Kompasianer, kali ini kita menuju dan melihat-lihat Banten Lama, sisa-sisa kejayaan Banten. Terlihat dan masih terasa kalau kita berdiri, mengunjungi dan menyaksikan tempat-tempat yang dahulunya menjadi pusat-pusat pemerintahan, serta benteng-benteng pertahanan. Dari sekian tempat, yang sampai saat ini masih berfungsi dan digunakan adalah Masjid Agung Banten Lama, sedangkan yang lain tinggal puing-puing saja.
BENTENG SPELWIJK
Masih terdapat sisa-sisa parit yang mengelilingi Benteng ini. Dahulu katanya memiliki kedalaman antara 1,5 sampai dengan 2 meter, dan perahu keluar masuk lewat sini.
Di sini juga terdapat menara pengintai. Kami mencoba menyusuri dan ber-selfie ria, hampir di semua titik sudut pandang, dan kami membayangkan betapa kokohnya benteng ini dahulu.
Dahulu benteng ini berada di pesisir laut. Namun karena terjadi pendangkalan, posisi benteng ini jadinya berada jauh di daratan. Inilah yang mereka sebut Banten adalah kota di dalam benteng.
Menurut pendapat ini, pendapat yang pertama adalah pemugarannya, atau perluasan, jadi tidak salah juga kalau mereka bilang dibangun oleh orang Belanda. Jadi sebelum belanda masuk, benteng tersebut sudah ada. Sangat indah tempat ini.
KERATON KAIBON
Keraton Kaibon tepatnya berada di Kampung Kroya, Kelurahan Kasunyatan, Kecamatan Kasemen. Jalan menuju lokasi ini sudah dibeton mulai tahun 2015 secara bertahap.
Kami ke sini menggunakan kendaraan roda empat, dan masuk sampai lokasi. Tidak ada penjaga, hanya terdapat beberapa anak muda yang sedang melakukan kunjungan dan berswafoto. Tidak dirawat sama sekali. Semoga tidak ada tangan jahil yang merusak cagar budaya yang sangat sarat dengan sejarah ini.
Ada satu tempat seperti mimbar yang masih utuh, sepertinya ini difungsikan sebagai mushola atau masjid dahulunya. Ini hanya perkiraan saya saja karena tidak ada satu orang pun yang ada di sini tempat kami untuk bertanya.
Keraton Kaibon dibangun menghadap barat dengan kanal di bagian depannya. Katanya kanal ini berguna sebagai alat transportasi menuju Keraton Surosowan yang jaraknya tidak begitu jauh, terletak di sebelah utara Keraton Kaibon.
Kompasianer, kalau mau melihat dan menjelajah di Banten lama. Perlu waktu satu atau dua hari, untuk menjelajah sisa-sisa kejayaan Banten masa lalu. Konon tempat ini banyak yang menggunakan untuk pembuatan vlog dan foto-foto prewed.
SOROSOWAN
Beruntung ada anak tangga kecil yang diletakkan di tanah. Kami mencoba mendirikan anak tangga tersebut, agar kami bisa naik dan melihat sisa-sisa yang ada dari Keraton Surosowan, sisa-sisa saksi bisu kejayaan Banten dahulu.
Adapun arsiteknya orang Belanda, Hendrick Lucasz. Dengan ketinggian 2 meter dan lebar 5 meter, keraton ini difungsikan untuk meminimalisasi serangan Belanda yang pernah menyerang Keraton. Hendrick Lucasz menjadi mualaf dan masuk Islam. Atas jasanya dia diberi gelar oleh Sultan dengan nama Pangeran Wiraguna.
Keraton hancur, tersisa seperti bentuk seperti sekarang ini. Bahan bangunan keraton sendiri menggunakan bahan bata campuran pasir dan kapur sebagai bahan dasarnya.
Kompasianer, saat kami di sini sama seperti kami ke tempat bekas-bekas kejayaan Banten di abad ke-17, sepi tidak ada orang. Kami menuruni bekas-bekas reruntuhan ini. Namun kami hanya menebak, ini bekas rungan apa, ini bekas ruangan apa, karena tidak ada tempat untuk kami bertanya.
Keraton Surosowan ini berupa reruntuhan, terdapat sisa ruang yang masih bisa kita lihat dari atas tempat kami berdiri, ada seperti gerbang di bagian utara, ada seperti bekas kolam, cukup luas juga bentuk kolamnya.
Dari data yang ada, luas Keraton Surosowan mencapai 4 hektar. Ini juga merupakan salah satu benda cagar budaya yang ditetapkan oleh pemerintah Banten. Walaupun ini adalah sisa-sisa kejayaan Banten, tidak ada salahnya Kompasianer menjajal tempat ini, sebagai tambahan wawasan dan yang terpinting bisa berswafoto di sini.
MASJID PACININ TINGGI
Menurut catatan sejarah yang ada memang terlihat ada silang pendapat. Pertama menurut Banten Heritage mengatakan bahwa Masjid Pacinan Tinggi merupakan Masjid pertama yang dibangun di Banten Lama untuk imigran Cina yang memeluk Agama Islam, salah satunya adalah istri Sultan Syarif yang berasal dari Tiongkok.
Pendapat lain mengatakan bahwa Masjid Pacinan Tinggi sengaja dibangun sebagai satu-satunya tempat ibadah di Banten Lama, namun tujuan dibangunnya ini sama yaitu untuk tempat beribadah bagi imigran Cina yang memeluk agama Islam.
Ada yang berpendapat bahwa Masjid Agung Banten tadinya bertempat di Masjid Pacinan Tinggi ini, namun saat itu baru terbangun pondasi, mihrab, dan menara masjid hingga akhirnya tidak pernah terselesaikan.
Kami melihat tidak jauh dari Menara Masjid terdapat makam Tionghoa, makam itu satu-satunya dilokasi ini, tulisan Cina yang ada di itu masih sedikit jelas terbaca, dikuburan itu, kuburan sepasang suami istri Tio Mo Sheng dan Chou Kong Chian, batu nisanya tertulis 1843.
Walaupun sisa puing-puing, kami tetap berselfie ria di tempat ini.
MASJID AGUNG BANTEN
Masuk pelataran masjid kami dikagetkan lagi. Banyak yang menjual air di botol mineral. Awalnya kami mengira air mineral seperti yang dijual di toko-toko, ternyata air suci katanya dari sumur yang terdapat di sini.
Saat malam hari saya ke sini, ada peziarah dari Madura, Pandeglang, dan Bogor. Mungkin banyak lagi yang lainnya, saya kebetulan hanya bertanya dengan mereka yang duduk-duduk beristirahat di dekat saya.
Ada dua versi yang menceritakan siapa arsitektur yang merancang pembangunan masjid ini, yang pertama mengatakan masjid ini dibangun oleh arsitek keturunan Tiongkok yang bernama Tjek Ban Tjut, sedang versi yang lain menyebutkan masjid ini diarsiteki oleh Raden Sepat dari Demak.
Kompasianer, malam itu saya mencoba sholat secara berpindah-pindah. Saya sholat dua rakaat pertama ada di serambi kiri, kemudian dua rakaat lagi di serambi tengah, dan dua rakaat lagi di serambi kanan, setelah itu masuk ke dalam masjid.
Di sisi kiri serambi masjid terdapat makam Pahlawan Sultan Ageng Tirtayasa, dan makam keluarga kerajaan. Di dalam masjid berbentuk bujur sangkar, dengan beberapa tiang penyangga, juga terdapat mimbar di dalamnya.
Adapun menara di bagian depan, memiliki ketinggian 24 meter dan memiliki diameter 10 meter, dibangun oleh orang Belanda yang masuk Islam bernama Hendrik Lucaszoon Cardeel pada tahun 1629 atas perintah Sultah Haji.
Dulu fungsi menara ini sebagai bilal kalau mengumandangkan azan, juga berfungsi sebagai menara pengawas, dan tempat persembunyian senjata. Dahulu jarak antara pantai dengan masjid kurang lebih 1,5 km namun terjadi pendangkalan sehingga jarak pantai jauh sekali sekarang dari masjid.
Hayoo, Jelajah Indonesia.
Bogor, 24062019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H