Mohon tunggu...
Mirah Delima
Mirah Delima Mohon Tunggu... Lainnya - Belajar dan Mendengarkan

Belajar dan Mendengarkan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Toxic Positivity-mu Itu Positif?

20 Agustus 2021   05:05 Diperbarui: 20 Agustus 2021   05:07 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ungkapan Toxic Positivity/dokpri

Toxic Positivity-mu Itu Positif?

Positif. Kata yang ‘menarik’.

Apalagi di masa pandemi, positif Covid-19 bukanlah kabar yang menggembirakan sekarang ini. Ketika kita mendengar negatif itulah membuat kita sedikit lega. Tentu berbeda ketika seorang suami mendapat kabar melalui selualrnya, sang istri ternyata positif hamil. 

Penantian yang diharapkan buat seseorang atau mereka mendambakan keturunan. Perasaan senang dan emosi positif terpancar dari responnya, menjadi seorang ayah dan ibu. Harapan dan doa yang menginginkan anak dari membentuk sebuah keluarga.

“Kamu harus berpikir positif menghadapi masalah ini.”

“Kuatlah, jangan menjadi seperti anak kecil. Masalah boleh berat, namun ngga perlu menjadi cengeng.”

“Temen-temenmu cuma bercanda. Itu biasa…ngga perlu didengar apalagi serius menanggapinya.”

“Memang menjalani kehidupan ini ngga mudah, semua orang juga tau. Cobalah kamu berpikir positif lagi, pasti ada hikmah yang kau dapatkan.”

Thinking Positive Thoughts

Kita terbiasa mendengar istilah, kalimat, ungkapan dan ajakan agar kita berpikir positif. Ketika ada hal-hal atau rencana yang tak sesuai dengan harapan. Ketika mengalami masa sulit, kemalangan, melakukan kesalahan atau berkeinginan untuk melupakan sesuatu kejadian atau peristiwa yang dialami. 

Apalagi dengan masa new normal, virus Covid-19 masih ada di tengah-tengah kita. Berusaha untuk berpikiran baik, berpikir positif akan membantu meningkatkan imunitas tubuh, healthy living, meskipun rasa kuatir akan masa depan.

Mungkin perasaan lelah, bosan, marah, sedih, frustasi kita alami. Sebagai manusia, cenderung untuk memilih yang berpikir positif. Hal itu akan membantu untuk menenangkan, mengalihkan atau menyingkirkan perasaan negatif. Mengabaikan emosi negatif yang seharusnya hadir, dan terjebak “kepositifan beracun.”

Sebagai makhluk sosial, manusia melakukan interaksi sosial dengan lingkungan. Mempunyai, menciptakan hubungan dan berkomunikasi. Dengan hubungan interpersonal, kebutuhan mendapatkan perhatian, kasih sayang, kepedulian, adalah bagian dari kebutuhan eksistensi manusia (Feist & Feist, 2013).

Ungkapan atau nasehat kepada teman/sahabat, keluarga, rekan kerja untuk berpikir secara baik atau thinking positive thoughts. Langsung atau tidak langsung kita dengar, dilakukan. Bahkan di media sosial selalu bertebaran ungkapan, ajakan, dan nasehat untuk berpikir positif. 

Jebakan Kepositifan

Emosi manusia terdiri dari emosi positif dan negatif, menurut Goleman.D, (1997). Tuhan menganugerahkan itu sebagai salah satu rangkaian mekanisme untuk manusia mampu bertahan hidup.

Hal-hal positif yang ada di sekitar kita, menjadi sumber daya untuk menumbuhkan dan memberikan kesempatan, tetapi dapat pula menjadi suatu jebakan. Memaksakan atmosfer sekelilingmu semuanya positif, menekan, menyingkirkan, dan menyangkal perasaan-perasaan negatif yang dimiliki individu secara nyata dan sesuatu alami untuk dirasakan termasuk toxic positivity (Gross, J. J., and Levenson, R. W, 1997).

Bersikap dan berpikir positif dan optimis akan membantu—kadang-kadang.  Sebenarnya justru baik emosi positif dan negatif secara alami kita rasakan. Karena perasaan itu membantu untuk mengukur semua emosi yang seseorang rasakan. 

Keseimbangan emosi dengan mengendalikannya sendiri. Saat kamu terjatuh, terpuruk, biarkan rasa sedih, kecewa, sakit, dan marah. Terima semuanya dengan baik, dan saat semua rasa yang menyakitkan bisa diredakan, kekuatan itu akan membantu untuk mengendalikan emosi tersebut.

Akan tetapi, bila emosi-emosi negatif yang dirasakan dan menganggapnya berlebihan, lalu ditolak, diabaikan, atau ditekan, akan berdampak tidak baik di masa mendatang. Kita terjebak dengan menjadikan semuanya adalah emosi positif.

Bagaimana dengan dirimu? Apakah kamu merasa demikian? Semua sikap dan emosi negatif yang dirasakan tak mampu kamu ungkapkan, baik ke orangtua, anggota keluarga, sahabat, bahkan dirimu sendiri sekalipun. 

Kamu berusaha terlihat kuat, sabar, harus berpikir positif dalam setiap hal. Berkecamuk emosi negatif kamu rasakan, tertekan, akan tetapi sebaliknya atmosfer di sekitarmu berbeda. Kamu rasakan semuanya seakan ‘be positive mind’. Ekspresi akan emosi negatifmu tak dapat kamu validasikan sendiri, kamu tolak dan tekan sekuatmu.

Toxic Positivity 

Toxic Positivity atau Kepositifan Toksik adalah bentuk perilaku seseorang yang secara terus-menerus, mendorong orang lain yang sedang tertimpa kemalangan untuk melihat sesuatu dari sisi baik, tanpa mempertimbangkan pengalaman yang dirasakan dan tanpa memberi kesempatan kepada orang lain untuk meluapkan perasaannya (Satriopamungkas B et. al, 2020)

Perilaku toxic positivity bisa terjadi kepada siapa saja, termasuk pada diri sendiri. Selalu berkata positif ke dirinya sendiri, sesama, tanpa disadari telah menjadi kebiasaan, membudaya di masyarakat. Mempunyai pola pikir secara positif itu baik, optimisme itu baik. Namun tidak perlu secara berlebihan, dan harus mengabaikan atau menolak perasaan yang seharusnya kita alami.

Toxic Positivity adalah emosi-emosi digambarkan sebagai perilaku dengan bentuk penolakan, penyangkalan, atau penggantian “pengakuan terhadap perasaan stres, kenegatifan, dan mungkin menjadi suatu trauma yang melemahkan seseorang (Sokal, Trudel, and Babb, 2020).

Selain itu, bila emosi negatif timbul dan dapat menjadi suatu gangguan kecemasan. Karena bentuk kecemasan merupakan salah satu gangguan psikologis, yang diikuti oleh timbulnya ketegangan otot, hiperaktif, dan kegelisahan pikiran. Adanya perasaan tak mampu, tak bisa memberikan sesuatu yang terbaik (King, L.A.,2008).

Pengertian lain dari toxic positivity adalah perilaku menarik pola pikir tetap dari standar yang tidak realistis bagi seseorang untuk mendapatkan penghargaan positif tanpa syarat (Wibowo, R.S, 2020). Selain perlunya melepaskan emosi yang dialami, seseorang perlu mencapai penerimaan dan respon emosional dari orang lain.

Apakah Nasehat Positif itu Toxic?

Umumnya nasehat berisi anjuran, ajakan, atau ungkapan yang baik, bersifat positif, dan membangun. Toxic positivity disebut sebagai toksik yang dianggap harus positif dan positif. 

Emosi negatif dijadikan emosi positif. Semua sikap, perilaku, dan emosi dijadikan semuanya positif. Thinking Positive Thoughts itu keharusan, semuanya adalah baik, positif, sampai meracuni orang tersebut, termasuk orang-orang di sekitar, (Chen, C.H et al, 2021). Mengapa?

Alasannya adalah:

  • Alaminya emosi positif dan negatif;
  • Tidak ada hal yang mutlak dalam hidup ini;
  • Tidak membangun, sebaliknya melemahkan/memperburuk;
  • Tidak dapat menerima diri sendiri (self acceptance).

Toxic Positivity Tidak Bermanfaat

Jadi, Thinking Positive Thoughts itu tidak mutlak berlaku dalam semua keadaan. Ketika emosi negatif secara alami itu ditolak, ditekan, disangkal, dan diabaikan, akan berdampak buruk di masa mendatang. 

Wajarnya semua emosi baik positif dan negatif dapat diekspresikan seseorang dalam kehidupan yang dijalaninya. Kebutuhan alamiah manusia tidak mendapatkan ‘wadah’ atau ‘ekspresi’ dan ‘waktu’ . Ini karena lingkungan dan atmosfer semuanya mengarah dan menjadikan Thinking Positive Thoughts, sehingga menimbulkan kepositifan beracun yang tidak bermanfaat buat siapapun.

Ciri Toxic Positivity

Di bawah ini beberapa ekspresi dan pengalaman umum dari sikap dan perilaku 'toxic positivity'. Tindakan berikut akan membantu kita mengenali toxic positivity yang terjadi, yaitu:

  • Menutupi perasaan yang sebenarnya
  • Mencoba untuk berusaha dengan mengabaikan/menyangkal emosi
  • Perasaan bersalah terhadap apa yang dirasakan
  • Meminimalisasi pengalaman orang lain, “beranggapan baik-baik saja”
  • Memberikan perspektif orang lain daripada melakukan validasi atas pengalaman emosi orang lain
  • Perasaan malu atau terhukum karena mengungkapkan atau mengekresikan emosi negatif, harus sesuatu positif (Thinking Positive Thoughts)

Apa Dampak dari Toxic Positivity?

Dampak toxic positivity adalah:

  • Perasaan malu bila mempunyai kelemahan, ketidakberdayaan, atau pemicu emosi negatif.
  • Stress atau mungkin trauma, karena tidak mampu mengontrol emosi-emosi yang dirasakan, sehingga menjadi memperburuk keadaan
  • Merasa sulit untuk membuka diri dan beradaptasi dengan orang lain, terbiasa ‘menjaga perasaan’ dan ‘berpura-pura’

Upaya Menghindari Toxic Positivity

Upaya menghindari atau tidak melakukan toxic positivity, berikut ini:

  • Menjadi pendengar yang baik, dan tidak menghakimi. Tanyakan kembali bila kurang jelas, agar seseorang/kelompok merasa dipedulikan dan didengarkan.
  • Tidak secara langsung menunjukan nasehat yang menyemangati/supporting, cukup dengan berempati saja.
  • Tanyakan tentang emosi yang dialami tidak berlebihan, tanpa tambahan nasehat/ungkapan positif akan ‘baik dan terkendali’
  • Menawarkan bantuan dan bersedia menolong sesuai kapasitas anda miliki.

Karena, Thinking Positive Thoughts adalah pola pikir yang baik apabila emosi-emosi positif dan negatif dirasakan secara wajar. Dapat dirasakan, diekspresikan dengan mendapatkan tempat dan waktu. 

Luapan emosi negatif diredakan, dikelola, dan terkendali secara alamiah serta tanpa karena ‘sesuatu’. Sesuatu tidak mutlak, selalu merasa bahwa semua hal dan atmosfer sekitar kita adalah positif, tanpa melibatkan psikomotor yang baik dan alamiah. Sebaliknya, itu akan mengakibatkan timbulnya masalah lain, untuk masa mendatang.

Lebih baik  untuk menerima adanya sikap dan pola pikir positif dan negatif dengan seimbang. Sehingga, kita dapat menghindari perilaku 'kepositifan beracun' dan tidak melakukan toxic positivity ke orang lain atau diri sendiri. Kamu dapat memulai dan menciptakan Thinking Positive Thoughts dengan tidak menjadikannya toxic positivity. Yuk, mulai dari diri sendiri, kamu, kita, dan mereka…

Referensi: 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun