Mohon tunggu...
Muhammad Ali
Muhammad Ali Mohon Tunggu... Lainnya - Berdaulat Atas Diri Sendiri

AKU MENULIS, MAKA AKU ADA

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Enigma Pikiran

1 Juni 2023   21:02 Diperbarui: 2 Juni 2023   00:40 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Seringkali pikiran orang lain menjadi misteri atau teka-teki bagi kita. Apa yang mereka pikirkan seringkali tidak bisa kita pahami."

Akan tetapi, sering kita berpikir bahwa kita sebetulnya bisa mengerti pikiran orang lain asalkan kita telaten, cukup sabar memahami apa yang sebenarnya mereka maksud. Jadi, jika kita cukup sabar dan telaten mengajak berdialog dengan orang lain, memahami, serta berempati dan seterusnya maka, pada akhirnya kita mengerti apa isi dari pikiran orang lain. Namun, filsafat menunjukkan bahwa hal itu sebetulnya tidak mungkin (kita tidak mungkin benar-benar memahami isi dari pikiran orang lain). Dan bukan hanya itu, kita bahkan tidak mengerti isi dari pikiran kita sendiri. Ini adalah suatu enigma atau misteri. Tentang pikiran orang lain dan pikiran kita sendiri. Dan dalam artikel ini saya akan menunjukkan mengapa misteri itu tetaplah menjadi sebuah misteri yang tak terpecahkan sampai sekarang.

Kita seringkali mengandaikan begitu saja bahwa setiap orang berpikir dengan cara yang kurang lebih sama.  Jika saya bisa menyimpulkan bahwa langit itu "biru"dari pengamatan saya atas langit, maka orang lainpun juga sama bisa menyimpulkan hal itu. Jadi, ada asumsi atau andaian bahwa, kita kurang lebih berpikir dengan cara yang sama. Namun, filsafat menunjukkan bahwa hal tersebut tidak sesederhana itu. Seorang filsuf Austria yang cukup eksentrik bernama Ludwig Wittgenstein pernah mengulas persoalan ini di dalam buku "Philosophical Investigation". Ia mengangkat sebuah kasus yang dewasa ini dikenal sebagai "Inverted Qualia" atau Qualia yang terbalik. Qualia ini sebenarnya adalah istilah teknis dalam filsafat untuk menandai sensasi indrawi, misalnya kesan melihat warna merah atau merasakan panas atau mencium aroma tertentu. Semua itu merupakan qualia, kesan-kesan indrawi yang kita serap lewat proses pengindraan kita. Dan qualia ini memiliki sifat khas, dalam arti dia bisa kita akses secara langsung. Artinya, kalau kita melihat warna merah misalnya, maka warna merah itu langsung hadir di dalam kesadaran kita. Kita lihat dan kita sadari bahwa itu merah. 

Akan tetapi muncul suatu masalah, yaitu bagaimana dengan qualia yang dipersepsi oleh orang lain? Misalnya, kita sama-sama melihat papan lembar tulis artikel ini berwarna putih (anggap saja putih sempurna). Masalahnya, betulkah apa yang kita sebut sebagai putih papan lembar artikel ini adalah putih yang sama? Kita bisa saja mendefinisikan putih itu adalah warna yang sepenuhnya tidak memiliki atau tidak terkontaminasi dengan spektrum cahaya yang lainnya seperti merah, biru, hijau dan seterusnya. Dan kita tahu bahwa tiap kali kita berkomunikasi satu sama lain, kita selalu merujuk pada hal yang sama bahwa itu sebagai putih, seperti papan lembar artikel ini dan lain sebagainya. Artinya, kita selalu berangkat dengan pengandaian tadi. Akan tetapi, dalam arti tertentu hal ini sebetulnya tidak bisa dibuktikan. Kita tidak pernah memiliki pembuktian yang sifatnya objektif bahwa "persepsi ku tentang putih ini sama dengan persepsimu" (dalam konteks di luar soal simbolisasi atau pemaknaan putih itu murni, putih itu yang cemerlang, dsb ya). Namun, fakta objektif persepsi tentang warna putih itu pun kan sebenarnya tidak bisa dijelaskan satu sama lain, artinya kalau kita membangun suatu kasus katakanlah ketika seseorang menggunakan kata "putih" untuk hal yang dianggap putih terus secara konsisten dan kebetulan penggunaannya ini cocok dengan orang lain sedangkan sebetulnya apa yang dia sebut putih itu sebetulnya menurut persepsi orang lain itu warna nya ungu. Akan tetapi dia menggunakan warna putih ini untuk menyebut benda yang orang lain juga anggap putih, maka hal itu jadi cocok. 

Dari sini disimpulkan, bahwa tidak ada kriteria yang sifatnya objektif untuk menentukan "apakah yang aku lihat itu betul-betul hal yang sama dengan yang orang lain lihat?" . Jadi, persepsiku sebagai warna merah, putih, biru dan lain sebagainya itu belum tentu sama dengan yang kalian persepsikan. Boleh jadi, apa yang kita rasakan apa yang aku rasakan, sensasi yang aku terima dari suatu benda yang aku sebut "putih", itu sebenarnya berwarna ungu. Jadi, kasus Inverted Qualia atau Qualia Terbalik itu persis seperti itu, yaitu ketika seseorang mempersepsikan tentang sesuatu dan mengenalinya sebagai warna ungu tetapi dia menyebutnya dengan kata putih karena dia tahu itu adalah konsepnya putih. Warna itu diasosiasikan dengan kata putih dan orang lain yang melihatnya sebagai warna putih dan menggunakan kata putih untuk menyebutnya. Diantara kedua kasus penggunaan ini, tidak ada kriteria yang bisa memilah "apakah persepsiku sama dengan persepsi kalian atau berbeda?" . Ini adalah problem dari Inverted Qualia , tidak ada yang bisa memastikan. Jadi, dari situ bisa disimpulkan bahwa "pikiran ku tentang warna ataupun Qualia yang lain , kesan-kesan indrawi yang lain itu tidak bisa nyambung dengan pikiran kalian tentang hal-hal itu. dan aku tidak bisa mengerti pikiran kalian tentang hal itu dan kalian juga tidak bisa mengerti pikiran ku tentang hal-hal itu".

Sumber: www.reddit.com
Sumber: www.reddit.com

Contoh yang lainnya dikemukakan juga oleh filsuf dari Amerika bernama Willard van Orman Quine. Dia mengangkat sebuah kasus penggunaan bahasa tertentu, katakanlah suatu suku yang ada di wilayah atau hutan tertentu yang menyebutkan kelinci itu sebagai "Gavagai" . Ketika seorang antropolog datang dan menanyakan binatang itu, salah satu dari suku itu menyatakan bahwa itu "Gavagai". Nah, lalu si antropolog ini menganggapnya sebagai "kelinci". Akan tetapi, menurut Quine siapa yang bisa memastikan bahwa yang dimaksud "Gavagai" oleh suku itu sebetulnya bukan kelinci, tetapi keseluruhan bagian yang tidak terlepas dari seekor kelinci, istilahnya itu undetached rabbit parts. Jadi, keseluruhan bagian atau part dari rabbit itu yang undetached atau tidak terpisah (sesuatu yang utuh). Hal tersebut menunjukkan adanya 2 konsep yang berbeda, yang satu kelinci yang satu nya lagi undetached rabbit parts.

Sumber: movieklub.com
Sumber: movieklub.com

Ini tentunya berbeda dengan kasus yang muncul di film Arrival , film populer Hollywood itu yang dimana seorang protagonis yang seorang linguis (ahli bahasa) menceritakan tentang suatu kasus penemuan Bahasa Aborigin oleh orang Inggris (dalam konteksnya orang Austalia). Ketika suku Aborigin ditanya tentang binatang itu dan suku tersebut mengatakan bahwa itu adalah "Kanguru". Namun, yang dimaksud oleh suku Aborigin itu sebenarnya bukan "Kanguru" si binatang itu, tapi "lompat-melompat" lah yang disebut sebagi "Kanguru" (sesuatu yang melompat). Nah, kasus ini sedikit berbeda dengan kasus "Gavagai" tadi. Karena hal ini bisa diklarifikasi dikemudian hari ya. "Oh, ternyata penggunaan kata bukan hanya melekat pada Kanguru, tetapi juga melekat di sembarang makhluk yang melompat". Berarti Kanguru artinya adalah melompat. Dengan demikian bisa disimpulkan seperti itu.  Jadi, dari cara orang menggunakan bahasa itu kita bisa menyimpulkan makna dari kata-kata tersebut (sepeti Kanguru, atau apapun itu). 

Sumber: behance.net
Sumber: behance.net

Namun, lain halnya dengan contoh yang diajukan oleh Quine. Ketika anggota suku itu menyebutkan "Gavagai", orang akan selamanya mengasosiasikannya dengan kelinci. Dan memang dalam arti tertentu itu sama, yaitu kelinci adalah undetached rabbit parts (keseluruhan bagian dari seekor binatang yang kita sebut kelinci, yang tidak terpisah). Ya, tentu saja ketika kata kelinci atau Gavagai itu digunakan, kata itu akan cocok dengan penggunaan yang merujuk pada kelinci. Jadi, dalam hal tersebut kita tidak bisa memilah dalam arti apa suatu kata itu betul-betul merujuk ke hal yang sama yang kita maknai bersama. Hal itu merupakan sesuatu yang tidak pernah bisa dipilah. Dari sini kelihatan bahwa, makna itu tidak sesederhana sekedar merujuk ke satu hal yang sama. Boleh jadi, ketika kita merujuk ke hal yang kita kira sama sebetulnya kita merujuk ke hal yang berbeda. Yang satu merujuk ke kelinci, yang merujuk nya ke suatu komposisi tertentu yang kemudian kita sebut sebagai kelinci. Padahal dia adalah dua hal yang berbeda, ya.

Dari sinilah kita kemudian bisa menyimpulkan bahwa pikiran orang lain itu tidak mungkin bisa kita akses. Bahkan, penggunaan kata-kata yang kita lakukan bersama ini sebetulnya boleh jadi merujuk ke hal-hal yang berbeda-beda sesuai dengan sensasi setiap orang, kesan-kesan privat setiap orang. Jadi, pikiran orang adalah benar-benar merupakan misteri yang tidak pernah bisa kita akses sepenuhnya. Kita hanya bisa mendekati, tetapi tidak bisa sepenuhnya kita replikasi dalam kesadaran kita, kita hadirkan ulang dalam kesadaran kita. Tetapi masalahnya tidak berhenti disitu saja, bahwa pikiran orang lain merupakan sebuah misteri. Itu tentu saja kita masih bisa mengasumsikannya demikian, ya. Namun, ada satu hal yang jauh lebih kontroversial lagi dari proses ini yaitu, bahwa bukan hanya pikiran orang lain yang tidak bisa kita mengerti, tapi pikiran kita masing-masing ini yang juga tidak bisa kita mengerti. Dalam hal ini, Wittgenstein mengajukan argumen yang kemudian dikenal sebagai Private Language Argument, yaitu argumen yang menunjukkan bahwa bahasa yang betul-betul privat itu tidaklah ada, tidak mungkin ada. Bahasa privat sendiri bermaksud pada pengertian bahwa suatu sistem simbol yang hanya bisa dimengerti oleh diri kita sendiri. Nah, menurut Wittgenstein tidak dimungkinkannya bahasa privat semacam ini. Dia membangun satu contoh kasus ya, misalkan seseorang terdampar sendiri di suatu pulau selama bertahun-tahun disana. Dan dia mulai mengembangkan bahasanya sendiri. Misalnya, ketika dia merasakan sensasi tertentu, entah itu rasa sakit atau rasa gembira kemudian dituliskan dengan kata S, dia tuliskan di catatannya. Nah, penggunaan kata S untuk merujuk pada sensasi yang dirasakan itu merupakan sesuatu yang bisa dikatakan bahasa privatnya, karena hanya dia yang tahu apa itu S. 

Tapi betulkah dia tahu apa itu S? Apa itu simbol S? Apa yang selalu dirujuk oleh simbol itu, sebetulnya tidak juga. Karena boleh jadi, ketika tiap kali dia menggunakan kata S untuk merujuk sensasi yang dirasakan itu sebetulnya bisa jadi merujuk ke hal yang berbeda ya, sensasi yang tidak sama persis. Mengapa demikian? Karena dalam urusan sensasi privat, perasaan privat, sensasi yang kita rasakan dalam diri kita sendiri, benar dan salah itu tidaklah berlaku. Tidak ada kriteria ketepatan yang bisa digunakan untuk mengukur apakah suatu simbol yang privat itu bisa merujuk secara pasti ke satu sensasi privat. Tidak ada kriteria yang sifatnya bisa memastikan, apakah kata itu (kata S) digunakan secara tepat atau belum. Argumennya adalah ketika kita merasakan sesuatu, sesuatu yang kita rasakan secara privat, maka disana kita tidak akan bisa memilah, apakah itu perasaan betulan atau perasaan yang kelihatannya saja ada. Ini adalah argumen yang menunjukkan bahwa, bahasa privat tidak mungkin ada. Karena kata itu bisa dirujuk bisa digunakan untuk merujuk ke apa saja, ya. Karena kita tidak bisa membuat pemilahan-pemilahan antara yang sepertinya, yang kelihatannya dan yang sebenarnya dalam hal sensasi privat. Jadi, disinilah misterinya, bukan hanya bahwa pikiran orang lain tetapi juga bahkan pikiran kita sendiri tidak bisa kita mengerti, tidak bisa sepenuhnya tampil secara transparan di hadapan kesadaran kita. Kita hanya bisa menggambarkannya atau melakukan usaha untuk mendeskripsikannya tapi tanpa sepenuhnya bisa menghadirkan kriteria pemaknaan yang jelas atas pikiran sendiri.

Jadi dari sini bisa disimpulkan bahwa, kesan tentang adanya "aku yang utuh yang tak terbagi" individu dalam pengertian harafiah nya sesuatu yang indivisible itu adalah sesuatu yang ilusi sebenarnya. Tidak ada akses transparan ke diri sendiri. Karena persis seperti itu tadi, bahwa apapun yang kita gunakan untuk membaca pikiran kita, simbolisasi, bahasa atau apapun itu adalah selalu tentang sesuatu yang bisa saja merujuk ke apa saja yang kita alami. Tidak ada kriteria bagi ketepatan simbolisasi tersebut, apakah dia berlaku benar ataukah salah, dan oleh karena itu simbol tersebut gagal sebagai simbol. Dia tidak membahasakan apapun sebenarnya. Dia hanya menyebutkan suatu rujukan yang berubah-ubah setiap saat tergantung dari pengalaman privat kita. Dengan kata lain, kita tidak bisa mengakses apa yang sebetulnya kita rasakan. Karena untuk mengakses itu, kita akan lewat bahasa. Dan oleh karena itu, pikiran sendiri tidak mungkin kita mengerti. Kita hanya bisa mendekatinya atau menggunakan penggambaran-penggambaran namun tidak pernah bisa benar-benar mengakses diri secara transparan, seperti dalam bayangan banyak orang. Dari situ dapat dipersingkat bahwa kesadaranku, kesadaran diri (self-conciousness) adalah sesuatu yang ilusi. Kita tidak pernah memiliki sesuatu yang bisa disebut sebagai kesadaran diri kalau kita mengartikannya sebagai akses transparan terhadap keseluruhan pengalaman privat kita yang kita sadari lewat bahasa, yang kita ungkapkan lewat bahasa dan seterusnya. Bahkan kalau itu adalah bahasa privat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun