Mohon tunggu...
Muhammad Ali
Muhammad Ali Mohon Tunggu... Lainnya - Berdaulat Atas Diri Sendiri

AKU MENULIS, MAKA AKU ADA

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Mengapa Filsafat di Indonesia Tidak Berjalan Progresif?

23 April 2023   12:38 Diperbarui: 30 April 2023   20:00 1053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya seringkali bertanya-tanya, "Benarkah ada kemajuan di dalam filsafat Indonesia dan apakah ada filsafat di Indonesia?".

Hal itu pun merupakan suatu masalah yang sampai sekarang tidak pernah jelas jawabannya. Dan mengapa para filsuf atau katakanlah para penulis filsafat Indonesia lebih banyak menulis tentang pengantar filsafat daripada buku tentang pemikiran filsafatnya sendiri secara mandiri.  

Nah di artikel kali ini saya akan mencoba mengulas hal-hal terkait dengan persoalan tersebut serta apa saja yang melatarbelakangi atau yang bisa menjadi faktor mengapa filsafat di Indonesia tidak berjalan progresif.

Lantas, apa saja?

Ada beberapa tanda yang melatarbelakangi atau yang bisa menjadi faktor mengapa filsafat di Indonesia tidak berjalan progresif atau tidak berkembang pesat seperti yang diharapkan pemikir - pemikir kritis. 

Di antaranya adalah radikalisme yang ada di Indonesia (intoleran terhadap perbedaan agama), krisis kepemimpinan di berbagai bidang (sebagian pemimpin di Indonesia sudah terkungkung pada kejahatan seperti ketamakan, korupsi, hingga diskriminasi). 

Di bidang ekonomi pun serupa terlihat, para pemimpin negara berkolusi dengan para pengusaha dan para artis yang justru hidup bergelimang kemewahan disaat rakyat sedang dicekik oleh kemiskinan dan kebodohan akibat kesalahan kebijakan negara. Dan yang terakhir adalah kualitas diskusi atau berargumen di Indonesia menjadi semakin dangkal dan tertutup. 

Pemikiran-pemikiran kritis dibungkam, dipatahkan oleh kekuasaan politik yang otoriter. Sehingga filsafat yang notabene dekat dengan pemikiran kritis dan rasional tentang dunia, gagal menjadi bahasa keseharian di Indonesia. 

Filsafat gagal menjadi bagian dari percakapan masyarakat yang mencerahkan dan membawa wawasan yang luas.

Begitu banyak buku pengantar filsafat di Indonesia dan hampir semua buku yang ada di rak-rak buku filsafat di toko buku adalah  Pengantar Filsafat, mulai dari apa itu filsafat secara umum, apa itu pemikiran kritis sampai dengan pengantar yang sifatnya spesifik terhadap bidang-bidang filsafat tertentu misalnya, filsafat lingkungan, filsafat epistemologi dan terutama filsafat pengetahuan. 

Karena ini domain kajian yang sebetulnya banyak dipakai atau banyak pembacanya karena selalu ada mata kuliah filsafat ilmu di setiap jurusan di Universitas kita. 

Dominasi buku-buku pengantar filsafat ini membuat saya jenuh karena ada pada saat saya melihat Google, kita sudah sangat saturated dengan buku pengantar. Kita sudah begitu jenuh disuguhi berbagai macam uraian pengantar tentang “Apa itu Metafisika?”, “Apa itu Ontologi?” dst.

Source: AkademiTrainer.com
Source: AkademiTrainer.com

Problemnya, khusus di Indonesia adalah literatur kita. Kepustakaan kita dalam hal filsafat itu hampir seluruhnya isinya pengantar. Kalau ditulis oleh orang Indonesia sendiri biasanya Pengantar. 

Bahkan ini berlaku juga untuk teks filsafat yang merupakan hasil dari produk akademik, seperti skripsi, tesis, disertasi doktoral.  

Kita bisa mencontohkan atau mengibaratkan nya dengan buku-buku seni rupa. Nah, andaikan buku-buku seni rupa yang ada di toko buku itu adalah buku-buku pelajaran menggambar. Pengantar komposisi, pengantar membuat sketsa dan seterusnya. Yaitulah filsafat di Indonesia dalam konteks perbukuan. 

Isinya adalah buku-buku tentang teknik menggambar yang bagus. Kita tahu sebenarnya bahwa buku-buku seni rupa di Indonesia sudah jauh meninggalkan urusan-urusan teknis soal pelajaran menggambar. 

Justru sudah masuk ke dalam level wacana kritik atas karya, atas pemikiran di dalam karya dan seterusnya. Jadi, buku-buku seni rupa kita itu jauh lebih advance

Sementara filsafat masih dalam teknik menggambar. Pertanyaannya adalah mengapa kita hanya bisa menghasilkan buku pengantar? 

Mengapa tidak ada buku yang mencurahkan atau menguraikan pemikiran dari si penulisnya secara mandiri? (ini lho, saya hadir dengan pemikiran saya, ini posisi pemikiran saya, dasarnya a-b-c-d dan mari kita berdebat atau berdiskusi dengan itu).

Jadi, hal yang seperti itu jarang sekali ditemui. Dan  itu bisa dilihat antara dua hal, yang satu ada semacam kerendah-hatian bahwa kita belum layak disebut filsuf, bahwa pemikiran kita masih baru. 

Tapi disisi lain juga ada semacam kemalasan, kemalasan untuk “Ya udahlah, yang ada kan orang maunya juga buku-buku yang gampang” dan akhirnya si penulis membuat pengantar. 

Dan itupun yang laku kira-kira seperti itu. Buku-buku yang rumit tidak akan laku. Sebenernya terkesan memalukan melihat kondisi yang ada sekarang ini dalam konteks filsafat kalau kita bandingkan dengan disiplin ilmu yang lain. Kita tahu tadi contohnya seni rupa, bukunya yang ada di dalamnya isinya kritik karya, kritik pemikiran. 

Di sastra juga sama, di berbagai cabang ilmu yang lain juga sama. Jadi, sudah masuk ke perdebatan yang sifatnya sangat-sangat teknis, sangat-sangat detail tentang suatu hal dan sifatnya bisa mengelaborasi. Sehingga bisa memunculkan para pemikir tentang kebudayaan tentang seni rupa, tentang sastra yang kalibernya itu bahkan bisa masuk ke tataran nasional atau regional. 

Sementara di filsafat, perbedaan antara seseorang yang mendalami filsafat pada tingkat kuliah tidak terlalu jauh berbeda dengan pemahaman yang dicapai oleh orang-orang yang belajar sendiri secara otodidak. Mungkin yang kita butuhkan juga adalah suatu kesiapan untuk tidak dimengerti ya. 

Artinya, buku-buku filsafat yang sifatnya pengantar itu kan ditulis dengan ambisi untuk dimengerti. Tujuan utamanya adalah mudah diterima pembaca, mudah dimengerti, dipahami dan seterusnya. 

Kalau perlu dengan mengencerkan berbagai macam program filsafat menjadi hal yang sangat-sangat encer. Tetapi tantangan kita jangan-jangan adalah berani untuk memang tidak dimengerti. “Jadi, tidak apa-apa tidak  dimengerti. Namun, setelah ini silahkan kita diskusi lebih jauh maka kita akan sama-sama sampai pada pengertian”. Kurang lebih harusnya seperti itu.

Artinya, buku filsafat itu mestinya ditulis dengan kesadaran untuk memposisikan pembaca sebagai orang yang punya cara sendiri untuk mencapai pengetahuan dan bisa ikut dalam diskusi yang sifatnya setara dengan kita. Kita tidak harus memposisikan penulis filsafat sebagai seseorang yang lebih tahu daripada pembaca. 

Mengajari tentang hal apapun dengan cara yang sangat mudah, dengan jembatan keledai dan seterusnya. Dan dengan kata lain menganggap bahwa pembaca itu bodoh (hanya bisa mengerti pengantar). 

Harusnya kita beranjak dari asumsi seperti itu, meninggalkan asumsi itu dan masuk ke dalam satu asumsi baru bahwa kita ini sama-sama orang yang mau berdiskusi (silahkan kalau mau ada informasi yang mau dilengkapi sehingga kita bisa berdiskusi, silahkan cari) sehingga kita bisa masuk ke dalam wacana yang sifatnya lebih advance daripada sekedar mengulang apa yang dikatakan didalam buku-buku pengantar.

Ukuran bagi kemajuan di dalam filsafat tentunya adalah sejauh mana perdebatan kita berkembang. Dan perdebatan akan berkembang kalau kita selamanya berhenti dalam dunia tulis-menulis dan baca-membaca pengantar. 

Karena itu hanya menyiapkan dasar atau fondasi saja. Jika menyiapkan dasar terus tapi tidak membangun berarti tidak ada kemajuan. 

Isinya hanya dibuatkan satu fondasi kemudian besoknya diganti pondasi dicat warna hijau, dicat lagi warna merah, dicat lagi warna kuning dan seterusnya. Inilah kondisi filsafat di Indonesia. 

Perkara mengecat bangunan itu lebih baik nanti saja setelah bangunannya jadi. Jadi, jangan mengulang-ulang mengecat pada hal yang sama. 

Menurut saya dalam arti itu lebih baik kita tinggalkan penulisan pengantar kemudian masuk ke penulisan yang sifatnya argumentatif. 

Dari situ barulah kemudian memproduksi pengantar baru yang sifatnya kontekstual terhadap perkembangan yang ada. Kalau tidak ada perkembangan, lalu untuk apa menulis buku pengantar?

Satu-satunya cara untuk memajukan filsafat di Indonesia adalah dengan berhenti menulis pengantar filsafat dan menulis buku yang sifatnya berargumen. 

Mengajukan satu tesis pemikiran yang kemudian diperdebatkan dengan buku-buku yang lain, dan beranjak menulis satu tesis yang lebih baru yang mengatasi perdebatan yang ada dan seterusnya. Jadi, dialektika pemikiran bekerja dengan cara seperti itu.

Sebetulnya, belakangan ini sekitar 20 tahun terakhir, katakanlah seperti itu, mulai muncul buku-buku filsafat yang bukan pengantar di Indonesia. Misalnya, seperti buku-buku yang diterbitkan di Jogja. Seperti Cantrik Pustaka atau Arora. Mereka adalah penerbit buku yang menerbitkan buu-buku filsafat yang bukan pengantar. 

Contohnya adalah satu buku yang ditulis oleh Muhammad Alfayed berjudul "Filsafat Negasi".  Itu adalah satu buku yang orisinal yang memuat satu argumen yang merupakan hasil pemikiran dari si penulis, yang bukan hanya sekedar pengantar pada topik-topik filsafat. 

Jadi, si penulisnya ini menguraikan suatu tesis-tesis didalam buku itu yang bersifat orisinal. Dan itu merupakan suatu kemajuan dalam filsafat Indonesia. 

Harapannya, di tahun-tahun mendatang karya seperti itu akan semakin banyak sehingga kita betul-betul bisa bicara tentang filsafat atau tradisi filsafat di Indonesia dan bukan hanya tradisi Pengantar Filsafat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun