Dalam beberapa tahun terakhir, Central Bank Digital Currency (CBDC) telah menjadi topik yang memicu diskusi panas di berbagai belahan dunia. CBDC, sebagai mata uang digital yang diterbitkan dan dikelola langsung oleh bank sentral, muncul sebagai respons terhadap lonjakan penggunaan mata uang digital swasta yang tidak terpusat, seperti Bitcoin, serta stablecoin yang terhubung dengan mata uang fiat, seperti USDT. Pemerintah di berbagai negara kini berlomba-lomba mengeksplorasi CBDC sebagai cara untuk memastikan stabilitas moneter dan menjaga kendali atas mata uang nasional. Namun, di balik janji inovasi ini, muncul kekhawatiran mendalam tentang dampaknya terhadap privasi individu dan kebebasan finansial. Dengan latar belakang tersebut, muncul pertanyaan: apakah penerapan CBDC benar-benar akan menjadi alat pemerataan ekonomi, atau justru membuka potensi risiko besar bagi kedaulatan finansial?
Pendorong dan Tujuan di Balik CBDC
Di Indonesia, CBDC diusulkan sebagai alat penting untuk memperkuat kedaulatan rupiah di tengah digitalisasi ekonomi global. Tren penggunaan aset kripto dan stablecoin yang berfungsi sebagai alternatif dolar AS di pasar digital global telah menimbulkan tantangan serius bagi kedaulatan ekonomi negara. Bank Indonesia melihat CBDC sebagai upaya untuk melindungi rupiah dari potensi penurunan nilai atau penggunaan mata uang digital yang tidak terkendali. Menurut Bank Indonesia, CBDC diharapkan tidak hanya berfungsi sebagai alat pembayaran yang aman dan efisien, tetapi juga sebagai pelindung stabilitas sistem keuangan nasional. Melalui CBDC, diharapkan terjadi penurunan biaya transaksi dan peningkatan akses layanan keuangan, terutama di wilayah terpencil yang selama ini sulit dijangkau oleh bank konvensional. Dalam hal ini, CBDC berpotensi menawarkan efisiensi yang lebih tinggi dalam sistem pembayaran nasional, terutama dengan mempercepat proses transfer antarbank dan transaksi lintas negara yang sering kali mahal dan rumit. Laporan dari Bank for International Settlements (BIS) memperkirakan bahwa CBDC dapat menurunkan biaya transaksi lintas negara hingga 30%, sekaligus memperkuat peran mata uang domestik dalam perdagangan internasional.
Penerapan CBDC di Indonesia juga diharapkan dapat mendukung agenda inklusi keuangan nasional. Saat ini, data Bank Dunia menunjukkan bahwa sekitar 51% penduduk Indonesia masih belum memiliki akses ke layanan perbankan formal. Dengan CBDC yang diintegrasikan dalam ekosistem digital, pemerintah dapat memperluas akses ke layanan keuangan, terutama di daerah yang selama ini tidak terjangkau oleh infrastruktur perbankan. CBDC yang dapat diakses melalui perangkat seluler bahkan tanpa akun bank, menawarkan harapan untuk memperkuat inklusi keuangan dan meningkatkan partisipasi ekonomi masyarakat di seluruh lapisan. Hal ini sejalan dengan prinsip ekonomi klasik yang menganggap uang tidak hanya sebagai alat tukar, tetapi juga sebagai sarana penyimpanan nilai yang stabil. Teori ekonomi ini menekankan bahwa stabilitas nilai uang akan berperan penting dalam menjaga stabilitas makroekonomi, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki kerentanan terhadap inflasi dan fluktuasi nilai tukar. Penelitian dari Dana Moneter Internasional (IMF) juga mendukung pandangan bahwa akses terhadap mata uang digital yang terkontrol dapat meningkatkan tingkat partisipasi ekonomi hingga 15% dalam lima tahun pertama implementasi.
Dampak CBDC terhadap Pemerataan Ekonomi
Dalam konteks pemerataan ekonomi, CBDC menawarkan janji yang menarik. Dengan mengurangi hambatan dalam akses keuangan formal, CBDC dapat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif. Sebagai mata uang digital yang dikelola langsung oleh pemerintah, CBDC berpotensi menjangkau masyarakat yang selama ini termarjinalisasi dari sistem perbankan. Dalam ekonomi yang semakin didigitalisasi, akses keuangan bukan lagi sekadar kemewahan, tetapi telah menjadi kebutuhan dasar untuk mendukung partisipasi ekonomi. Melalui CBDC, pemerintah dapat menyediakan alat keuangan yang stabil dan aman bagi masyarakat, tanpa memerlukan infrastruktur perbankan yang kompleks. Misalnya, masyarakat di wilayah pedesaan atau daerah terpencil dapat menggunakan CBDC untuk melakukan transaksi harian atau menyimpan nilai uang mereka tanpa harus mengunjungi bank atau ATM. Dalam jangka panjang, hal ini diharapkan dapat mempersempit kesenjangan ekonomi dan mengurangi ketimpangan pendapatan antara perkotaan dan pedesaan.
Namun, pemerataan ekonomi melalui CBDC tidak hanya bergantung pada aksesibilitas teknologi, tetapi juga pada kebijakan distribusi dan edukasi finansial yang memadai. Pemerintah perlu memastikan bahwa implementasi CBDC didukung dengan infrastruktur digital yang merata dan program literasi keuangan yang efektif. Masyarakat yang belum terbiasa dengan teknologi digital perlu diberikan pemahaman tentang cara menggunakan CBDC secara aman dan bijaksana. Dalam hal ini, peran pemerintah tidak terbatas pada penyediaan mata uang digital, tetapi juga melibatkan pemberdayaan masyarakat untuk menggunakan mata uang ini secara produktif. Jika tidak, CBDC dapat berisiko menciptakan eksklusivitas baru di mana hanya kelompok tertentu yang benar-benar merasakan manfaatnya, sementara kelompok lain tetap tertinggal. Untuk mencapai pemerataan yang sesungguhnya, pemerintah perlu mengintegrasikan CBDC dengan program-program inklusi keuangan yang komprehensif, termasuk dalam hal edukasi literasi keuangan dan pengembangan infrastruktur digital.
Risiko terhadap Kedaulatan Finansial
Meskipun menjanjikan berbagai manfaat, CBDC juga menimbulkan kekhawatiran terhadap kedaulatan finansial individu dan privasi masyarakat. Sebagai mata uang yang sepenuhnya dikendalikan oleh bank sentral, CBDC memungkinkan pemerintah untuk memantau transaksi individu dengan lebih mudah dan rinci. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa jauh pemerintah memiliki hak untuk mengawasi aktivitas finansial warga negaranya. Teori kedaulatan moneter yang dikemukakan oleh ekonom John Maynard Keynes menekankan pentingnya kebebasan individu dalam mengelola keuangan sebagai bagian dari prinsip ekonomi pasar yang sehat. Dalam konteks CBDC, di mana pemerintah memiliki kontrol penuh terhadap arus transaksi, ada potensi terjadinya pengawasan yang ketat terhadap individu. Beberapa ahli bahkan mengkhawatirkan bahwa CBDC dapat digunakan untuk mengendalikan pengeluaran masyarakat, terutama jika transaksi tertentu dianggap tidak sesuai dengan kebijakan moneter yang diinginkan pemerintah.
Di Cina, misalnya, yuan digital yang saat ini sedang diujicobakan memiliki fitur pelacakan transaksi yang memungkinkan pemerintah untuk mengawasi pergerakan uang secara real-time. Laporan dari People's Bank of China (PBoC) menyebutkan bahwa yuan digital dapat membantu pemerintah mencegah pencucian uang dan pendanaan terorisme dengan cara memantau semua transaksi digital. Namun, transparansi penuh ini memicu kekhawatiran akan privasi finansial masyarakat. Dalam sistem seperti ini, individu kehilangan kendali atas privasi keuangan mereka, yang dalam jangka panjang dapat menimbulkan rasa tidak aman dan terbatasnya kebebasan individu. CBDC yang terpusat juga membawa potensi risiko lain, yaitu ketergantungan terhadap infrastruktur digital yang rentan terhadap serangan siber. Berdasarkan laporan dari Cybersecurity Ventures, serangan siber terhadap infrastruktur keuangan global diprediksi akan meningkat sebesar 30% pada tahun 2025. Dalam skenario terburuk, serangan terhadap sistem CBDC yang terpusat bisa berdampak pada stabilitas ekonomi negara secara keseluruhan, dan merugikan masyarakat dalam skala besar.
Menuju Kebijakan yang Seimbang