Mohon tunggu...
Muhammad Ali
Muhammad Ali Mohon Tunggu... Lainnya - Berdaulat Atas Diri Sendiri

AKU MENULIS, MAKA AKU ADA

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bersikap Stoik di Masa Ambyar Mak Pyar

12 April 2023   13:05 Diperbarui: 12 April 2023   13:45 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: KataKeren.com

Jadi, setiap orang ini memiliki persaudaraan batin secara tidak sadar. Mereka semua ini adalah sebagian dari suatu tatanan semesta yang sifatnya rasional. Sehingga apapun yang akan dilakukan terhadap dirinya, itu tidak akan mempengaruhi. Marcus Aurelius akan menerimanya sebagai bagian dari tatanan yang sudah digariskan. Hal ini sebetulnya dalam arti tertentu mirip dengan falsafah Jawa tentang bahwa segala sesuatu nya itu ginaris (sudah tergariskan). Dan apa yang harus kita lakukan adalah nerimo / legowo (menerima). 

Jadi, ketika begitu banyak penderitaan dan rasa sakit itu menghinggapi kita secara tidak tertahankan, maka sikap stoic tersebut akan mengatasi itu semuanya dengan menganggapnya itu tidak penting. Dengan menganggap semua keluh kesah, penderitaan, rasa tidak enak hati yang ada dalam diri kita itu bukan hal yang penting untuk diteruskan. Yang dilakukan adalah menjaga sikap bahwa semua ini bukan urusanku yang utama. Urusanku adalah menjalankan apa yang memang harusnya aku jalankan.

Itu adalah suatu etika tentang yang mungkin dikemudian hari akan berkembang sebagai etika tanggung jawab. Orang menjalankan suatu prinsip moral tertentu karena tanggung jawab untuk melaksanakan prinsip tersebut.

Bukan karena dia menunggu iming-iming sesuatu, dia menjalankan order atau tatanan yang logis sifatnya yang sebenarnya membentuk alam semesta. Dia memainkan peranan di dalam seluruh sandiwara alam semesta ini. Sikap seperti ini sebetulnya berkembang di dalam sejarah pemikiran dan sejarah peradaban yang dimana biasa diidentifikasi sebagai sikapnya para aristokrat. Mengapa demikian? Karena, ini sebenarnya ajaran-ajaran yang dekat dengan cara menyikapi yang sifatnya elitistik. 

Jadi, sikap stoic itu juga menggambarkan suatu sikap kelas sosial. Dia menandai suatu hirarki sosial yang dimana dia memposisikan diri berada di atas. Sikap semacam ini dicerminkan di dalam ungkapan tentang bangsawan Inggris yang disebut "Stiff Upper Lip" yang dimana seseorang yang dikatakan memiliki bibir atas yang kaku menunjukkan ketabahan dan ketabahan dalam menghadapi kesulitan, atau sangat menahan diri dalam mengekspresikan emosi.

Itu merupakan hal yang ideal yang dianggap keren oleh perspektif stoa. Ini adalah citraan yang dibangun oleh bangsawan Inggris sendiri. Ketika menghadapi serbuan tentara Napoleon, Wellington dikisahkan bersikap tenang seperti tidak ada urusan apapun. Sikap tenang itu adalah sikap aristokrat. Dihadapan amuk massa, dihadapan demokrasi-demokrasi yang nggak jelas dia tetap tenang. Jadi, sikap monarki aristokratis ini lah yang sebetulnya tercermin di dalam prinsip-prinsip etika Stoa.

Dan yang menarik adalah sikap-sikap hidup stoic ini belakangan sangat digemari di Indonesia. Dan rata-rata itu terjadi di lingkungan urban atau perkotaan. Mengapa demikian? Padahal kita tidak punya hubungan langsung dengan kebangsawanan model Inggris atau Romawi. Mengapa kita bisa menyukai atau penasaran dengan sikap stoic ? 

Mungkin ini ada hubungan nya dengan frustasi di hadapan keruwetan hidup urban yang tidak bisa kita ubah. Nah, Stoicisme ini sebetulnya menawarkan kepada kita satu cara untuk menafsirkan ketidakmampuan kita mengubah keruwetan hidup sehari-hari. Dia tidak menawarkan jalan pada kita untuk menyelesaikan keruwetan hidup, tapi dia menawarkan jalan bagi kita untuk menafsirkan ulang sehingga kekuatan hidup itu bisa diterima. Kita bisa menerima terhadap kekacauan itu dan menjalani hidup dengan normal. 

Saya pikir, ini adalah segi dimana stoicisme itu ada kesinambungan dengan kehidupan urban sekarang. Seperti yang saya tuliskan di awal artikel, stoa ini akan mengajarkan suatu cara dengan melihat seperti perspektif mata burung, melayang-layang melihat carut-marut dunia ini secara tidak berkepentingan seolah-olah itu bukan lah urusannya. Sikap ini sangat cocok sekali ketika kita menempatkannya dalam situasi urban , dimana kita ini seperti burung yang melayang-layang yang artinya kita tidak memiliki kemampuan untuk mengubah keadaan (di dalam konteks urban).

Katakanlah seorang karyawan, sedang frustasi karena harus commute tiap hari capek diperjalanan, di kantor dimarahi oleh bos dan seterusnya kemudian pulang lagi, tidur sebentar kemudian besok harus kerja lagi. Situasi absurd seperti ini sepertinya yang membuat Stoicisme sangat digemari khususnya di lingkungan urban. Jadi, ketika orang tidak bisa mengubah keadaan, yang bisa dia lakukan adalah mengubah interpretasi dia tentang keadaan. Apa yang semula diinterpretasikan sebagai hal yang mengganggu sehingga membuat frustasi, maka interpretasikan sebagai sesuatu hal yang biasa-biasa saja. 

Jadi, sebenarnya sikap Stoicisme itu dalam konteks penerapan dalam lingkungan kehidupan urban itu hanya lah semata perkara Managing Expectation , menakar dan membatasi ekspektasi kita. Jangan kemudian kita berharap lebih, bahwa nanti kita akan hidup enak. Kita batasi saja ekpektasi kita, bahwa nanti kita akan hidup pas-pasan tapi kita masih tetap hidup. Inilah satu cara berdiplomasi dengan kekacauan. Dan mungkin dalam arti itu, Stoicisme menjadi pilihan yang menarik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun