Karena ini domain kajian yang sebetulnya banyak dipakai atau banyak pembacanya karena selalu ada mata kuliah filsafat ilmu di setiap jurusan di Universitas kita.
Dominasi buku-buku pengantar filsafat ini membuat saya jenuh karena ada pada saat saya melihat Google, kita sudah sangat saturated dengan buku pengantar. Kita sudah begitu jenuh disuguhi berbagai macam uraian pengantar tentang “Apa itu Metafisika?”, “Apa itu Ontologi?” dst.
Problemnya, khusus di Indonesia adalah literatur kita. Kepustakaan kita dalam hal filsafat itu hampir seluruhnya isinya pengantar. Kalau ditulis oleh orang Indonesia sendiri biasanya Pengantar.
Bahkan ini berlaku juga untuk teks filsafat yang merupakan hasil dari produk akademik, seperti skripsi, tesis, disertasi doktoral.
Kita bisa mencontohkan atau mengibaratkan nya dengan buku-buku seni rupa. Nah, andaikan buku-buku seni rupa yang ada di toko buku itu adalah buku-buku pelajaran menggambar. Pengantar komposisi, pengantar membuat sketsa dan seterusnya. Yaitulah filsafat di Indonesia dalam konteks perbukuan.
Isinya adalah buku-buku tentang teknik menggambar yang bagus. Kita tahu sebenarnya bahwa buku-buku seni rupa di Indonesia sudah jauh meninggalkan urusan-urusan teknis soal pelajaran menggambar.
Justru sudah masuk ke dalam level wacana kritik atas karya, atas pemikiran di dalam karya dan seterusnya. Jadi, buku-buku seni rupa kita itu jauh lebih advance.
Sementara filsafat masih dalam teknik menggambar. Pertanyaannya adalah mengapa kita hanya bisa menghasilkan buku pengantar?
Mengapa tidak ada buku yang mencurahkan atau menguraikan pemikiran dari si penulisnya secara mandiri? (ini lho, saya hadir dengan pemikiran saya, ini posisi pemikiran saya, dasarnya a-b-c-d dan mari kita berdebat atau berdiskusi dengan itu).
Jadi, hal yang seperti itu jarang sekali ditemui. Dan itu bisa dilihat antara dua hal, yang satu ada semacam kerendah-hatian bahwa kita belum layak disebut filsuf, bahwa pemikiran kita masih baru.