Mohon tunggu...
MS
MS Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswi

Life must go on. seberat apapun masalah kita, Allah sudah menyiapkan solusinya. setelah ikhtiar jangan lupa tawakkal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Ambil

24 Oktober 2020   14:13 Diperbarui: 24 Oktober 2020   14:21 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Memiliki sahabat dengan pemikiran out of the box dari orang-orang lain sungguh sangat menarik. Namanya awwal, teman SMA ku. Dulu, dikelas dia sangat pendiam dan dingin. Setiap melihat matanya seolah dia sedang merencanakan pembunuhan dan penyiksaan yang kejam. Tapi, ketika kita mulai saling mengenal, ternyata dia tidak seburuk itu. Dia asyik, hanya saja pikirannya sangat liar. Bukan, bukan jorok. Tapi dia out of the box atau sering ku sebut dia psikopat, karena terlalu sering dia mengatakan hal-hal aneh. Mulai dari hal mistis hingga yang tidak logis. Bagaimana mungkin remaja 20 tahun itu memikirkan kecoa yang akan menguasai bumi dan manusia yang menjadi budak dari kecoa.

Aku dan awwal cukup sering bertemu untuk sekedar mengobrol, berdiskusi, atau berbagi cerita. Angkringan, jadi tempat favorit untuk kita bertukar cerita. Memesan secangkir kopi hitam panas untuk awwal dan good day dingin untukku. Sesekali kita mengambil beberapa gorengan, sekedar untuk menambah kenikmatan ketika menjadi pendengar. Jogja, kota istimewa dengan segala keunikannya. Di pinggir jalan raya, memilih tempat lesehan. Sambil menikmati dinginnya hembusan angin malam, dan terangnya lampu jalan.

Seperti biasa, aku yang membuka percakapan. Aku bercerita tentang mitos yang sudah lama ada di jogja. Tentang suara gamelan yang pernah kudengar samar di kamar kosan saat aku pertama kali sampai jogja.

'Serem kan, cuma aku lho yang dengar. Kamu percaya ngga sama hal mistis gitu?' kataku.

'Artinya kamu disambut. Gapapa. Aku sangat percaya' jawabnya.

'kamu pernah punya pengalaman juga?' tanyaku, awwal memang harus ditanya lebih dulu agar dia mau bercerita. Namanya memang awwal, tapi dia tidak pernah mau mengawali apapun.

'Ini udah malem lho, yakin mau denger? Disini ada pohon gedhe juga ni' tanya awwal, melihat jam tangan coklat kesayangannya yang sudah menunjukkan pukul 9.30 malam.

'Kamu pikir aku takut, tenang aja. Sans, tapi anterin pulang ya' tantangku tak mau kalah.

'Ya udah' jawab awwal sambil meneguk kopi hitamnya yang mulai dingin. Lalu berkata 'Jadi begini...'

 

Waktu itu tanggal 13 Mei 2014. Malam jumat kliwon, aku sangat mengingatnya karena hari itu adalah hari dimana aku sangat merasa kacau. Ayahku selalu menjadikanku sasaran kemarahan. Aku ngga ngapa-ngapain, tapi selalu disalahkan. Aku salah satu anak yang kurang beruntung karena memiliki ayah yang temperamental seperti itu. Luka yang ada di tanganku, adalah salah satu rekam jejak yang ditinggalkan dari sifat tempramen ayahku. Luka ini ada hanya karena aku menumpahkan kopi yang akan diseduh ayahku pagi itu. Entah apa yang terjadi dengan ayahku, tapi ayahku langsung mengambil pisau dan menggores tanganku. Beruntung, ibuku melihat dan langsung membawaku pada bidan. Ibuku adalah wanita yang lembut. Ibuku sangat sayang kepadaku, dan aku beruntung memilikinya. Luka di fisikku memang akan segera sembuh setelah diobati bidan. Namun luka itu sangat menyakiti hatiku. Bertahun-tahun aku hidup, bertahun-tahun juga aku memendam rasa sakit ini. Aku dulu adalah anak periang. Aku terkenal cerewet. Aku sering dipanggil beo oleh saudara-saudaraku. Tapi, semua berubah saat ayahku mulai berlaku kasar. Dan yang paling membekas adalah luka goresan ini.

Saat itu usiaku 14 tahun, kelas 2 SMP. Setelah menerima luka itu, aku berniat kabur dari rumah di malam hari. Pukul 22.00 saat kulihat ibu dan ayahku tertidur, diam-diam aku menyelinap, membuka pintu perlahan. Aku pergi tanpa membawa apapun dari rumah. Hanya baju yang melekat ditubuhku dan jam tangan coklat kesayanganku. Aku belum tahu mau kabur kemana. Yang aku tahu, aku harus pergi. Aku ngga bisa tinggal dirumah ini lagi. Aku bertekad kalau aku sudah sukses nanti, aku akan kembali untuk menjemput ibuku lagi. Yang ku lakukan, aku tahu ini ada di serial-serial tv yang sering ku tonton dengan ibu. Aku berjalan ke arah barat, aku berjalan baru 15 menit, kala itu ada angkringan yang buka. Pemilik angkringan melihatku dan bertanya

'Mau kemana nang? Ini sudah malam kok belum tidur' tanya mbah darmo, aku tahu namanya dari banner angkringannya.

Aku memilih diam karena tidak tahu harus menjawab apa.

'Sini nang, minum dulu' ajaknya.

Aku diberikan mbah darmo teh hangat gratis. Lalu aku pamit, setelah mengucapkan terimakasih. Aku ingin berjalan lagi karena ini baru keluar komplek rumahku. Tapi tiba-tiba mbah darmo mengatakan sesuatu kepadaku. Namun, aku tidak terlalu jelas mendengarnya.

'Apa mbah?' tanyaku

'Hati-hati, ada yang melihatmu. Jangan ambil apapun dari jalan. Banyak masalah hidup itu wajar nang' kata mbah darmo mengulanginya.

'Memangnya apa yang bisa ku ambil di jalanan ini? Dan siapa yang melihatku? Bulan?' pikirku sambil melajutkan perjalanan.

Aku melihat jam tangan coklat yang selalu melingkar di tanganku. Waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB. Kala itu aku sedang istirahat dipohon yang besar. Sangat besar, dengan daun yang amat rimbun. Aku terlalu lelah berjalan, hingga tak sadar aku tertidur sejenak dibawah pohon itu, aku merasa ada yang telah membangunkanku. Aku bangun, dan aku dikejutkan ketika melihat sekelibat cahaya dari langit menuju ke pohon besar lain disamping pohon besar yang sedang kusandari. Setelah cahaya itu hilang aku menghampiri pohon itu dan aku sungguh terkejut. Disana aku melihat ada sebuah keris dan wayang yang berjejer. Aku mengambilnya dan menaruhnya di saku. 'lumayan nih buat pedang-pedangan. Bagus' ucapku. Saat itu aku masih anak remaja dengan segala kenakalannya. Aku juga belum percaya dengan hal-hal mistis, karena itu aneh.

Aku kembali melihat jam tangan coklat kesayanganku. Waktu menunjukkan pukul 12 malam tepat. 'lama juga aku tidur' pikirku. Aku hendak melanjutkan perjalan lagi, baru satu langkah meninggalkan pohon itu aku seolah mendengar bisikan dengan bahasa jawa 'muleh... muleh,.. muleh...' (pulang, pulang, pulang). Seketika bulu kudukku merinding, aku tau tempat ini, aku ada di gang komplek sebelah. Suasananya sangat sepi, tidak ada motor atau satupun orang yang berjalan. Akhirnya aku memutuskan akan kembali pulang kerumah. Ku rasa aku tidak sanggup dan aku tidak tahu harus kemana, aku juga memikirkan ibuku.

Aku kembali berjalan pulang, perjalanan pulang terasa lebih cepat. Disepanjang jalan aku masih merinding. Entah kenapa, tapi rasanya beda. Aku kembali melewati angkringan mbah darmo. Kembali mbah darmo memanggilku. Tapi aku malah berjalan lebih cepat. Aku seketika teringat kata mbah darmo untuk tidak mengambil sesuatu di jalan. Tapi aku mengambil wayang dan keris ini. Mbah darmo berteriak kepadaku, namun kali ini menggunakan bahasa jawa 'ati-ati nang. Ati-ati, kue ws di titi. Ojo digugu' (hati-hati nak. Hati-hati, kamu sudah di incar. Jangan ditiru).

Aku sudah sampai didepan rumah, aku kembali masuk ke kamarku. Aku ambil lagi keris dan wayang dari saku bajuku. Aku melihat keris ini. Di gagang kerisnya tertulis tulisan aksara jawa yang sudah kupelajari sejak duduk di bangku SD. Tulisan itu bertuliskan 'Kuhasa' (Kuasa). Sementara wayang semar hanya berbentuk seperti salah satu anggota punakawan yang dianggap guru, ya semar seperti biasa. Aku menaruhnya di meja belajarku. Lalu aku tidur, aku merasa sangat lelah. Disaat seperti itu hanya kasurlah obatnya. Aku tidur tanpa berdoa, apalagi membasuh kaki.

Aku tertidur, dan aku bermimpi. Di dalam mimpi itu aku seolah dihampiri sosok tua dengan jenggot panjang, beserta sorban dan seorang wanita dengan kaki menyerupai ular, telanjang, dengan rambut panjang yang menutupi hingga dada. Suara mereka sangat besar, menggelegar, tawa mereka menyeringai. Sosok lelaki tua bersorban itu mngatakan kepadaku dengan bahasa jawa 'Panjennegan nyuwun nopo? Kulo ngabdi panjenengan. Panjenengan sampun dipilih sangking tiang kang kuoso. Monggo, menawi wonten tiang engkang jenengan mboten remen. Kulo saget mendet tiang niku. Kulo saget maringi kuoso kangge jenengan' (kamu minta apa? Aku menyerahkan diri padamu. Kamu adalah orang yang sudah dipilih oleh orang yang berkuasa. Silakan, mungkin ada seseorang yang tidak kamu suka. Saya bisa membunuh orang itu. Saya bisa memberikanmu kekuasaan). Aku hanya diam. Dan sosok wanita itu menyeringai seram dengan suara menggelegar namun tetap genit 'hai ganteng, terimakasih sudah menerimaku jadi budakmu. Kamu gagah sekali, kamu berani. Ayah kamu memang jahat. Kamu harus melawannya. Tapi, aku disini bisa membantu kamu menarik perhatian lawan jenismu. Kamu bisa memiliki wibawa, dan kamu pilih saja wanita mana yang ingin kamu dekati. Aku bisa'. Aku sangat takut dan bingung, suara mereka benar-benar seakan ada di telingaku. Aku terbangun, aku masih di kamarku, diatas kasurku ini. Aku melihat keris dan wayang itu tidak lagi ada di meja, tapi ada di samping bantalku.

Sudah pagi, aku keluar kamarku. Dan pemandanganku masih sama, melihat wajah tua ayahku yang semakin terlihat tua karena terlalu sering marah-marah. Ketika ayah melihatku yang baru bangun, ayahku kembali memarahiku. 'anak ngga guna. Jam segini baru bangun. Kerja, kamu pikir kamu anak konglomerat. Banyakan mimpi kamu, mau kuliah segala. Kerja wal kerja.' Bentak ayahku. Aku hanya diam, sampai akhirnya ayahku memukulku lagi dan lagi 'jadi cowok cemen banget, ga berani jawab. Bisanya cuma diem'. Aku tidak tahu kekuatan dari mana aku tiba-tiba berani membalas pukulan ayahku hingga ayahku berdarah. Ibuku dari dapur segera menghampiri dan terkaget melihat anak yang dikenal penyayang dan penurutnya ini berani memukul ayahnya. Ibuku menenangkanku, tapi aku malah memukul ibuku. Yang aku rasakan saat itu memang aku sedang merasa jenuh sekali dengan hidupku. Aku benci ayahku, tapi aku juga jadi benci ibuku karena dia hanya diam. Aku tidak ada apa denganku. Tapi aku merasa aku benar, ayah dan ibuku yang salah. Aku juga bisa marah, aku juga bisa memukul dan membalas semua yang aku alami selama ini.

Kejadian ini berlangsung hampir 2 bulan. Tidak ada yang berani menyalahkanku, tidak ada yang berani menggangguku. Aku semakin merasa percaya diri karena beberapa teman wanitaku yang menjadi primadona di sekolahku pun juga mendekatiku. Aku sangat bahagia, wanita-wanita dari keluarga kaya itu bisa aku manfaatkan untuk aku ambil uangnya. Aku jadi bisa makan sesukaku, membeli barang semauku. Aku tidak peduli dengan agamaku, aku jadi lupa diri. Aku tidak pernah sholat apalagi mengaji. Mau apa lagi? Aku sudah punya semuanya.

Hingga akhirnya ibuku mengetahui perubahan yang terjadi kepadaku. Ibuku adalah orang yang taat agama, beliau sering menasehatiku. Tapi itu tidak mempan lagi bagiku, bahkan ibuku sampai menangis sambil memelukku karena aku tidak pernah bertingkah seperti ini. Saat itu menurutku sabar hanya akan membuatmu semakin tertindas. Ibuku mengunjungi salah satu pemuka agama di kampungku, kyai itu mengatakan aku sudah diikuti dan aku sedang diincar. Kyai itu tahu aku menyimpan sesuatu yang seharusnya tidak aku simpan, dan yang mengikutiku adalah penunggu dari barang-barang tersebut. Akhirnya ibuku mulai menyelidiki, dan membuka-buka isi kamarku. Ibuku menemukan keris itu ada di balik buku-bukuku. Entah mengapa saai itu aku merasa ada bisikan lagi kepadaku mengatakan 'aku harus kamu jaga, kalau kamu tidak menjagaku semua yang ada padamu akan hilang.'. Perasaanku semakin aneh, dan tidak tenang. Aku memutuskan untuk pulang, dan aku melihat ibuku duduk di kursi memegang keris dan menangis. Aku terkejut, dan ibuku menoleh kepadaku berkata 'apa ini wal? Nyebut nak nyebut. Ini apa? Kamu sudah dikuasai, aku tahu ini bukan awwal anakku. Ibu mau bawa keris ini ke tempat kyai'.

'jangan bu, aku bahagia. Keris itu Cuma mainanku' kataku membela. Namun, ibu teteap berjalan pergi meninggalkanku, kala itu aku sudah mulai lemas. Aku tidak bisa mengejar ibuku. Bisikan itu semakin kencang dan terus menggema ditelingaku 'ambil, ambil, ambil'. Tapi aku tidak bisa. Dan aku merasa lemas, aku demam. Aku hanya berbaring di kasur sambil menunggu apa yang akan dilakukan ibuku. Ayahku pergi ntah kemana, setidaknya aku tidak merasa muak lagi melihat wajah ayahku.

Ibuku kembali dari rumah kyai sambil membawa bungkusan kain putih kecil beserta sebotol air mineral. Ibuku menghampiriku dan seakan tahu aku sedang lemas dan demam, ibu mengusapkan air dari botol tersebut keseluruh tubuhku sambil membaca do'a. kemudian ibu memintaku meminum air itu. Aku hanya menurut karena aku sungguh lemas

'ibu mau ke sungai. Keris ini milik orang pintar jaman dulu. Untung ibu sadar perubahan sikapmu, atau kalau tidak penunggu keris ini akan semakin menguasaimu. Ibu ngga mau anak ibu kenapa-kenapa. Awwal yang kamu lakukan ini salah, bukan begini cara menyelesaikan masalah dalam hidup. Yang kamu lakukan ini syirik, kamu mengimani penunggu keris ini. Ibu mau membuangnya sekarang. Keris ini sudah dibersihkan sama pak kyai' ucap ibu dan bergegas pergi. Ibuku membuang keris itu di sungai depan kompleks.

Keesokan harinya badanku mulai terasa ringan, aku berjalan ke depan kompleks dan aku melihat angkringan mbah darmo yang dulu pernah ku lihat ternyata tidak ada. Angkringan mbah darmo ini ada di samping sungai tempat ibuku membuang keris itu. Aku mulai penasaran dan bertanya dengan penjual pecel di ruko dekat sungai. Tapi pedagang itu seakan bingung dengan yang kutanyakan karena tidak pernah ada angkringan di dekat sungai. Di dekat sungai itu hanya ada 2 pohon tua, bersebrangan di tepi jalan. Daun pohon itu sangat rimbun bahkan sampai menutup jalan, sehingga cahaya mataharipun seolah tidak bisa menembus rimbunnya daun itu.

 

'begitulah ceritanya. Semenjak kejadian itu aku jadi lebih menutup diri lagi, aku tidak ingin terlihat berbeda baik dimata ibuku atau pun teman-temanku. Aku tidak ingin kehidupanku diganggu, aku ingin mendapatkan semuanya tanpa ada yang mengetahui dari mana sumbernya. Cukup aku saja yang tau' tutup awwal

Aku menganga mendengar ceritanya. 'ini pengalaman pribadi kamu wal? Serius?' tanyaku

Awwal hanya mengagguk sambil meneguk kembali kopi hitamnya yang sudah tak lagi panas.

'tunggu-tunggu, katanya kamu nemu keris dan wayang kan? Terus yang ditemu dan dibuang ibumu kerisnya kan? Wayangnya dimana wal?' tanyaku menggeruduk

'hahaha, cerita misteri ini ngga akan jadi misteri lagi jika semua plot cerita diketahui.' Jawab awwal

'Sudah, ayo aku antar kamu pulang.' Ajak awwal mengakhiri sesi cerita kita malam ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun