Mohon tunggu...
Muhammad Ali
Muhammad Ali Mohon Tunggu... Lainnya - Berdaulat Atas Diri Sendiri

AKU MENULIS, MAKA AKU ADA

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Enigma Pikiran

1 Juni 2023   21:02 Diperbarui: 2 Juni 2023   00:40 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun, lain halnya dengan contoh yang diajukan oleh Quine. Ketika anggota suku itu menyebutkan "Gavagai", orang akan selamanya mengasosiasikannya dengan kelinci. Dan memang dalam arti tertentu itu sama, yaitu kelinci adalah undetached rabbit parts (keseluruhan bagian dari seekor binatang yang kita sebut kelinci, yang tidak terpisah). Ya, tentu saja ketika kata kelinci atau Gavagai itu digunakan, kata itu akan cocok dengan penggunaan yang merujuk pada kelinci. Jadi, dalam hal tersebut kita tidak bisa memilah dalam arti apa suatu kata itu betul-betul merujuk ke hal yang sama yang kita maknai bersama. Hal itu merupakan sesuatu yang tidak pernah bisa dipilah. Dari sini kelihatan bahwa, makna itu tidak sesederhana sekedar merujuk ke satu hal yang sama. Boleh jadi, ketika kita merujuk ke hal yang kita kira sama sebetulnya kita merujuk ke hal yang berbeda. Yang satu merujuk ke kelinci, yang merujuk nya ke suatu komposisi tertentu yang kemudian kita sebut sebagai kelinci. Padahal dia adalah dua hal yang berbeda, ya.

Dari sinilah kita kemudian bisa menyimpulkan bahwa pikiran orang lain itu tidak mungkin bisa kita akses. Bahkan, penggunaan kata-kata yang kita lakukan bersama ini sebetulnya boleh jadi merujuk ke hal-hal yang berbeda-beda sesuai dengan sensasi setiap orang, kesan-kesan privat setiap orang. Jadi, pikiran orang adalah benar-benar merupakan misteri yang tidak pernah bisa kita akses sepenuhnya. Kita hanya bisa mendekati, tetapi tidak bisa sepenuhnya kita replikasi dalam kesadaran kita, kita hadirkan ulang dalam kesadaran kita. Tetapi masalahnya tidak berhenti disitu saja, bahwa pikiran orang lain merupakan sebuah misteri. Itu tentu saja kita masih bisa mengasumsikannya demikian, ya. Namun, ada satu hal yang jauh lebih kontroversial lagi dari proses ini yaitu, bahwa bukan hanya pikiran orang lain yang tidak bisa kita mengerti, tapi pikiran kita masing-masing ini yang juga tidak bisa kita mengerti. Dalam hal ini, Wittgenstein mengajukan argumen yang kemudian dikenal sebagai Private Language Argument, yaitu argumen yang menunjukkan bahwa bahasa yang betul-betul privat itu tidaklah ada, tidak mungkin ada. Bahasa privat sendiri bermaksud pada pengertian bahwa suatu sistem simbol yang hanya bisa dimengerti oleh diri kita sendiri. Nah, menurut Wittgenstein tidak dimungkinkannya bahasa privat semacam ini. Dia membangun satu contoh kasus ya, misalkan seseorang terdampar sendiri di suatu pulau selama bertahun-tahun disana. Dan dia mulai mengembangkan bahasanya sendiri. Misalnya, ketika dia merasakan sensasi tertentu, entah itu rasa sakit atau rasa gembira kemudian dituliskan dengan kata S, dia tuliskan di catatannya. Nah, penggunaan kata S untuk merujuk pada sensasi yang dirasakan itu merupakan sesuatu yang bisa dikatakan bahasa privatnya, karena hanya dia yang tahu apa itu S. 

Tapi betulkah dia tahu apa itu S? Apa itu simbol S? Apa yang selalu dirujuk oleh simbol itu, sebetulnya tidak juga. Karena boleh jadi, ketika tiap kali dia menggunakan kata S untuk merujuk sensasi yang dirasakan itu sebetulnya bisa jadi merujuk ke hal yang berbeda ya, sensasi yang tidak sama persis. Mengapa demikian? Karena dalam urusan sensasi privat, perasaan privat, sensasi yang kita rasakan dalam diri kita sendiri, benar dan salah itu tidaklah berlaku. Tidak ada kriteria ketepatan yang bisa digunakan untuk mengukur apakah suatu simbol yang privat itu bisa merujuk secara pasti ke satu sensasi privat. Tidak ada kriteria yang sifatnya bisa memastikan, apakah kata itu (kata S) digunakan secara tepat atau belum. Argumennya adalah ketika kita merasakan sesuatu, sesuatu yang kita rasakan secara privat, maka disana kita tidak akan bisa memilah, apakah itu perasaan betulan atau perasaan yang kelihatannya saja ada. Ini adalah argumen yang menunjukkan bahwa, bahasa privat tidak mungkin ada. Karena kata itu bisa dirujuk bisa digunakan untuk merujuk ke apa saja, ya. Karena kita tidak bisa membuat pemilahan-pemilahan antara yang sepertinya, yang kelihatannya dan yang sebenarnya dalam hal sensasi privat. Jadi, disinilah misterinya, bukan hanya bahwa pikiran orang lain tetapi juga bahkan pikiran kita sendiri tidak bisa kita mengerti, tidak bisa sepenuhnya tampil secara transparan di hadapan kesadaran kita. Kita hanya bisa menggambarkannya atau melakukan usaha untuk mendeskripsikannya tapi tanpa sepenuhnya bisa menghadirkan kriteria pemaknaan yang jelas atas pikiran sendiri.

Jadi dari sini bisa disimpulkan bahwa, kesan tentang adanya "aku yang utuh yang tak terbagi" individu dalam pengertian harafiah nya sesuatu yang indivisible itu adalah sesuatu yang ilusi sebenarnya. Tidak ada akses transparan ke diri sendiri. Karena persis seperti itu tadi, bahwa apapun yang kita gunakan untuk membaca pikiran kita, simbolisasi, bahasa atau apapun itu adalah selalu tentang sesuatu yang bisa saja merujuk ke apa saja yang kita alami. Tidak ada kriteria bagi ketepatan simbolisasi tersebut, apakah dia berlaku benar ataukah salah, dan oleh karena itu simbol tersebut gagal sebagai simbol. Dia tidak membahasakan apapun sebenarnya. Dia hanya menyebutkan suatu rujukan yang berubah-ubah setiap saat tergantung dari pengalaman privat kita. Dengan kata lain, kita tidak bisa mengakses apa yang sebetulnya kita rasakan. Karena untuk mengakses itu, kita akan lewat bahasa. Dan oleh karena itu, pikiran sendiri tidak mungkin kita mengerti. Kita hanya bisa mendekatinya atau menggunakan penggambaran-penggambaran namun tidak pernah bisa benar-benar mengakses diri secara transparan, seperti dalam bayangan banyak orang. Dari situ dapat dipersingkat bahwa kesadaranku, kesadaran diri (self-conciousness) adalah sesuatu yang ilusi. Kita tidak pernah memiliki sesuatu yang bisa disebut sebagai kesadaran diri kalau kita mengartikannya sebagai akses transparan terhadap keseluruhan pengalaman privat kita yang kita sadari lewat bahasa, yang kita ungkapkan lewat bahasa dan seterusnya. Bahkan kalau itu adalah bahasa privat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun