diskriminasi harga berbasis gender memang benar adanya. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, diskriminasi-diskriminasi tersebut berpangkal pada pemberian citra baku atau label negatif (stereotype) pada perempuan, yaitu menganggap bahwa perempuan itu lemah, emosional, cengeng,Â
Berbagai bentuk diskriminasi yang dihadapi perempuan, tidak terkecualitidak kompeten, dan lain sebagainya. Pelabelan inilah yang menyebabkan timbulnya relasi kekuasaan yang timpang antara perempuan dengan laki-laki. Telah banyak sekali diskriminasi berbasis gender yang dihadapi perempuan tak terkecuali diskriminasi harga berbasis gender atau disebut dengan fenomena pink tax. Lalu apa sih fenomena pink tax itu?
The Pink Tax adalah fenomena diskriminatif yang membuat perempuan harus mengeluarkan biaya tambahan saat membeli produk, padahal produk tersebut pada umumnya hanya berbeda dari segi penampilan saja dengan produk yang memang ditujukan oleh laki-laki.
Fenomena Pink Tax sempat menjadi perbincangan pada tahun 2015 yang didukung dengan adanya studi yang dilakukan oleh The New York City Department of Consumer Affairs (DCA). Berdasarkan 794 barang yang diteliti, studi tersebut menemukan bahwa rata-rata produk perempuan dijual dengan harga 7% lebih mahal dibanding produk laki-laki dengan jenis yang serupa.Â
Produk-produk tersebut lebih spesifiknya antara lain, 7% lebih mahal untuk mainan dan aksesoris, 4% lebih mahal untuk pakaian anak-anak, 8% lebih mahal untuk pakaian orang dewasa, 13% lebih mahal untuk produk perawatan pribadi, 8% lebih mahal untuk produk perawatan kesehatan lansia/rumah.
Selain menimbulkan ketidakadilan akibat perbedaan harga berbasis gender serta memperparah kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki, Pink Tax dianggap menjadi masalah karena pada dasarnya penghasilan perempuan lebih rendah dari pria. Berdasarkan data statistik pada tahun 2020 oleh International Labour Organization, pendapatan perempuan lebih rendah 23% dibanding laki-laki.Â
Bahkan hal ini juga terjadi pada perempuan di Amerika Serikat. Berdasarkan survei dari Pew Research Center di tahun 2017, pekerja wanita banyak mengalami diskriminasi gender -- termasuk kesenjangan upah, dianggap tidak kompeten, tidak mendapat promosi, dan menerima lebih sedikit dukungan dari pimpinan senior -- dengan persentase sekitar 42% hampir dua kali lipat dari jumlah pria.
Pink Tax Bukan Pajak Sah?
Tidak bisa dipungkiri bahwa perusahaan perlu memiliki strategi yang kuat agar terhindar dari kerugian dan dapat meraup keuntungan besar. Salah satunya seperti menciptakan tren warna pink yang ditujukan untuk perempuan dan warna biru untuk laki-laki dengan memproduksi barang-barang yang menjadi pembeda identitas mereka melalui dua warna tersebut.Â
Tren ini nyatanya memang pernah terjadi pada tahun 1980-an di Amerika Serikat (Adaninggar, 2020). Dengan demikian, warna pink dianggap sebagai warna feminin hingga saat ini.
Meskipun disebut dengan Pink Tax, nyatanya pajak berbasis gender ini bukan merupakan pajak yang sah dari pemerintah. Ini adalah biaya tambahan yang ditambahkan oleh produsen atau retailer ke produk yang secara langsung dirancang untuk wanita.Â