Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Hilmy Yusuf
Muhammad Irfan Hilmy Yusuf Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Writer @ Alodokter.com. Microbiologist, Penggemar Film dan Serial berkualitas, pembaca buku. Biasa menulis di situs Alodokter.com dan mirfanhy.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan featured

Menjawab Keraguan terhadap Vaksinasi (Bagian 1)

10 April 2017   10:39 Diperbarui: 14 Desember 2020   09:57 1776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi vaksinasi. (AP/Peter Hamlin via kompas.com)

Baru-baru ini ada salah seorang figur publik yang terkena kanker serviks stadium empat yang sudah menjalar ke bagian tubuh lainnya (metastasis) sehingga yang bersangkutan perlu menjalani perawaan intensif. 

Kanker serviks muncul diakibatkan infeksi Human Papillomavirus(HPV) yang terjadi pada rahim sehingga menyebabkan jaringan leher rahim mengalami pertumbuhan abnormal. Infeksi HPV pada jaringan rahim sebetulnya dapat dicegah melalui vaksin HPV terutama kepada perempuan usia 9-14 tahun ataupun kepada perempuan usia pra nikah. 

Sayangnya, upaya pencegahan kanker serviks melalui vaksinasi masih terhalang berbagai isu yang tidak benar terkait program vaksinasi HPV. Salah satu isunya adalah bahwa vaksin HPV dapat menyebabkan menopause dini pada anak perempuan yang diberikan vaksin HPV. 

Isu ini langsung dibantah oleh Direktur Surveilans dan Karantinta Kesehatan Kemenkes RI, dr. Elizabeth Jane Soepardi dan dikonfirmasi oleh CDC bahwa vaksin HPV tidak diketahui menyebabkan menopause prematur pada perempuan resipien vaksin.

Isu miring terkait vaksin HPV bukan satu-satunya yang berkembang di masyarakat. Berbicara lebih luas tentang isu negatif vaksinasi, sudah banyak berita-berita tidak benar yang membuat masyarakat antipati terhadap program vaksinasi. 

Dampak langsung dari beredarnya isu-isu tersebut menjadi halangan bagi pemerintah dalam mensukseskan program vaksinasi dan menekan jumlah kasus penyakit infeksi di Indonesia. 

Dengan adanya berbagai hoax terkait vaksinasi, akan muncul berbagai keraguan masyarakat yang menyebabkan kesalahpahaman terhadap vaksinasi. Jika keraguan ini dibiarkan tanpa adanya klarifikasi menggunakan informasi yang benar, akan timbul penolakan masyarakat terkait vaksinasi. 

Lebih jauh lagi, jika dibumbui dengan berbagai isu hoax yang sensasional bukan tidak mungkin penolakan masyarakat terhadap vaksinasi akan berubah menjadi fanatisme yang membahayakan kesehatan warga negara indonesia secara umum. Tidak sedikit kasus cyber bullying terhadap dokter yang memberikan informasi yang benar tentang vaksinasi. 

Kasus tersebut hanya sedikit contoh bagaimana keraguan yang dibumbui hoax vaksinasi membuat masyarakat menjadi fanatik dalam menentang vaksinasi. Oleh karena itu, keraguan masyarakat terkait vaksinasi harus diklarifikasi menggunakan informasi yang benar sehingga penolakan atas vaksinasi dapat diredakan.

Salah satu keraguan utama masyarakat terkait vaksinasi adalah terkait kebermanfaatan vaksinasi dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa pertanyaan terkait keraguan tersebut saya coba jawab melalui artikel ini

Apa manfaat vaksinasi? Kenapa sih perlu dilakukan vaksinasi?

Prinsip vaksinasi adalah pengobatan preventif, yaitu mencegah munculnya kasus penyakit infeksi pada seseorang dengan melatih sistem imun agar lebih efektif dalam  memerangi patogen. 

Vaksinasi akan merangsang terbentuknya imunitas aktif buatan yang dapat menjaga tubuh seseorang dari penyakit infeksi patogen selama bertahun-tahun. 

Pada dasarnya imunitas aktif seseorang bisa timbul secara alami dengan cara mengalami penyakit infeksi dan jika penderita sembuh dari penyakit tersebut, tubuhnya akan otomatis membentuk imunitas aktif terhadap patogen yang bersangkutan. 

Singkatnya untuk memperoleh imunitas aktif terhadap suatu penyakit infeksi, harus mengalami penyakit tersebut terlebih dahulu. Lebih mudahnya dapat dilihat pada diagram berikut ini

Cara kerja sistem imun tanpa vaksin. Sumber : Dokumentasi Pribadi
Cara kerja sistem imun tanpa vaksin. Sumber : Dokumentasi Pribadi
Dengan vaksinasi, tubuh akan lebih mudah dalam memperoleh imunitas aktif terhadap suatu penyakit dibandingkan tanpa vaksinasi. Tanpa vaksinasi, orang harus sakit terlebih dahulu sebelum sembuh dan kemudian memiliki imunitas terhadap penyakit tersebut. 

Vaksinasi akan mem-bypass proses sakit-kemudian-sembuh tersebut dan menjadikan tubuh sudah memiliki kekebalan pada paparan pertama, bukan paparan kedua. Artinya dengan vaksinasi tubuh akan langsung kebal terhadap penyakit pada saat pertama kali terkena patogen sehingga kasus penyakit infeksi dapat ditekan dengan cara tersebut. Infografik dibawah ini dapat menggambarkan bagaimana vaksinasi bekerja

Cara kerja vaksin dalam meningkatkan sistem imun. Sumber : Dokumentasi pribadi
Cara kerja vaksin dalam meningkatkan sistem imun. Sumber : Dokumentasi pribadi
Vaksinasi setidaknya akan memberikan tiga keuntungan kepada resipien dalam memperoleh imunitas aktif dibandingkan tanpa melalui vaksinasi. Tiga keuntungan tersebut adalah :
  • Tidak perlu mengalami penyakit infeksi untuk memperoleh imunitas aktif
  • Dengan melewati proses sakit sebelum mendapatkan imunitas, penerima vaksinasi tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pengobatan kuratif atas penyakit tersebut
  • Dapat mencegah keluarga dan orang terdekat tertular penyakit dikarenakan resipien vaksinasi tidak perlu mengalami penyakit tersebut

Apakah betul vaksinasi dapat mencegah penyebaran penyakit?

Saat ini, berdasarkan data statistik penyakit-penyakit akibat infeksi patogen sudah jarang terjadi. Penurunan jumlah kasus penyakit ini merupakan manfaat langsung dari program vaksinasi. 

Dengan vaksinasi, penerima vaksin tidak lagi terkena penyakit infeksi sehingga menurunkan  jumlah inang manusia sehingga penyebaran penyakit melalui kontak langsung dengan penderita dapat dicegah. Berdasarkan data WHO, penyebab kematian tertinggi secara global tahun 2015 adalah penyakit jantung. 

Dari 10 penyakit penyebab kematian tertinggi secara global, penyakit infeksi yang masuk ke dalam daftar tersebut adalah Infeksi Saluran Pernafasan, Diare serta TBC. Berdasarkan data tersebut, penyakit yang bisa dicegah melalui vaksinasi (Vaccination Preventable Disease) paling tinggi adalah TBC.  

Data-data berikut menunjukkan perubahan jumlah kasus penyakit infeksi sebelum dan sesudah vaksinasi dilakukan

Grafik penurunan kasus Hepatitis A di Amerika Serikat, tahun 1966-2011. Source : Center of Disease Control and Prevention. Epidemiology And Prevention of Vaccine-Preventable Disease. Edisi 13. April 2015.
Grafik penurunan kasus Hepatitis A di Amerika Serikat, tahun 1966-2011. Source : Center of Disease Control and Prevention. Epidemiology And Prevention of Vaccine-Preventable Disease. Edisi 13. April 2015.
Grafik penurunan kasus penyakit cacar di Amerika Serikat, tahun 1950-2011. Source : Center of Disease Control and Prevention. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Disease. Edisi 13. April 2015
Grafik penurunan kasus penyakit cacar di Amerika Serikat, tahun 1950-2011. Source : Center of Disease Control and Prevention. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Disease. Edisi 13. April 2015
Grafik penurunan kasus polio di Amerika Serikat tahun 1950-2011. Source : Center of Disease Control and Prevention. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Disease. Edisi 13. APril 2015
Grafik penurunan kasus polio di Amerika Serikat tahun 1950-2011. Source : Center of Disease Control and Prevention. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Disease. Edisi 13. APril 2015
Peta persebaran virus polip bebas secara global tahun 1988 dan tahun 2012. Source : Center for Disease Control and Prevention. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Disease. Edisi 13. April 2015
Peta persebaran virus polip bebas secara global tahun 1988 dan tahun 2012. Source : Center for Disease Control and Prevention. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Disease. Edisi 13. April 2015
Dari data penyebaran ketiga penyakit tersebut dapat kita simpulkan bahwa tidak diragukan lagi vaksinasi dapat menekan terjadinya kasus penyakit infeksi yang dapat dicegah (Vaccine Preventable Disease). 

Oleh karena itu, tidak dapat dibantah lagi bahwa vaksin merupakan suatu program yang harus dilakukan oleh setiap orang saat ini. Bukan hanya untuk menjaga diri sendiri dari penyakit tetapi juga menjaga agar kasus penyakit-penyakit infeksi tersebut tidak muncul kembali.

Mengapa tetap harus dilakukan vaksinasi? Toh saat ini penyakit-penyakit akibat infeksi patogen sudah jarang terjadi

Betul sekali bahwa saat ini, jumlah kasus penyakit yang dapat dicegah oleh vaksinasi (VPD) sudah jauh berkurang dibandingkan beberapa puluh tahun yang lalu. Akan tetapi, sumber dari penyakitnya sendiri seperti virus dan bakteri tidak punah sama sekali. 

Virus dan bakteri penyebab VPD masih hidup bebas di alam dan dapat menginfeksi siapa saja yang tidak memiliki kekebalan terhadap patogen tersebut. Sebagai contoh, di Jepang pada tahun 1974 jumlah anak yang diberikan vaksin pertusis saat itu adalah sekitar 80 % dari total jumlah anak di jepang. 

Hasil survei kesehatan pada tahun tersebut menyebutkan data bahwa kasus penyakit pertusis adalah 393 kasus dan tidak ada kematian yang diakibatkan pertusis. Akan tetapi pada tahun 1979, jumlah anak yang mendapatkan vaksinasi pertusis menurun hingga hanya mencapai 10 % dari total anak. 

Pada tahun 1979 didata bahwa lebih dari 13.000 kasus pertusis dengan korban meninggal mencapai 41 orang. Setelah kejadian tersebut, vaksin pertusis kembali dirutinkan setiap tahun sehingga penyebaran pertusis di jepang dapat dikendalikan.

Fungsi lain dari melakukan vaksinasi secara rutin adalah untuk melindungi orang-orang yang memiliki masalah imunitas sehingga tidak boleh divaksinasi (immunocompromised). 

Orang dengan kondisi immunocompromised tidak dapat diberikan vaksinasi tertentu sehingga memiliki risiko terinfeksi salah satu penyakit VPD. Salah satu contohnya adalah penderita Sindrom Wiskot-Aldrich yang memiliki kelainan sistem imun dan diturunkan secara genetis. 

Penderita sindrom tersebut tidak boleh diberikan vaksin yang dibuat dari patogen hidup seperti vaksin pneumokokal atau meningokokal. Sebagai dampaknya, penderita Sindrom Wiskott-Aldrich rentan terkena penyakit tersebut jika di lingkungan sekitarnya terdapat penderita pneumokokal atau meningokokal. 

Oleh karena itu, agar penderita Sindrom Wiskott-Aldrich terjaga dari penyakit pneumokokal atau meningokokal, keluarga penderita harus sudah mendapatkan vaksin pneumokokal dan meningokokal.

Dengan pemberian vaksinasi secara masal pada suatu daerah, selain membantu orang-orang dengan kelainan sistem imun, dapat juga menghambat penyebaran penyakit VPD. Konsep tersebut dinamakan konsep imunitas kelompok (Herd Immunity). 

Secara umum, konsep imunitas kelompok menjelaskan bahwa jika sebagian besar orang di suatu daerah sudah memiliki kekebalan terhadap suatu penyakit, maka penyebaran penyakit tersebut dapat dihambat. Akan tetapi konsep imunitas kelompok tidak akan bekerja jika hanya sebagian kecil dari masyarakat di daerah tersebut yang memiliki kekebalan terhadap penyakit VPD. 

Mengapa bayi juga perlu divaksinasi? Apakah tidak cukup kekebalan tubuh yang diberikan melalui ASI?

Pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab, mengingat bahwa bayi adalah golongan penerima vaksin yang paling rentan terkena penyakit infeksi, terutama penyakit VPD. 

Berdasarkan data WHO, jika setiap tahun terdapat 130 juta bayi dilahirkan ke dunia, terdapat 4 juta bayi yang meninggal pada 28 hari pertama pasca kelahiran. Terdapat tiga penyebab utama kematian bayi di seluruh dunia, pertama adalah penyakit infeksi terutama sepsis, penumonia, tetanus dan diare. 

Penyebab kedua adalah kelahiran prematur dan yang ketiga adalah asfiksia. Kematian bayi akibat infeksi perlu jadi perhatian karena seharusnya infeksi yang terjadi pada bayi dapat dicegah dan diturunkan melalui vaksinasi.

Apakah ASI dapat memberikan kekebalan tubuh dari ibu kepada bayi? Betul bahwa ibu dapat mentransfer kekebalan tubuh yang diperoleh kepada bayi melalui ASI sejak dilaksanakannya inisiasi menyusu dini (IMD). 

Pada pemberian ASI pertama kali hingga hari keempat kepada bayi oleh ibu, bayi memperoleh kolostrum dari ASI yang jumlahnya sedikit namun luar biasa besar manfaatnya. 

Di dalam kolostrum terdapat 100.000 – 5.000.000 sel leukosit per mL ASI yang secara bertahap mengalami penurunan hingga 1.000-2.000 sel per mL ASI. Selain itu, ASI juga mengandung berbagai antibodi berupa IgM, IgA, IgD, IgG dan IgE yang berperan dalam melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi.

Akan tetapi, dibalik peranan besar ASI dalam meningkatkan kekebalan tubuh bayi terhadap infeksi, imunitas yang diberikan ASI kepada bayi hanyalah imunitas pasif. Imunitas yang diberikan ASI kepada bayi tidak akan bertahan lebih dari beberapa bulan sehingga bayi perlu memiliki imunitas aktif. 

Selain itu, imunitas pasif yang diterima bayi melalui ASI tidak dapat melindungi bayi dari beberapa penyakit tertentu. Hal tersebut yang menyebabkan beberapa vaksin diberikan kepada bayi beberapa saat pasca kelahiran seperti vaksin Hepatitis B dan Polio. 

Agar mendapatkan kekebalan tubuh yang lebih baik, selain diberikan kekebalan melalui ASI, bayi juga perlu dilatih kekebalan aktifnya melalui pemberian vaksinasi. Bayi yang diberikan kombinasi imunitas pasif dari ASI dan imunitas aktif melalui vaksinasi sudah terbukti memiliki kandungan antibodi dalam darah lebih banyak dibandingkan bayi yang hanya mendapatkan salah satu dari kedua jenis imunitas.

Referensi

Buku

Bunga Rampai Kedokteran Islam. Kontroversi Imunisasi - Kumpulan Tulisan 33 Ahli : Dokter, Pakar Kesehatan dan Pakar Syariah.2014. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.

  • Widya Eka Nugraha. Vaksinasi dan Pentingnya Validitas Informasi. Halaman 8.
  • Fatimah Berliana Monika. ASI dan Vaksinasi, Perlindungan Terbaik untuk Buah Hati.Halaman 115

Berita

Kompas.com : Dugaan Politisasi dalam Program Vaksinasi Kanker Serviks. 29 November 2016. Diakses pada 4 April 2017 Pukul 13.30

Kementrian Kesehatan RI : Vaksin HPV Aman, Masyarakat diharap Tidak Langsung Percaya Terhadap Berita di Media Sosial. 28 November 2016. Diakses pada 4 April 2017 pukul 14.00

Center for Disease Control and Prevention

Epidemiology And Prevention of Vaccine-Preventable Disease. Edisi 13. April 2015.

Frequently Asked Questions about HPV Vaccine Safety. 23 Januari 2017. Diakses pada 4 April 2017 pukul 13.45

Immunity Types. 10 Maret 2017. https://www.cdc.gov/vaccines/vac-gen/immunity-types.htm. Diakses pada 5 April 2017 pukul 15.05

What Would Happen If We Stopped Vaccinations?. 10 Maret 2017. Diakses pada 5 April 2017 pukul 08.15

Why Immunize?. 10 Mare 2017. Diakses pada 5 April 2017 pukul 11.30

World Health Organization

The Top 10 Causes of Death Worldwide. Januari 2017. Diakses pada 5 April 2017 pukul 13.45

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun