Pemikiran teologis dalam Islam sangat kaya dengan berbagai aliran yang berkembang sepanjang sejarah. Salah satu aliran yang memiliki pengaruh besar namun kontroversial adalah Jabariyah. Aliran ini menekankan konsep takdir yang mutlak dan kehendak Allah yang mengatur segala peristiwa dalam kehidupan manusia. Sejarah pemikiran Jabariyah berakar pada pertentangan teologis dengan aliran Qadariyah, yang menekankan kebebasan kehendak manusia. Artikel ini akan membahas secara rinci mengenai sejarah, konsep dasar pemikiran, tokoh utama, kritik terhadap aliran ini, serta perkembangannya dalam tradisi teologi Islam.
Asal Usul Pemikiran Jabariyah
Pemikiran Jabariyah muncul pada abad pertama Hijriah sebagai respons terhadap ajaran Qadariyah, yang mengajarkan bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak dalam memilih tindakannya. Aliran Qadariyah menganggap bahwa manusia dapat mengendalikan nasibnya melalui keputusan bebas, yang bertentangan dengan prinsip takdir dalam pandangan teologis lainnya.
Sementara itu, Jabariyah muncul dengan pandangan yang sangat deterministik, mengajarkan bahwa setiap kejadian, baik yang bersifat alami maupun perbuatan manusia, sepenuhnya ditentukan oleh kehendak Allah. Dalam pandangan Jabariyah, tidak ada ruang bagi kebebasan atau pilihan bebas manusia; segala sesuatu yang terjadi adalah manifestasi dari takdir yang telah digariskan oleh Allah sejak azali.
Tokoh Utama dalam Pemikiran Jabariyah
Beberapa tokoh penting dalam pengembangan pemikiran Jabariyah, terutama di awal sejarah aliran ini, adalah:
Al-Jahm bin Safwan (w. 746 M)
Al-Jahm bin Safwan adalah tokoh sentral dalam pemikiran Jabariyah. Ia mengajarkan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan dalam bertindak, dan semua perbuatannya adalah hasil dari takdir Allah yang mutlak. Pemikiran ini menjadi sangat kontroversial, terutama dalam hal tanggung jawab moral, karena mengurangi peran aktif manusia dalam memilih perbuatan baik atau buruk.
Dzhul-Himyar
Nama Dzhul-Himyar tidak sepopuler Al-Jahm, namun ia diperkirakan sebagai salah satu tokoh awal yang memperkenalkan pemikiran deterministik yang menjadi dasar bagi aliran Jabariyah. Pemikirannya mendorong kesadaran bahwa takdir Allah menentukan segala sesuatu tanpa campur tangan kehendak manusia.
Abu al-Qushayri
Abu al-Qushayri adalah seorang tokoh sufi yang juga memiliki pengaruh dalam pengembangan aliran Jabariyah, meskipun ia tidak sekeras Al-Jahm dalam pandangannya. Ia menekankan bahwa segala kejadian di dunia ini adalah bentuk manifestasi dari kehendak Tuhan, tetapi ia juga lebih cenderung pada pandangan moderat mengenai kebebasan manusia dalam memilih perbuatan baik.
Konsep Dasar Pemikiran Jabariyah
Pemikiran Jabariyah berfokus pada beberapa konsep utama yang membedakannya dari aliran-aliran teologi lainnya:
Takdir yang Mutlak
Jabariyah mengajarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik itu peristiwa besar maupun perbuatan manusia, sudah ditentukan oleh Allah sejak awal. Manusia tidak memiliki kebebasan untuk mengubah takdir atau memilih tindakan mereka secara bebas. Semua perbuatan manusia adalah bagian dari kehendak Allah yang tidak dapat diganggu gugat.
Kehendak Allah yang Tak Terbatas
Dalam pandangan Jabariyah, kehendak Allah tidak terbatas oleh waktu atau ruang. Allah adalah penguasa mutlak yang menentukan segala sesuatu, baik itu peristiwa alamiah maupun tindakan manusia. Pemikiran ini menegaskan bahwa tidak ada satu pun yang terjadi tanpa izin dan kehendak-Nya.
Tidak Ada Kebebasan untuk Memilih
Konsep penting lainnya dalam Jabariyah adalah penolakan terhadap kebebasan manusia untuk bertindak. Menurut aliran ini, manusia tidak memiliki kebebasan memilih antara baik atau buruk. Semua tindakan manusia, baik yang tampaknya baik maupun buruk, adalah hasil dari takdir yang telah digariskan oleh Allah.
Kritik terhadap Pemikiran Jabariyah
Pemikiran Jabariyah, meskipun berpengaruh, juga mendapat kritik yang tajam dari berbagai aliran teologi Islam. Kritik utama terhadap aliran ini adalah bahwa ia mengurangi tanggung jawab moral manusia dan menciptakan sikap fatalistik. Jika semua perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Allah, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk berusaha atau memperbaiki nasib mereka.
Qadariyah
Aliran Qadariyah menekankan kebebasan kehendak manusia, yang bertentangan langsung dengan pandangan Jabariyah. Aliran ini berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih perbuatannya dan bertanggung jawab atas tindakannya, baik di dunia maupun di akhirat.
Mu'tazilah
Mu'tazilah, yang lebih moderat dibandingkan Qadariyah, mengakui adanya kebebasan dalam bertindak, namun tetap menekankan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu. Mereka berpendapat bahwa manusia diberi kebebasan untuk memilih, tetapi tetap dalam kerangka takdir Allah.
Ahli Sunnah wa al-Jama'ah
Beberapa kalangan dalam Ahli Sunnah mengembangkan pandangan yang lebih moderat, menekankan keseimbangan antara takdir Allah dan kebebasan kehendak manusia. Pandangan ini mengakui bahwa meskipun Allah menentukan segala sesuatu, manusia tetap memiliki peran dalam memilih dan berusaha.
Perkembangan Pemikiran Jabariyah
Pada abad-abad berikutnya, pemikiran Jabariyah mulai mengalami penurunan seiring munculnya aliran Ash'ariyah yang mencoba menjembatani antara kebebasan kehendak manusia dan takdir Allah. Imam al-Ash'ari (w. 935 M) mengembangkan teori tentang "kasab" yang menyatakan bahwa perbuatan manusia adalah hasil dari usaha mereka, namun tetap dalam kerangka takdir Allah yang lebih besar.
Meskipun aliran Jabariyah tidak lagi dominan dalam dunia Islam, pengaruhnya tetap terasa dalam beberapa kelompok yang menganut pandangan deterministik dan fatalistik. Beberapa tokoh modern juga mengkaji pemikiran Jabariyah dalam konteks diskursus teologis dan filsafat Islam.
Kesimpulan
Pemikiran Jabariyah adalah salah satu aliran teologi yang sangat berfokus pada takdir dan kehendak Allah yang mutlak, di mana manusia tidak memiliki kebebasan untuk memilih tindakannya. Meskipun mendapat kritik tajam dari berbagai aliran lain dalam teologi Islam, pemikiran ini tetap menjadi bagian penting dalam sejarah pemikiran Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, aliran Jabariyah mengalami penurunan, namun pengaruhnya dalam diskursus teologi dan filsafat Islam masih bisa ditemukan dalam perdebatan-perdebatan mengenai takdir, kebebasan kehendak, dan tanggung jawab moral.
Daftar Pustaka
- Al-Ash'ari, Abu al-Hasan. Al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah. Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1980.
- Al-Jahm bin Safwan. Al-Jahm wa al-Jabariyah: Fikr wa Ta'sir. Cairo: Dar al-Maktabah al-Islamiyyah, 1999.
- Farid, Rifa'at. Teologi Islam: Sejarah, Aliran, dan Pemikiran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
- Zuhayli, Wahbah. Fiqh al-Islam wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 2001.
- Nasr, Seyyed Hossein. The Islamic Intellectual Tradition. London: HarperCollins, 1993.
- Al-Qushayri, Abu al-Qushayri. Kitab al-Luma' fi al-Tasawwuf. Cairo: Dar al-Fikr, 1973.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H