Mohon tunggu...
MiRa Kusuma
MiRa Kusuma Mohon Tunggu... -

Hobby menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

SBY dan Kunjungan Barack Obama ke Indonesia

8 November 2010   19:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:46 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi mengenai urusan bisnis dalam hubungan dagang antara Indonesia dan Belanda sepertinya tidak bermasalah, namun bila hal bisnis tersebut dikaitkan dengan persoalan korupsi dan pelanggaran HAM maka oleh pihak Indonesia dianggap merendahkan harga diri bangsa dan negara Indonesia. Misalnya, isu berita tuntutan ke pengadilan dari salah satu aktivis RMS kepada Pemerintah Belanda, untuk supaya melakukan "penangkapan Yudhoyono" di Belanda, telah menjadi kenyataan gugatan hukum pengadilan dengan mempersoalkan pelanggaran HAM di Indonesia. Namun alasan itu buat Fani Habibie dianggap tidak berarti, karena menurut Fani, kunjungan kenegaraan pada bulan Oktober presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda sangat diragukan seandainya Partainya Wilders yang dikenal "anti Islam" itu masuk ke dalam kabinet baru di Belanda". Sehingga sikap politik luar negeri rezim SBY, ibaratnya dipandang sebagai ungkapan "seperti anjing mencari tongkat pemukulnya.

Masalah penanganan ancaman terorisme dan kasus korupsi dipakai sebagai isu pembangunan politik dan ekonomi untuk stabilitas dan keamanan, dipaparkan dalam laporan International Crisis Group (ICG), berjudul "Jihadi Surprise in Aceh", yang dirilis bulan April 2010 y.l. di Brussel. Laporan itu mengatakan bahwa serangan dan penangkapan kelompok yang menyebut dirinya al-Qaida di Aceh, di sebuah kamp pelatihan di Indonesia bagian barat itu, menjadi hal serius atas sinyal penanganan soal terorisme, yang harus dilakukan pihak pemerintah Indonesia.

Menurut peneliti senior International Crisis Group, Sidney Jones, "Indonesia tentunya bisa menangkap dan membunuh beberapa tokoh utama teroris baru gaya Al-Qaeda tersebut, akan tetapi korupsi tetap sebagai ancaman utama yang mengambil kredit keuntungan gerakan ekstrimis yang tumbuh pesat di Indonesia.

Misalnya, dengan kematian pemimpinnya seperti Dulmatin dan Noordin Muhammed Top (Nurdin Top) tidak berarti ancaman semakin berkurang, para anggotanya masih tetap berkeliaran dimana-mana dengan menyandang pengetahuan baru metode teror jaringan regional Jemaah Islamiyah. Kelompok Jihad tidak hilang setelah gelombang penangkapan, mereka berkembang dan bermutasi, mengambil bentuk-bentuk baru. Pembunuhan seorang Nurdin Top atau Dulmatin tidak menghilangkan ideologi tentang jihad, bahkan dapat memberikan kehidupan baru yang dirasakan dari beberapa pemimpin lainnya dalam gerakan Jihad. Hal ini penting untuk dipahami lebih baik bagaimana, mengapa ideologi Jihad semakin berakar dan menyebar di Indonesia".

Mengenai peran pihak Indonesia yang dikatakan harus tetap kritis dan mampu menganalisa taktik pimpinan faksi Nurdin Top, dan perlu pula merenungkan serangkaian kegagalan terpapar dari "kegiatan terbaru para ekstremis" itu. Dikatakan pula oleh CGI itu bahwa Teroris juga menggunakan sindikat jaringan dengan menjalin jaringan ikatan kerja rahasia dengan pegawai di berbagai departemen pemerintah.

Misalnya, Kelompok Teroris Aceh dengan menggunakan kontak polisi yang korup untuk membeli senjata yang seharusnya dimusnahkan. Belum lagi bagaimana korupsi menjadi minyak pelumas untuk kegiatan $teroris. "Dulmatin, yang ahli bom dan salah satu dalang bom Bali tahun 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang, nyatanya tidak kesulitan mendapatkan kartu identitas palsu lokal dan paspor," katanya.

Di berita kompas.com, berjudul "Teror Diatur dari penjara", mengutip pernyataan Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri di Istana Negara, Jakarta: ”Hingga saat ini kami masih mengejar 12 orang lagi yang masuk dalam DPO (daftar pencarian orang). Namun menurut keterangan ICG, ke 12 anggota kelompok kriminal itu, sebagian besar adalah anggota teroris yang ditangkap dan dipenjarakan, nyatanya dibebaskan untuk menerima kunjungan dari anggota ekstremis lainnya, juga bebas menggunakan telepon seluler selama berada di penjara."

Dalam hal ini Indonesia masih dikenal memiliki sistem kerja intelijen yang buruk dan korupsi, sehingga katanya banyak kasus yang menggunakan pendekatan lunak dari pihak Indonesia terhadap terorisme karena tidak menggunakan metode keras seperti yang dilakukan oleh gaya 'Internal Security Act' Singapura.

MiRa - Amsterdam, 5 Nopember 2010

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun