Setelah menunggu lebih dari satu abad, Indonesia patut berbangga karena berhasil memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri, bukan buatan negara lain.Â
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) saat ini merupakan warisan kolonial Belanda yang dibuat tahun 1800 dan berlaku di Indonesia sejak 1918. Meskipun demikian RKUHP yang resmi disahkan ini mengundang reaksi publik yang beragam hingga terjadi aksi penolakan. Alasannya beberapa pasal dalam RKUHP dianggap bernuansa anti demokrasi dan berpotensi merampas hak-hak rakyat. Â
Dalam rapat paripurna DPR RI yang diselenggarakan pada 6 Desember 2022 lalu, telah dilakukan pengambilan keputusan atas pengesahan RKUHP. Pembaruan KUHP diperlukan sesuai perkembangan zaman dan kebutuhan nasional. Â Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengatakan pengesahan ini merupakan momen bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia.Â
Menurut Yasonna, produk Belanda tidak relevan lagi dengan Indonesia, sementara RKUHP sudah sangat reformatif, progresif, juga responsif dengan situasi di Indonesia. "RKUHP merupakan salah satu RUU yang disusun dalam suatu sistem hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda," ujar Yasonna dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Kenapa RKUHP Harus Disahkan?
Substansi KUHP yang diterapkan di Indonesia sebelumnya, dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda.  Ironisnya, tanpa kita sadari banyak substansi pasal dalam KUHP yang sudah dihapus di negara asalnya. Di satu sisi berbagai kejahatan dimensi baru saat ini semakin rumit dan "canggih". Sebut saja korupsi, money laundering, illegal logging, cyber crime, terorisme, narkotika dan sebagainya. Jika kembali pada substansi KUHP, tentunya pasal-pasal yang ada terasa out of date untuk mengakomodir jenis kejahatan tersebut. Apalagi KUHP buatan Belanda ini dibuat menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam atau retributif sedangkan orientasi hukum kita saat ini mengacu pada keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif.
Pemerintah Belanda berkepentingan agar sistem hukumnya ditetapkan di Indonesia sehingga penduduk di daerah jajahan tunduk dan patuh terhadap kekuasaannya, termasuk sistem hukumnya.Â
Politik hukum ini ditempuh dengan melakukan konkordansi atau pemberlakuan hukum Belanda di Indonesia. Â Berkenaan dengan hal ini perlu diperhatikan pernyataan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam kongres mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara terutama yang berasal dari hukum asing semasa zaman kolonial telah usang dan tidak adil serta sudah ketinggalan zaman. Â
Berdasarkan pernyataan Konggres PBB tersebut jika dikaitkan dengan keberadaan KUHP yang sampai saat ini dipandang sebagai kitab induk hukum pidana sudah semestinya dilakukan pembaruan. Pembaruan hukum pidana hendaknya sesuai dengan sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia.Â
Di samping itu terdapat beberapa alasan yang sangat prinsip untuk melakukan pembaruan hukum pidana. Pertama alasan politik adalah sebuah kewajaran bagi negara Indonesia yang telah lima puluh tahun lebih merdeka untuk mempunyai hukum pidana sendiri yang diciptakannya sendiri.Â
Oleh karena hal ini merupakan simbol kebanggaan dari negara yang telah bebas dari penjajahan. Kedua alasan sosiologis yaitu pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan dari ideologi politik suatu bangsa. Di mana hukum itu berkembang artinya bahwa segala nilai-nilai sosial dan kebudayaan suatu bangsa itu harus mendapat tempat dalam pengaturan hukum pidana. Â
Ketiga  alasan praktis  yaitu  pembaruan hukum pidana yang baru akan dapat memenuhi kebutuhan praktik, sebab hukum peninggalan penjajah jelas masih menggunakan bahasa Belanda. Padahal kita sebagai negara yang merdeka sudah memiliki bahasa sendiri,  tentu tidaklah tepat jika menerapkan suatu aturan hukum berdasarkan teks yang tidak asli. Sehingga KUHP produk Belanda ini dirasakan sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia. Beberapa hal tersebut menjadi urgensi pengesahan RKUHP yang telah menjadi pembahasan di DPR sejak tahun 1963.
Upaya Pembaruan KUHP Bukan Hal Baru
Upaya pembaruan hukum pidana, khususnya pembaruan KUHP telah cukup lama dilakukan. Usaha tersebut dimulai dari adanya rekomendasi Seminar Nasional I tahun 1963 yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional sesegera mungkin diselesaikan.
Pembentukan RKUHP baru pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk membentuk sistem hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai filosofis dan moral bangsa. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kedudukan KUHP lama yang merupakan produk peninggalan Kolonial Hindia Belanda dan dianggap telah usang karena jauh dari nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia.Â
Hukum pidana di Indonesia saat ini telah mengedepankan prinsip keadilan restoratif yang merupakan merupakan bagian dari inheren dalam sistem peradilan pidana pada negara-negara maju. Di Indonesia prinsip ini masih dimaknai dalam penjatuhan pidana, dan belum sampai pada tataran pemulihan hubungan antara pelaku kejahatan dan korban tindak pidana, baik selama pemidanaan maupun sesudah pemidanaan.
Jika Tidak Setuju, Silahkan Ajukan Gugatan
Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan RKUHP yang baru saja disahkan. Penyusunan RKUHP bukanlah pekerjaan yang mudah apalagi di tengah masyarakat Indonesia dengan keragaman budaya dan agama. Â
Meskipun telah disosialisasikan ke seluruh pemangku kepentingan di seluruh Indonesia, pengesahan RKUHP tetap akan memunculkan kritik bahkan penolakan masyarakat.Â
Dalam proses pembahasan dan penyusunan RKUHP Â ini, pemerintah telah menyerap aspirasi serta pendapat masyarakat dari berbagai elemen seperti akademisi, praktisi hukum, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, dan kalangan jurnalis.Â
Terkait polemik yang terjadi di kalangan masyarakat,  Menteri Hukum dan HAM menghimbau masyarakat yang menganggap masih  terdapat pasal-pasal yang dianggap kontroversial utuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini sebagai bentuk solusi gugatan melalui mekanisme yang benar.
"Ubi societas ibi ius" jika diterjemahkan berarti  "Dimana ada masyarakat disitu ada hukum". Relasi antara manusia dan hukum  dapat dipandang sebagai dua entitas yang tidak terpisahkan.Â
Manusia tanpa hukum akan mengakibatkan kehidupan tanpa keteraturan, sedangkan hukum tanpa manusia juga tindak akan berfungsi. Artinya keadilan dan kedamaian di masyarakat akan tercapai apabila tatanan hukumnya berfungsi secara efektif. Â Peradaban sebuah bangsa dapat dilihat dari kitab undang-undang hukum pidana yang dimilikinya, berbanggalah kita bangsa Indonesia telah memiliki KUHP sendiri bukan lagi warisan kolonial Belanda. (MN)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H