Mohon tunggu...
Mirlawati GMarada
Mirlawati GMarada Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswi

Menjelajahi dunia dengan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ghoriibah, That is My Name!

1 Desember 2020   10:04 Diperbarui: 1 Desember 2020   10:14 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mentari masih semangat menampakkan sinarnya diwaktu manusia membutuhkan tempat teduh melepas penat.

Pukul 13.20

Kerumunan mahasiswa di depan kantin kampus Universitas Negeri Gorontalo

"Wah ...! Cie cie ...! Hahaha..." Suara itu saling bersahutan menarik perhatian para mahasiswa lainnya.

"Bil ... Bil, ayo kita ke sana! Kayaknya ada sesuatu yang menarik deh?" Ajak Nani temanku yang tak cukup kepo untuk menjadi wartawan handal sambil menunjuk kearah kerumunan itu.

"Permisi ... permisi ... Maaf ..." kami mencoba memasuki kerumunan tersebut meski harus berdesak-desakkan.

"Wah ... ternyata kamu bisa  juga ya menggambar! Kirain bisanya ngomong pake bahasa isyarat doang, hm ... hm ... Sambil memperagakan bahasa isyarat dengan mengangguk-anggukan kepalanya." Kata salah seorang mahasiswa yang kemudian mengangkat kertas yang ada ditangannya bermaksud ejeken kepada pemiliknya.

"Hahaha ...'' Tawa dari mahasiswa yang ada di kerumunan itu seakan menaikan derajat panas di siang itu. 'Sungguh manusia yang tak berperasaan.' Ketusku dalam hati.

"Kasihan mahasiswi itu." Desahku.

Mataku terus terpaku pada sosok perempuan berkerudung biru muda yang sedari tadi berusaha merebut kertas gambar dari tangan lelaki itu. Tanpa suara, dengan mimik wajah yang mengisyaratkan ketidak terimaannya atas perlakuan lelaki itu.

Hari yang diakhiri dengan kejadian di kantin itu, memberi kesan lain bagiku. Hari demi hari sosok perempuan tersebut terus menarik perhatianku. Dalam diam dan kesendiriannya dia bisa menikmati sejuknya hawa pagi dengan begitu tenang dan senyum yang merekah diwajahnya. Seperti tak ada beban yang menggantung di bahunya atau seperti seseorang yang tak pernah mencicipi makanan yang tak di sukainya.

"Sepertinya kejadian siang kemarin tidak meniggalkan kesan yang buruk baginya? Toh sekarang dia bisa menikmati harinya seperti makan ikan tak bertulang, tapi nyatanya ikan yang dimakannya bertulang." Kataku pada diriku sendiri mencoba memahami sosok perempuan aneh yang duduk di bawah pohon ketapang bagian belakang kampus.

Dua hari sudah aku menjadi penggemar gelap wanita itu, tapi aku belum berhasil mendekati wanita tersebut, mendengar sepatah kata keluar dari mulutnyapun tidak. Hanya sekedar tahu tangannya yang bagitu mahir memandu ujung polpennya menari di atas kertas.

Sampai hari itu ...

(Kelas A semester 4 jurusan Sastra Bahasa)

"Bil, ku dengar kamu sedang berusaha mendekati mahasiswi aneh yang kemarin di tertawain sama anak-anak kampus di kantin ya? Kok bisa sih seorang Bil-bil ketua komunikasi yang terkenal kemahirannya dalam IT dekat sama anak aneh yang munkin tinggalnya di hutan ?" Tanya Nani yang seakan baginya perbuatanku adalah aib.

"Oh, jadi bener ya kabar yang tersebar di anak-anak tentang ketua kom?" Kata salah seorang mahasiswi yang tiba-tiba datang dan nyerocos seperti kereta yang meluncur tanpa rem.

Aku hanya diam dan berlalu meninggalakan mereka. Ya, aku Sabila hidupku bisa dibilang sangat sempurna dengan keadaan keluargaku yang tak perlu takut melarat sampai tujuh turunan. Dan kepopuleranku juga yang tak dapat di pungkiri. Tapi hidupku terasa hambar dan tak dapat ku nikmati ketenangan jiwa.

Masih dengan hati yang berkabut, kaki ini menyusuri setiap lorong kampus mengikuti irama hati yang mencoba mencari ketenangan. Tak terasa irama itu membawaku ke sebuah taman beringin. Dengan pandangan mata yang kosong aku hanya terdiam seperti pohon beringin di hadapanku.

"Maaf, apa kamu melihat polpenku? Sepertinya jatuh di sekitar sini.''

Seketika suara itu mengisi setiap ruangan hampa di dalam diriku. "Oh, kamu sedang mencari polpenmu ya?" Jawabku seolah tak memiliki pilihan kata yang lain.

Perempuan itu kemudian menganggukkan kepalanya sambil mencari polpennya di sekitar pohon beringin.

"Apa prinsip hidupmu? Apa yang membuatmu begitu bahagia meski makanan yang kau makan sehari-hari terlalu asin untuk bisa kau telan!?"

Tanpa ku sadari kata-kata itu meluncur begitu saja, membuat kepalanya yang sedari tadi menunduk tiba-tiba  menoleh ke arahku melempar tatapan tanya dan heran atas sikapku. Aku hanya bisa tertunduk malu, tapi rasa hambarku ini tak mampu bersabar untuk tak meminta garam dari orang asing yang baru kukenal.

"Bisakah kau membagi makananmu yang asin itu untuk membumbuhi makananku yang hambar ini?"

Perempuan ini hanya tersenyum tipis, kemudian menulis sesuatu pada sticky note dan menempelkannya pada selembar kertas dari tumpukan kertas yang dibawanya.

"Jangan terus melihat sisi gelapmu, sisi terangmu memanggilmu." Kata perempuan itu sambil memberikan selembar kertas itu padaku kemudian berlalu meninggalakanku.

Tak maksud hati mengasingkan diri hanya tak ingin diwarnai

Tak maksud hati menutup setiap cela hanya tak ingin salah mengawali

Meski diri serasa asing dalam ramai tapi hati tenang dalam damai

Meski hati tersakiti oleh setiap kata berduri tapi maaf masih mengungguli

Keindahanmu pada akhlak dan hijabmu bukan pada paras cantikmu

Ketenanganmu pada kedekatan dengan-Nya bukan pada perhiasan duniamu

Jangan mencari sesuatu yang sebenarnya ada karena imanmu tak padam

Jangan pungkiri hati yang rindu pada-Nya karena kasih-Nya tak terukur 'azam

Masih tertunduk merenung ... Ku balikkan kertas dan ku lihat apa yang ditulisnya pada sticky note

"Namaku Goriibah yang artinya asing dan agamaku Islam agama yang semula asing dan akan kembali menjadi asing. Aku bangga jadi orang asing. Dan akhirnya ku bisa tersenyum tulus.

(Salam Kenal)

-The End-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun