Suatu saat, merekat begitu saja
jemu, sepi, dan sedih
terasa kesal dan linu.
Tak ada kebaruan,
 termasuk kata-kata.
Orang-orang masih bicara
tentang hujan dan senja.
Hujan yang kering,
senja yang buram.
Berulang-ulang.
Satu, dua, tiga
satu dua tiga
hitungan diulang-ulang
seakan memulai hal baru.
Hidup lagi demikian.
Melarutkan jemu, sepi, dan sedih
dengan mengasihani orang lain
mendegar keluh kesah dan pertengkaran
sebagai pelipuran.
Kematian yang menjalar.
Saat jemu, sepi, dan sedih
bertambah
melipatlipatgandakan kegelapan
juga kata-kata usang.
Ia pun menyalakan lilin-lilin
sambil meratap-ratap
mengap-mengap susah payah,
lalu melihat lekat-lekat
gelas yang dijilat cahaya.
Terpaku, kosong dan samar-samar.
Sekali lagi, ia lawan
jemu, sepi, sedih itu
dengan kejemuan, kesepian, dan kesedihan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H