentuk estetika Wabi Sabi.Â
Terdapat tujuh prinsip dalam Wabi Sabi yang digunakan untuk mencapai estetika tersebut, antara lain Shibumi (Simpel), Seijaku (Tenang), Shizen (alami), Kanso (sederhana, Yuugen (abadi-sederhana), Datsuzoku (Bebas, tidak terikat) dan Fukinsei (asimetris).Â
Filosofi Wabi Sabi dalam Kehidupan
Filosofi Wabi Sabi tidak hanya berlaku dalam seni dan estetika, tetapi juga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.Â
Manusia seringkali terjebak dalam mengejar kesempurnaan yang tidak realistis, terutama karena pengaruh media massa dan media sosial yang menampilkan standar kecantikan dan gaya hidup yang tinggi dan ideal.Â