Dua minggu lalu saya bersepeda ke area Taman Sri Baduga (Situ Buleud) Purwakarta yang merupakan pusat masyarakat Purwakarta berkumpul entah itu sekedar untuk berolahraga ataupun kuliner. Itu pertama kalinya saya kembali bersepeda agak jauhan setelah hampir dua tahun saya "pensiun" bersepeda agak jauhan.
Dan alangkah kagetnya saya melihat begitu banyak masyarakat khususnya yang bersepeda disaat era "new normalini. Faktor bersepeda menjadi salah satu kegiatan yang dapat menjaga imun tubuh agar terhindar dari virus menjadi alasan utama masyarakat bersepeda. Bersepeda di era new normal ini bahkan bukan lagi sebagai sarana untuk menjaga daya tahan tubuh tapi sudah menjadi bagian dari gaya hidup, menjadi trend bahkan menjadi gengsi tersendiri.
Selain itu komunitas pesepeda pun semakin banyak. Hal ini terlihat dari tipe sepedanya maupun jersey (pakaian) yang mereka kenakan. Semua bergabung di beberapa tempat.  Di tahun 2016 ketika saya memutuskan membuat chapter  komunitas sepeda di kota saya, saat itu anggotanya hanya 3 orang tapi kini di era new normal komunitas dari sepeda yang biasa saya gunakan anggotanya sudah lebih dari 20 orang. Bahkan ada komunitas sepeda lipat yang dibentuk tahun 2019 saat ini jumlahnya sudah lebih dari 50 orang. Suatu kemajuan yang luar biasa pesat.
Selain itu toko sepeda kini menjadi toko yang banyak dikunjungi oleh masyarakat. Menurut salah satu pelayan toko sepeda yang saya kenal, setiap hari ada saja yang membeli sepeda baru. Padahal sebelum new normal , toko sepeda hanya didatangi oleh masyarakat yang hobby bersepeda saja.Â
Begitu juga yang dialami oleh paman saya  yang punya usaha bengkel sepeda dan penjualan sepeda bekas. Paman saya mengatakan bahwa tiap hari ada saja orang yang berkunjung ke bengkelnya mencari sepeda bekas apalagi sepeda baru harganya sangat tinggi jadi sepeda bekas menjadi pilihan alternatif dan yang penting tetap bersepeda.
Padahal pada saat saya bersepeda dari tahun 2012 sampai tahun 2018 memang benar bahwa masyarakat bersepeda karena hobby dan sebagai alat kendaraan ke tempat kerja. Sepeda bukan menjadi pilihan utama. Jarang sekali masyarakat yang bersepeda sekedar untuk menjaga kesehatan. Usaha saya dan teman-teman sepeda saat itu untuk mengkampanyekan kegiatan bersepeda dipandang sebelah mata.Â
Di tahun-tahun itu pun saya melakukannya karena hobby karena solidaritas komunitas antar pesepeda tidak cuma di kota sendiri tapi juga di berbagai kota yang begitu solid. Selain itu saya bersepeda sebagai alat transportasi saya ke kantor yang memang tidak terlalu jauh jaraknya dari rumah (hanya 4km-an)
Di tahun-tahun itu pula saya melakukan kegiatan bersepeda ke tempat kerja atau bike to work. Karena saat itu jarang sekali yang bersepeda ke kantor. Saya pernah dibecandain oleh murid saya hanya karena sering ke kantor menggunakan sepeda.Â
Sering kali setiap bersepeda saya di klaksonin oleh pengendara kendaraan lain padahal posisi saya sudah di sisi jalan. Selain itu setiap menyebrang ke kantor saya sering mengalami kesulitan karena tidak ada satupun pengendara kendaraan lain yang mau berhenti. Akibatnya saya harus nunggu jalanan sepi dulu baru bisa menyebrang.
Banyak juga peristiwa para pesepeda mengalami kecelakaan di jalan raya padahal cara mereka bersepeda sudah sesuai aturan. Rata-rata diakibatkan karena pesepeda dianggap mengganggu jalannya mereka atau diakibatkan karena pengendara kendaraan lain terlalu ngebut membawa kendarannya. Hak pesepeda belum tentu sepenuhnya diterima oleh pengendara kendaraan lain padahal hak pesepeda sudah diatur dalam undang-undang nomor 25 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.