Happy twenty fifth birthday to me.....
Bisik Matahari sambil memejamkan matanya lalu membuka matanya. Dan menikmati keindahan lapisan emas yang terlihat kuning berkilau di atas es krim matchanya. Dilihatnya ada sepasang sepatu di antara jarak meja yang ditempatinya. Sepatu yang seperti pemiliknya sedang memandang ke arahnya. Ke tempat di mana ia duduk sekarang. Diangkat kepalanya ke arah pemilik sepatu yang rasanya sudah ingin ia labrak karena telah menganggu keheningannya dalam berdo'a barusan. Tapi yang jelas, karena dia malu terlihat tersenyum sendirian barusan tadi sambil memandang es krim emasnya.
" Matahari......," terdengar suara laki-laki menyapanya dengan suara seperti setengah berbisik.
Tanpa ragu, Matahari mengangkat kepalanya dengan cepat karena terdengar pemilik sepatu yang dilihatnya dari sela-sela meja ini barusan memanggil namanya dengan sangat jelas.Â
" Mas...", hanya kalimat ini yang bisa keluar dari mulut mungilnya saking ia terkejut dengan sosok yang ada dihadapannya sekarang ini. Yang ada dengan jelas adalah mulutnya terbuka dengan jelas menggambarkan huruf O besar saking terkejutnya melihat sosok yang ada di depannya ini sekarang.
" Kamu...lagi apa di sini?," tanya sosok laki-laki yang ada di depannya ini sekarang sama dengan dirinya saat ini, dengan wajah terheran-heran dan terkejut.
" Aku?," Matahari menunjukkan jari telunjuknya ke arah dirinya balik dengan pernyataan kalimat pertanyaa. " Aku....liburan," akhirnya dia bisa menjawab dengan singkat walpun terdengar masih terbata-bata. Ah, apa perduliku, ujarnya dalam hati.
" Oh...sama siapa?," tanyanya lagi.
" Sendiri. Mas sama siapa?," tanyanya balik.
" Aku...sama....istriku," jawab laki-laki ini perlahan sambil memandangi wajah Matahari mendalam dan mencoba memandangi mencari cahaya di dalam matanya Matahari. Mata yang dulu sempat lama ia cintai. Wanita yang ia sangat cintai secara mendalam. Dulu. Matahari. Nama yang selalu terukir indah di hatinya. Susah untuk melupakan nama ini, baginya. Sebab, kehidupan selalu membawa nama ini sehari-hari bersamanya. Apalagi ketika ia menatap dan merasakan cahaya pagi, siang dan menjelang sinar jingga memeluk bumi. Di situlah lagi hatinya ada rasa 'perih'. Pilihan yang susah dalam hidupnya. Terkadang, memang dunia sangat kejam. Dan, ia mengalaminya dan menjalani pilihannya sekarang ini dengan kekejaman dunia. Biarlah hanya ia yang tahu mengapa ia meninggalkannya. Matahari patut mendapatkan yang lebih baik dari dirinya.
" Oh....," terdengar jawaban Matahari perlahan sambil menatap meja yang ada di pandangan wajahnya sekarang ini.