Aku sudah sampai didepan rumah, aku kembali masuk ke kamarku. Aku ambil lagi keris dan wayang dari saku bajuku. Aku melihat keris ini. Di gagang kerisnya tertulis tulisan aksara jawa yang sudah kupelajari sejak duduk di bangku SD. Tulisan itu bertuliskan 'Kuhasa' (Kuasa). Sementara wayang semar hanya berbentuk seperti salah satu anggota punakawan yang dianggap guru, ya semar seperti biasa. Aku menaruhnya di meja belajarku. Lalu aku tidur, aku merasa sangat lelah. Disaat seperti itu hanya kasurlah obatnya. Aku tidur tanpa berdoa, apalagi membasuh kaki.
Aku tertidur, dan aku bermimpi. Di dalam mimpi itu aku seolah dihampiri sosok tua dengan jenggot panjang, beserta sorban dan seorang wanita dengan kaki menyerupai ular, telanjang, dengan rambut panjang yang menutupi hingga dada. Suara mereka sangat besar, menggelegar, tawa mereka menyeringai. Sosok lelaki tua bersorban itu mngatakan kepadaku dengan bahasa jawa 'Panjennegan nyuwun nopo? Kulo ngabdi panjenengan. Panjenengan sampun dipilih sangking tiang kang kuoso. Monggo, menawi wonten tiang engkang jenengan mboten remen. Kulo saget mendet tiang niku. Kulo saget maringi kuoso kangge jenengan' (kamu minta apa? Aku menyerahkan diri padamu. Kamu adalah orang yang sudah dipilih oleh orang yang berkuasa. Silakan, mungkin ada seseorang yang tidak kamu suka. Saya bisa membunuh orang itu. Saya bisa memberikanmu kekuasaan). Aku hanya diam. Dan sosok wanita itu menyeringai seram dengan suara menggelegar namun tetap genit 'hai ganteng, terimakasih sudah menerimaku jadi budakmu. Kamu gagah sekali, kamu berani. Ayah kamu memang jahat. Kamu harus melawannya. Tapi, aku disini bisa membantu kamu menarik perhatian lawan jenismu. Kamu bisa memiliki wibawa, dan kamu pilih saja wanita mana yang ingin kamu dekati. Aku bisa'. Aku sangat takut dan bingung, suara mereka benar-benar seakan ada di telingaku. Aku terbangun, aku masih di kamarku, diatas kasurku ini. Aku melihat keris dan wayang itu tidak lagi ada di meja, tapi ada di samping bantalku.
Sudah pagi, aku keluar kamarku. Dan pemandanganku masih sama, melihat wajah tua ayahku yang semakin terlihat tua karena terlalu sering marah-marah. Ketika ayah melihatku yang baru bangun, ayahku kembali memarahiku. 'anak ngga guna. Jam segini baru bangun. Kerja, kamu pikir kamu anak konglomerat. Banyakan mimpi kamu, mau kuliah segala. Kerja wal kerja.' Bentak ayahku. Aku hanya diam, sampai akhirnya ayahku memukulku lagi dan lagi 'jadi cowok cemen banget, ga berani jawab. Bisanya cuma diem'. Aku tidak tahu kekuatan dari mana aku tiba-tiba berani membalas pukulan ayahku hingga ayahku berdarah. Ibuku dari dapur segera menghampiri dan terkaget melihat anak yang dikenal penyayang dan penurutnya ini berani memukul ayahnya. Ibuku menenangkanku, tapi aku malah memukul ibuku. Yang aku rasakan saat itu memang aku sedang merasa jenuh sekali dengan hidupku. Aku benci ayahku, tapi aku juga jadi benci ibuku karena dia hanya diam. Aku tidak ada apa denganku. Tapi aku merasa aku benar, ayah dan ibuku yang salah. Aku juga bisa marah, aku juga bisa memukul dan membalas semua yang aku alami selama ini.
Kejadian ini berlangsung hampir 2 bulan. Tidak ada yang berani menyalahkanku, tidak ada yang berani menggangguku. Aku semakin merasa percaya diri karena beberapa teman wanitaku yang menjadi primadona di sekolahku pun juga mendekatiku. Aku sangat bahagia, wanita-wanita dari keluarga kaya itu bisa aku manfaatkan untuk aku ambil uangnya. Aku jadi bisa makan sesukaku, membeli barang semauku. Aku tidak peduli dengan agamaku, aku jadi lupa diri. Aku tidak pernah sholat apalagi mengaji. Mau apa lagi? Aku sudah punya semuanya.
Hingga akhirnya ibuku mengetahui perubahan yang terjadi kepadaku. Ibuku adalah orang yang taat agama, beliau sering menasehatiku. Tapi itu tidak mempan lagi bagiku, bahkan ibuku sampai menangis sambil memelukku karena aku tidak pernah bertingkah seperti ini. Saat itu menurutku sabar hanya akan membuatmu semakin tertindas. Ibuku mengunjungi salah satu pemuka agama di kampungku, kyai itu mengatakan aku sudah diikuti dan aku sedang diincar. Kyai itu tahu aku menyimpan sesuatu yang seharusnya tidak aku simpan, dan yang mengikutiku adalah penunggu dari barang-barang tersebut. Akhirnya ibuku mulai menyelidiki, dan membuka-buka isi kamarku. Ibuku menemukan keris itu ada di balik buku-bukuku. Entah mengapa saai itu aku merasa ada bisikan lagi kepadaku mengatakan 'aku harus kamu jaga, kalau kamu tidak menjagaku semua yang ada padamu akan hilang.'. Perasaanku semakin aneh, dan tidak tenang. Aku memutuskan untuk pulang, dan aku melihat ibuku duduk di kursi memegang keris dan menangis. Aku terkejut, dan ibuku menoleh kepadaku berkata 'apa ini wal? Nyebut nak nyebut. Ini apa? Kamu sudah dikuasai, aku tahu ini bukan awwal anakku. Ibu mau bawa keris ini ke tempat kyai'.
'jangan bu, aku bahagia. Keris itu Cuma mainanku' kataku membela. Namun, ibu teteap berjalan pergi meninggalkanku, kala itu aku sudah mulai lemas. Aku tidak bisa mengejar ibuku. Bisikan itu semakin kencang dan terus menggema ditelingaku 'ambil, ambil, ambil'. Tapi aku tidak bisa. Dan aku merasa lemas, aku demam. Aku hanya berbaring di kasur sambil menunggu apa yang akan dilakukan ibuku. Ayahku pergi ntah kemana, setidaknya aku tidak merasa muak lagi melihat wajah ayahku.
Ibuku kembali dari rumah kyai sambil membawa bungkusan kain putih kecil beserta sebotol air mineral. Ibuku menghampiriku dan seakan tahu aku sedang lemas dan demam, ibu mengusapkan air dari botol tersebut keseluruh tubuhku sambil membaca do'a. kemudian ibu memintaku meminum air itu. Aku hanya menurut karena aku sungguh lemas
'ibu mau ke sungai. Keris ini milik orang pintar jaman dulu. Untung ibu sadar perubahan sikapmu, atau kalau tidak penunggu keris ini akan semakin menguasaimu. Ibu ngga mau anak ibu kenapa-kenapa. Awwal yang kamu lakukan ini salah, bukan begini cara menyelesaikan masalah dalam hidup. Yang kamu lakukan ini syirik, kamu mengimani penunggu keris ini. Ibu mau membuangnya sekarang. Keris ini sudah dibersihkan sama pak kyai' ucap ibu dan bergegas pergi. Ibuku membuang keris itu di sungai depan kompleks.
Keesokan harinya badanku mulai terasa ringan, aku berjalan ke depan kompleks dan aku melihat angkringan mbah darmo yang dulu pernah ku lihat ternyata tidak ada. Angkringan mbah darmo ini ada di samping sungai tempat ibuku membuang keris itu. Aku mulai penasaran dan bertanya dengan penjual pecel di ruko dekat sungai. Tapi pedagang itu seakan bingung dengan yang kutanyakan karena tidak pernah ada angkringan di dekat sungai. Di dekat sungai itu hanya ada 2 pohon tua, bersebrangan di tepi jalan. Daun pohon itu sangat rimbun bahkan sampai menutup jalan, sehingga cahaya mataharipun seolah tidak bisa menembus rimbunnya daun itu.
Â
'begitulah ceritanya. Semenjak kejadian itu aku jadi lebih menutup diri lagi, aku tidak ingin terlihat berbeda baik dimata ibuku atau pun teman-temanku. Aku tidak ingin kehidupanku diganggu, aku ingin mendapatkan semuanya tanpa ada yang mengetahui dari mana sumbernya. Cukup aku saja yang tau' tutup awwal