Mohon tunggu...
Misbahul Munir
Misbahul Munir Mohon Tunggu... -

I am an enthusiast in ecology-evolution-conservation and global climate change. I also concern about science communication and the intersection topics between science and religion.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Industri Bahan Bakar Fosil dan Oligarki Politik

27 Mei 2016   05:10 Diperbarui: 27 Mei 2016   07:01 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.ilmupengetahuan.com

Industri Bahan Bakar Fosil Terancam
Namun industri bahan bakar fosil menghadapi tantangan yang serius. Desakan pengurangan emisi CO2 sebagai respon terhadap pemanasan global membuat masyarakat harus berpindah dari bahan bakar fosil menuju sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Hal ini tentu berpengaruh terhadap pertumbuhan, profitabilitas, dan nilai indusri bahan bakar fosil. Bahkan dalam jangka panjang mengancam keberadaan industri tersebut.

Dampaknya, menurut Kevin Tafts dari Withlam Institute dalam laporannya, akan membuat 80 persen batu bara, minyak bumi, dan gas yang dieksplorasi oleh industri bahan bakar fosil harus dibiarkan di dalam tanah sebagai aset yang ‘terdampar’. Bahkan industri bahan bakar fosil dinilai terlalu buruk untuk jangka panjang, karena dapat menciptakan ‘gelembung karbon’ (carbon bubble).

Dengan demikian, industri bahan bakar fosil akan berjuang mati-matian untuk menjual batu bara, minyak, dan gas, terlepas dari dampak lingkungan yang diakibatkan. Sehingga pemanasan global jelas membahayakan industri bahan bakar fosil, sebagaimana ia mengancam kelestarian keanekaragaman hayati.

Cengkeraman Oligarki
Terancamnya industri bahan bakar fosil dapat berpengaruh terhadap demokrasi di Indonesia. Karena kuatnya pengaruh industri bahan bakar fosil terhadap pemerintah, bisa saja sistem demokrasi di-setting dalam rangka melindungi industri bahan bakar fosil tersebut. Mereka menciptakan politik yang mengistimewakan hak industri bahan bakar fosil, alih-alih merespon aspirasi demokrasi dan kepentingan jangka panjang dari masyarakat.

Bentuknya dapat berupa munculnya elit-elit tertentu dalam partai politik yang membawa kepentingan bagi langgeng-nya industri bahan bakar fosil. Mereka bersaing satu sama lain dalam ranah demokrasi untuk memengaruhi, mengontrol, dan bahkan memiliki hak dalam mengatur kebijakan negara.

Sehingga muncul lah sebuah bentuk oligarki yang mencemari sistem demokrasi di negara ini. Partai yang seharusnya mengakomodasi suara rakyat, justru malah mengutamakan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri. Maka tidak heran jika kemudian muncul berbagai kasus korupsi oleh para pejabat, karena saat kampanye ia disokong dana dari industri bahan bakar fosil dan memiliki kewajiban untuk mengembalikan dana tersebut.

Memang belum ada investigasi empirik yang secara spesifik menyeret industri bahan bakar fosil di Indonesia dalam kasus oligarki ini, namun ini adalah perkara yang sangat mungkin terjadi. Hal itu lah barangkali yang saya sebut ‘faktor lain’ yang turut memengaruhi lambatnya perkembangan energi baru terbarukan di Indonesia.

Pemerintah Vs Industri
Pada akhirnya negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang dalam memberikan batasan emisi pada indusri bahan bakar fosil, menuntut standar tinggi untuk bahan bakar, pajak karbon untuk mencerminkan biaya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, memberikan hukuman, penghargaan, insentif, perizinan, pembatasan, dan penegakan hukum.

Pemerintah harus berani memberikan tantangan terhadap industri bahan bakar fosil. Pun demikian, dampaknya industri bahan bakar fosil kemungkinan juga akan menekan balik. Kontes ini akan melibatkan beberapa kalangan, seperti elit bisnis, politisi, pemerintah, dan ilmuwan.

Tafts mengatakan, ketika suatu yurisdiksi memiliki beragam kelompok yang bersaing dalam mengatur lembaga secara independen, maka demokrasi akan berlangsung alot dan vital. Namun ketika yurisdiksi justru diwarnai oleh kepentingan, nilai-nilai, dan tindakan salah satu elit yang lebih dominan dari yang lain, demokrasi mungkin sedang berada dalam bahaya.

Negara adalah benteng demokrasi. Ketika mereka menyerah terhadap industri bahan bakar fosil, demokrasi jelas akan menderita. Perjuangan merespon pemanasan global pada gilirannya juga merupakan perjuangan untuk melestarikan demokrasi. Maka penengah dari kedua kutub ini diperlukan untuk menjaga demokrasi tetap utuh. Penengah itu adalah masyarakat, yang saat ini tengah menanggung dampak buruk berkepanjangan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun