Mohon tunggu...
Muhammad Ali
Muhammad Ali Mohon Tunggu... Lainnya - Berdaulat Atas Diri Sendiri

AKU MENULIS, MAKA AKU ADA

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bersikap Stoik di Masa Ambyar Mak Pyar

12 April 2023   13:05 Diperbarui: 12 April 2023   13:45 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: KataKeren.com

Acapkali masyarakat menganggap bahwa filsafat merupakan ilmu yang dapat membuat kita yang mempelajarinya bisa menjadi "orang gila". Namun, disisi lain filsafat itu banyak berbicara tentang hal-hal yang abstrak. Lalu bagaimana jika filsafat diarahkan untuk melihat hal-hal konkrit seperti halnya penderitaan. Apa yang harus dilakukan manusia di hadapan penderitaan atau di hadapan rasa sakit? Filsafat hakikatnya berbicara masalah sumber kebenaran. 

Dan kebenaran merupakan pangkal dari banyak hal. Dengan begitu manusia akan memiliki potensi-potensi kejiwaan (spiritual) yang dimana hal tersebut sangat menentukan bagi esensi (diri) dan eksistensi (keberadaan) manusia itu sendiri. Dan di dalam artikel ini, saya akan mencoba untuk menggali sisi seperti itu dari filsafat, khususnya dengan menimbang filsafat atau Etika Stoa.

Kaum Stoa atau Stoic adalah para filsuf yang hidup di masa Helenis atau periode ketika Yunani dijajah oleh Alexander Agung (Aleksander III dari Makedonia, adalah seorang raja dari Kerajaan Yunani kuno dari Makedonia). Dan pemikiran-pemikiran mereka masih terus hidup sampai dengan masa Romawi. 

Dua tokoh yang seringkali disebut ketika kita berbicara tentang filsafat Stoa khususnya etika adalah Marcus Aurelius, Sang Kaisar Romawi dan Epictetus Sang Budak. Lalu mengapa pemikiran Stoa ini bisa muncul di dalam pemikiran seorang Kaisar dan seorang Budak. Bukankah mereka berdua memiliki pengalaman hidup yang berbeda? Lalu mengapa bisa mereka sama-sama mengimani atau meyakini suatu falsafah hidup yang sama?

Sebenarnya, pada dasarnya Etika Stoa itu merupakan suatu pandangan bagaimana hidup ini mesti disikapi. Dan cara menyikapi hidup ala Stoa itu adalah cara menyikapi yang sifatnya rasional. Artinya, kaum Stoa itu berangkat dengan satu pengandaian bahwa alam semesta secara keseluruhan ini adalah suatu Cosmos, dalam bahasa Yunani Cosmos itu artinya tatanan. Artinya sudah ada tatanan di dalam alam semesta ini. Segala sesuatunya tidaklah kacau. 

Dia bisa seolah-olah terlihat kacau tapi itu hanya lah gejala penampakan saja. Ketika kita teliti lebih jauh lagi, maka kita akan melihat teori order atau tatanan disana (ada simetri, susunan dan seterusnya) yang membuat kita yakin bahwa alam semesta ini terkelola secara rasional. Ini merupakan kepercayaan dari para filsuf Stoa. Cara mereka menyikapi hidup itu diturunkan dari kepercayaan tentang adanya logos, satu prinsip rasional yang mengatur adanya alam semesta ini. 

Ketika mereka menghadapi penderitaan, maka yang mereka sarankan adalah kita menafsirkan penderitaan itu seolah-olah bukan berkenaan dengan dia, bukan berkenaan dengan kita yang mengalami penderitaan itu. Ini yang kemudian dikenal oleh para komentator yang dimana kemudian memandang dari kejauhan atau yang dicetuskan oleh Marcus Aurelius sendiri sebagai memandang dari sudut pandang seperti burung di angkasa. Penggunaan perspektif burung ini memang dimaksudkan memposisikan segala macam hiruk-pikuk dunia itu diluar kita, seolah-olah jauh. 

Kita mengalami rasa sakit, tetapi itu seolah-olah bukan rasa sakit kita, seolah-olah itu bukan penderitaan kita, seolah-olah kita tidak berurusan dengan rasa sakit dan penderitaan itu. Itulah yang dimaksud dengan memandang dunia dari kejauhan, jadi seolah-olah kita melihat diri kita sendiri dari kejauhan. Kita yang melihat itu seperti seekor elang yang mengintai dari atas yang seolah tidak peduli dengan segala macam hiruk-pikuk dunia. Sedangkan kita yang mengalami hal itu ada sebagai objek yang diamati di sana. Jadi, itu adalah ekspresi atau cara menggambarkan keadaan bagaimana kita menghadapi penderitaan dalam kerangka Stoicisme.

Source: Tokopedia.com
Source: Tokopedia.com

Cara menyikapi persoalan penderitaan ini berlaku terhadap cara kita menyikapi orang lain. Ketika kita tidak suka dengan orang lain atau merasa marah karena perilaku orang lain dan seterusnya. Maka, Marcus Aurelius menyarankan di dalam meditasinya dia menulis satu buku yang berjudul "Meditasi" tentang tutorial cara menjadi seorang stoic. Dan disitu dia menegaskan bahwa setiap pagi setiap dia bangun tidur, dia langsung berada dalam kondisi meditatif dimana dia memposisikan semua orang yang akan dia jumpai disepanjang hari itu sebagai orang yang sebetulnya saudaranya, saudara bagian dari satu logos Ilahi yang sama. 

Jadi, setiap orang ini memiliki persaudaraan batin secara tidak sadar. Mereka semua ini adalah sebagian dari suatu tatanan semesta yang sifatnya rasional. Sehingga apapun yang akan dilakukan terhadap dirinya, itu tidak akan mempengaruhi. Marcus Aurelius akan menerimanya sebagai bagian dari tatanan yang sudah digariskan. Hal ini sebetulnya dalam arti tertentu mirip dengan falsafah Jawa tentang bahwa segala sesuatu nya itu ginaris (sudah tergariskan). Dan apa yang harus kita lakukan adalah nerimo / legowo (menerima). 

Jadi, ketika begitu banyak penderitaan dan rasa sakit itu menghinggapi kita secara tidak tertahankan, maka sikap stoic tersebut akan mengatasi itu semuanya dengan menganggapnya itu tidak penting. Dengan menganggap semua keluh kesah, penderitaan, rasa tidak enak hati yang ada dalam diri kita itu bukan hal yang penting untuk diteruskan. Yang dilakukan adalah menjaga sikap bahwa semua ini bukan urusanku yang utama. Urusanku adalah menjalankan apa yang memang harusnya aku jalankan.

Itu adalah suatu etika tentang yang mungkin dikemudian hari akan berkembang sebagai etika tanggung jawab. Orang menjalankan suatu prinsip moral tertentu karena tanggung jawab untuk melaksanakan prinsip tersebut.

Bukan karena dia menunggu iming-iming sesuatu, dia menjalankan order atau tatanan yang logis sifatnya yang sebenarnya membentuk alam semesta. Dia memainkan peranan di dalam seluruh sandiwara alam semesta ini. Sikap seperti ini sebetulnya berkembang di dalam sejarah pemikiran dan sejarah peradaban yang dimana biasa diidentifikasi sebagai sikapnya para aristokrat. Mengapa demikian? Karena, ini sebenarnya ajaran-ajaran yang dekat dengan cara menyikapi yang sifatnya elitistik. 

Jadi, sikap stoic itu juga menggambarkan suatu sikap kelas sosial. Dia menandai suatu hirarki sosial yang dimana dia memposisikan diri berada di atas. Sikap semacam ini dicerminkan di dalam ungkapan tentang bangsawan Inggris yang disebut "Stiff Upper Lip" yang dimana seseorang yang dikatakan memiliki bibir atas yang kaku menunjukkan ketabahan dan ketabahan dalam menghadapi kesulitan, atau sangat menahan diri dalam mengekspresikan emosi.

Itu merupakan hal yang ideal yang dianggap keren oleh perspektif stoa. Ini adalah citraan yang dibangun oleh bangsawan Inggris sendiri. Ketika menghadapi serbuan tentara Napoleon, Wellington dikisahkan bersikap tenang seperti tidak ada urusan apapun. Sikap tenang itu adalah sikap aristokrat. Dihadapan amuk massa, dihadapan demokrasi-demokrasi yang nggak jelas dia tetap tenang. Jadi, sikap monarki aristokratis ini lah yang sebetulnya tercermin di dalam prinsip-prinsip etika Stoa.

Dan yang menarik adalah sikap-sikap hidup stoic ini belakangan sangat digemari di Indonesia. Dan rata-rata itu terjadi di lingkungan urban atau perkotaan. Mengapa demikian? Padahal kita tidak punya hubungan langsung dengan kebangsawanan model Inggris atau Romawi. Mengapa kita bisa menyukai atau penasaran dengan sikap stoic ? 

Mungkin ini ada hubungan nya dengan frustasi di hadapan keruwetan hidup urban yang tidak bisa kita ubah. Nah, Stoicisme ini sebetulnya menawarkan kepada kita satu cara untuk menafsirkan ketidakmampuan kita mengubah keruwetan hidup sehari-hari. Dia tidak menawarkan jalan pada kita untuk menyelesaikan keruwetan hidup, tapi dia menawarkan jalan bagi kita untuk menafsirkan ulang sehingga kekuatan hidup itu bisa diterima. Kita bisa menerima terhadap kekacauan itu dan menjalani hidup dengan normal. 

Saya pikir, ini adalah segi dimana stoicisme itu ada kesinambungan dengan kehidupan urban sekarang. Seperti yang saya tuliskan di awal artikel, stoa ini akan mengajarkan suatu cara dengan melihat seperti perspektif mata burung, melayang-layang melihat carut-marut dunia ini secara tidak berkepentingan seolah-olah itu bukan lah urusannya. Sikap ini sangat cocok sekali ketika kita menempatkannya dalam situasi urban , dimana kita ini seperti burung yang melayang-layang yang artinya kita tidak memiliki kemampuan untuk mengubah keadaan (di dalam konteks urban).

Katakanlah seorang karyawan, sedang frustasi karena harus commute tiap hari capek diperjalanan, di kantor dimarahi oleh bos dan seterusnya kemudian pulang lagi, tidur sebentar kemudian besok harus kerja lagi. Situasi absurd seperti ini sepertinya yang membuat Stoicisme sangat digemari khususnya di lingkungan urban. Jadi, ketika orang tidak bisa mengubah keadaan, yang bisa dia lakukan adalah mengubah interpretasi dia tentang keadaan. Apa yang semula diinterpretasikan sebagai hal yang mengganggu sehingga membuat frustasi, maka interpretasikan sebagai sesuatu hal yang biasa-biasa saja. 

Jadi, sebenarnya sikap Stoicisme itu dalam konteks penerapan dalam lingkungan kehidupan urban itu hanya lah semata perkara Managing Expectation , menakar dan membatasi ekspektasi kita. Jangan kemudian kita berharap lebih, bahwa nanti kita akan hidup enak. Kita batasi saja ekpektasi kita, bahwa nanti kita akan hidup pas-pasan tapi kita masih tetap hidup. Inilah satu cara berdiplomasi dengan kekacauan. Dan mungkin dalam arti itu, Stoicisme menjadi pilihan yang menarik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun