Mohon tunggu...
Mira Miew
Mira Miew Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Purwakarta yang jatuh hati dengan dunia kepenulisan dan jalan-jalan

Menulis adalah panggilan hati yang Tuhan berikan. Caraku bermanfaat untuk orang banyak adalah melalui Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lasminingrat, Tokoh Sastrawati Pertama Negeri Ini

31 Januari 2020   09:39 Diperbarui: 31 Januari 2020   10:48 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 28 Januari 2020 saya mendapat kesempatan untuk menyaksikan pementasan Monolog "Wanodja Soenda" yang digagas oleh The Lodge Foundation kemudian direalisasikan oleh Main Teater dengan menampilkan cerita tiga tokoh pahlawan Sunda yaitu Emma Poeradirejda, Raden Dewi Sartika dan R.A. Lasminingrat.

Dari ketiga tokoh tersebut ada satu tokoh yang menarik perhatian saya yaitu Lasminingrat karena selain beliau, dua tokoh itu pernah saya baca ceritanya.

Menonton Monolog "Wanodja Soenda" yang ceritanya ditulis oleh Zulfa Nasrulloh dan dibawakan secara apik oleh Maudy Koesnaedi Selama +- 30 menit membuat saya tahu betapa hebatnya sosok pahlawan yang satu ini.

Menurut Wikipedia, R.A. Lasminingrat lahir di Garut pada tahun 1843 dan merupakan putri sulung dari R.H. Moehamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Ayahnya Lasminingrat adalah seorang penghulu bintang Limbangan sekaligus sastrawan Sunda. Ayahandanya Lasminingrat ternyata pernah menimba Ilmu di suatu pesantren daerah Purwakarta.

Lasminingrat sejak kecil sudah diberikan kebebasan untuk membaca dan menulis dan itu didukung penuh oleh ayahnya. Keseringan membaca buku membuat Lasminingrat merasa terbuka dunianya. Ketika Ia kecil sekitar tahun 1850-an saat itu sekolah untuk pribumi sangat terbatas hanya untuk kaum laki-laki. Tidak banyak keluarga yang membiarkan perempuan untuk belajar. Dan itu sangat berbanding terbalik dengan orang tuanya yang mendukung penuh Lasmingrat untuk belajar dengan seluas-luasnya

Dari monolog Lasminingrat, di ceritakan bahwa Haji Muhamad Musa mempunyai seorang kenalan seorang pimpinan kebun teh di Cikajang bernama Tuan Karel Frederik Holle yang juga seorang ahli tata bahasa yang suka meneliti kebudayaan Sunda. 

Tuan Holle lah yang mengatakan bahwa dalam kebudayaan Sunda, Perempuan adalah Pemimpin. Perempuan adalah Raja. Dari Tuan Holle, Lasminingrat banyak mendapat buku cerita dan juga pengetahuan. Karena sering mendengar, Lasminingrat sedikit demi sedikit mulai memahami isi ceritanya dan membuat Lasminingrat semakin tertarik membaca dan belajar bahasa Belanda. Lasminingrat pun semakin giat belajar.

Namun tahun 1850-an, Belanda mulai menerapkan sistem tanam paksa di mana rakyat disuruh menaman apa yang mereka tidak tahu. Rakyat kehilangan beras dan makanan hingga akibatnya timbul kebencian kepada orang Belanda. 

Bagi masyarakat, saat itu Belanda adalah kafir dan bandit-bandit pencuri hasil tanah mereka. Kedekatan keluarga Lasminingrat dengan Tuan Holle membuat keluarganya pun ikut dibenci rakyat. Padahal tidak semua orang Belanda itu jahat, kata Lasminingrat.

Kebencian masyarakat pun semakin memuncak ketika Lasminingrat beranjak Gadis dan dititipkan sebagai anak angkat pada seorang direktur Belanda bernama Tuan Levyson Norman di Sumedang. Ayahnya sempat di cap tidak tahu adat. 

Padahal ayahanda Lasminingrat dari dulu menginginkan anak-anaknya kelak mendapatkan posisi di kalangan pemerintah termasuk Lasminingrat yang seorang perempuan harus belajar dan dekat dengan para pejabat. Ayahnya tidak ingin keluarganya tidak mencuri kesempatan untuk belajar dan mencapai kesejahteraan di masa depan.

Di Sumedang, Lasminingrat banyak mendapat pelajaran yang sama dengan anak bangsawan lainnya. Diajari membaca dan menulis oleh guru orang Belanda. Lasminingrat menganggap belajar Bahasa Belanda itu sangat penting agar dia dapat membaca buku-buku, karya-karya sastra dan majalah-majalah yang menggambarkan dunia. Dan Lasminingrat menjadi satu-satunya perempuan pribumi yang mahir dalam menulis dan berbahasa Belanda.

Setelah gagal di pernikahan yang pertama, Lasminingrat kembali ke Garut pada tahun 1871 dan atas arahan dari keluarganya untuk menerjemahkan karya-karya sastra Belanda ke dalam Bahasa Sunda.

"Dari buku-bukuku, aku dapat membaca lingkungan sekitar. Dari cerita-cerita yang aku terjemahkan, aku menulis apa yang aku lihat. Aku ingin membagi apa yang masyarakatku tidak dapatkan. Aku ingin membagi keberuntunganku atas ilmu pengetahuanku yang berlimpah ini. Semuanya aku sisipkan dalam cerita-cerita yang aku tulis" ~Lasminingrat.

Pada tahun 1875, Lasminingrat menerbitkan buku cerita yang berjudul Tjarita Eman yang merupakan terjemahan dari cerita Belanda yaitu Hendrik van Eichenfels karya penulis Belanda Christoph von Schmidt yang akhirnya menjadi bacaan wajib pribumi saat itu. Informasi yang saya dapat dari www.edukasi.kompas.com disebutkan bahwa buku itu dicetak sebanyak 6.015 eksemplar dan kemudian mengalami cetak ulang pada tahun 1911 dan 1992. Sebuah pencapaian yang luar biasa pada masa itu.

Setelah karya tersebut, pada 1876 terbit Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng Jilid I dalam aksara Jawa. Buku ini merupakan hasil terjemahan dari tulisan Marchen von Grimm dan JAA Goeverneur, yaitu Vertelsels uit het wonderland voor kinderen, klein en groot (1872) dan beberapa cerita Eropa lainnya. Jilid II buku ini terbit setahun kemudian, lalu mengalami beberapa kali cetak ulang, yakni pada 1887, 1909, dan 1912, dalam aksara Jawa dan Latin (sumber)

Dan pada tahun 1874 untuk pertamakalinya ayahnya melakukan gerakan cukup berani dengan mendirikan sekolah Eropa yang dibiayai sendiri dan atas bantuan dari para menak Limbangan. Di sekolah tersebut, anak pribumi dan anak Eropa boleh belajar bersama dan berlaku untuk anak perempuan.

Perjuangan Lasminingrat dan ayahnya dalam bidang pendidikan dan literasi tidaklah mudah. Masyarakat sempat menanggap bahwa ilmu-ilmu baru itu adalah ilmu-ilmu kafir yang selama ini menindas dan memeras mereka. Mereka, rakyat takut jika ilmu itu kelak akan membuat mereka menjadi keji dan merugikan orang lain.

Namun Lasminingrat tidaklah menyerah, dia dan ayahnya mengajari dan memberi tahu pelan-pelan. Lasminingrat dan ayahnya memahami bahwa masyarakat untuk datang ke sekolahnya perlu keberanian, keberanian oleh penderitaan yang telah rakyat alami. Kesabaran dan konsistensi Lasminingrat dan ayahnya akhirnya sedikit demi sedikit membuka cara pandang rakyat terhadap pendidikan.

Pada tahun 1904, Lasminingrat mendukung gagasan Raden Dewi Sartika untuk membuka sekolah bagi perempuan. Atas bantuan Lasminingrat yang meminta bantuan suaminya yang berteman baik dengan Bupati Bandung saat itu, akhirnya Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri di Bandung.

Lasminingrat juga teringat dengan ucapan Tuan Holle yang mengatakan bahwa di kebudayaan Sunda, perempuan itu sangat diagungkan. Falsafah Sumur, Dapur dan Kasur tidak menempatkan perempuan pada makna yang negatif. Ketiga itu adalah hal yang penting yang jika diterapkan pada perempuan berarti perempuan memiliki peranan yang utama dalam menjaga kehidupan manusia

Sumur adalah sumber air, sumber hidup. Perempuan harus cerdas karena dari tangannya anak-anak minum ilmu pengetahuan.

Dapur, makanan disajikan. Tanpa keterampilan dan kecerdasan serta akhlak yang baik, sumber hidup manusia itu bisa jadi beracun bahkan mematikan. Jangan menganggap dapur itu rendah. Dapur adalah ruang yang memiliki peranan penting

Kasur bukanlah kodrat perempuan saja tapi laki-laki juga. Tanpa pendidikan perempuan, Kasur itu bisa saja bergeser, perempuan bisa jadi merasa dirinya rendah padahal apa yang dilakukannya sangat penting karena itulah sumber keutamaan perempuan menjadi orang yang menjaga sumber kehidupan manusia

Karena falsafah itulah pada pada tahun 1907, Lasminingrat mendirikan Sakola Kautamaan Istri di Garut. Sebagai Pembina perhimpunan Sekolah Kautamaan Istri agar falsafah tentang keutamaan seorang perempuan tetap digaungkan. Melalui keutamaan ini, perempuan agar dapat membaca dan menulis juga menyuarakan suara-suara mereka. Perempuan juga dididik untuk memasak, mengasuh anak dan keutamaan perempuan lainnya.

Meninggalnya suaminya, mengakibatkan pergerakan Lasminingrat menjadi terhambat. Keponakannya yang menggantikan suaminya menjadi bupati akibat rasa iri, Sakola Kautamaan Istri sedikit demi sedikit disingkirkan dari wilayah Garut. Foto dan arsip di Sakola Keutamaan Istri juga disingkirkan dan musnah tanpa bekas.

Menurut Maudy Koesnaedi yang membacakan monolog cerita Lasminingrat di “Wanodja Soenda” mengatakan bahwa Maudy bersyukur terlibat di monolog ini dan dapat mengenal sosok inspiratif perempuan intelektual dari tanah Parahyangan ini. 

Mengenalnya semakin membuka mata bahwa perempuan harus cerdas dan mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas agar kelak dapat merawat anak bangsa menjadi dewasa dengan pola pikir maju.

Foto : Dokumentasi Instagram The Lodge Foundation
Foto : Dokumentasi Instagram The Lodge Foundation

“Apa yang diperjuangkan oleh Lasminingrat di jaman tersebut masih relevan dengan kondisi saat ini. Penting bagi kita sebagai perempuan untuk terus belajar mengembangkan diri demi anak-anak kita, demi bangsa dan negara ini” ~Maudy Koesnaedi

Lasminingrat meninggal pada tanggal 10 April 1948 di usia 105 tahun dan dimakamkan di Garut. Sayangnya meski perjuangannya di bidang literasi dan pendidikan untuk negeri ini begitu banyak, Lasminingrat sampai sekarang belum dinobatkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah. Faktor tidak lengkapnya kajian ilmiah dan bukti otentik karya Lasminingrat menjadi alasan belum ditetapkannya Lasminingrat sebagai Pahlawan Nasional.

Foto : Dokumentasi IG: @zulfanasr
Foto : Dokumentasi IG: @zulfanasr
Meski sampai saat ini belum diakui oleh pemerintah sebagai pahlawan Nasional, seperti yang dikatakan Maudy Koesnaedi, yang utama kita sebagai perempuan hendaklah belajar dari sosok beliau yang terus mau belajar untuk mencerdaskan kita sebagai perempuan maupun untuk anak-anak kita dan generasi yang lain.

Semangat berkarya dan mengabdi untuk keluarga dan untuk negeri untuk perempuan Indonesia

Salam Jas Merah, Jangan Pernah Melupakan Sejarah

Sumber bahan tulisan :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun