Mohon tunggu...
Rahmi Rizqi
Rahmi Rizqi Mohon Tunggu... -

Filmmaker, penulis catatan harian, agak doyan typo, udah gitu aja.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sensasi "Jackpot" dalam Novel Romansa Gayo dan Bordeaux

11 April 2018   07:33 Diperbarui: 11 April 2018   08:42 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Antusiasme saya terhadap novel bergenre romantis dari Indonesia mulai turun sejak tahun 2010. Namun saya tetap membaca beberapa novel tersebut disebabkan ratingnya tinggi atau ulasannya di instagram berseliwiran. Beberapa ada yang menarik, beberapa lagi berwujud cerita yang serupa tapi tak sama. Dari cerita -- cerita yang dikemas dalam novel tersebut, banyak yang menggandeng nama kota atau negara-negara lain, seperti Tokyo, London atau Paris dan masih banyak lagi. 

Mungin karena segmentasinya adalah anak muda maka cerita dibuat se-ringan mungkin agar yang membaca puas dengan membawa nilai 'baper' setelah menutup novel mereka. Tetapi  walaupun beberapa orang mengatakan harganya terjangkau namun terkesan menghambur-hamburkan uang bila hanya mendapat 'baper' setelah membacanya.

Ekspektasi saya sebagai pembaca, bila sebuah novel yang judulnya disandingkan dengan nama-nama daerah atau negara maka setidaknya banyak kebudayaan seberang yang bisa saya ketahui. Rasanya seperti jalan-jalan tanpa budget. Saya merasa diuntungkan sebagai pembaca merasakan sensasi belajar kebudayaan lain dengan cerita menarik yang jelas berbeda dari membaca buku fiksi atau travel guide tour.  

Seperti mendapat jackpot ketika saya mengeluarkan uang 100.000-250.000 saya bisa larut dalam sebuah cerita dan kebudayaanya. Masa-masa ketika saya menjadi  mahasiswa  dengan keinginan mendapatkan beasiswa di luar negeri saya pernah merasakan sensasi seperti ini dari novel 'Negeri Van Oranje'.

Walaupun buku yang akan saya ulas kali ini berbeda, namun saya menemukan sensasi bahagia yang sama. Tak serupa namun sama sensasinya, ini kalimat yang tepat untuk menyampaikan perasaan saya pertama kali saat membaca ' Romansa Gayo dan Bordeaux'.

Pertama kali saya mendengar 'Bordeaux' sebuah kota di prancis yang penuh anggur adalah saat menonton program travelling di salah satu stasiun televisi swasta. Salah satu program tv yang menurut saya (setelah sadar) aman untuk dikonsumsi adalah program 'jalan-jalan', jadi program itulah yang suka untuk saya tonton. 

Seperti yang saya sampaikan di atas bahwa menyenangkan sekali rasanya bisa membaca sebuah novel yang berisikan pengetahuan baru namun dikemas menarik. Sehingga pembaca tidak merasa seperti digurui, dibimbing atau mendengar cerita pamer dari orang-orang beruntung yang berkesempatan jalan-jalan ke luar negeri.

Seperti yang saya duga, novel ini berbicara tentang kopi dan anggur. Tapi menariknya, di Novel ini melalui adegan percakapan Win dan Anne-Sophie, Win Wan Nur membahas kopi dan Anggur ini secara sangat serius sehingga saya yang awam tentang anggur jadi paham tentang minuman beralkohol yang merupakan simbol peradaban barat ini. Contohnya pada bab "Gayo dan Bordeaux," kita bisa membaca penjelasan detail tentang jenis-jenis anggur, wilayah tumbuhnya dan cara membedakan kualitasnya. Banyak sekali pengetahuan tentang anggur yang sama sekali tak terduga.

Contohnya seperti kutipan pada Bab Gayo dan Bordeaux ini.

"Hmmm...menarik sekali. Terus aku dengar, anggur itu kalau makin lama disimpan kualitasnya makin bagus dan harganya makin mahal, apa benar begitu?" Tanyanya tanpa malu-malu.

"Ehm...no no no", kata Anne-Sophie mengangkat jari telunjuk dan menggoyangkan pergelangan tangannya.

Win mengangkat tangan, dengan gesture minta penjelasan.

"Sebenarnya tak lebih dari 1% anggur di dunia ini yang bisa disimpan lama. Selebihnya, 99% itu untuk diminum saat itu juga," ujar Anne-Sophie.

"Oh begitu...dan yang 1% itu anggur dari milezim bagus?" Terka Win.

"Bukan hanya milesime bagus, tapi cuma anggur tertentu yang bisa disimpan lama. Selebihnya, kalau penyimpanannya bagus, maksimal sekitar 5 tahun. Lebih lama dari itu rasanya sudah rusak," jelas Anne-Sophie.

 "Oh ya, kalau anggur dikatakan untuk diminum saat ini, itu artinya bisa disimpan sampai 5 tahun, bukan harus diminum begitu selesai dibuat," tambahnya lagi.

Win mengangguk-angguk paham.

"Pasti ada caranya kan, untuk mengetahui anggur yang bisa disimpan lama atau tidak," tanya Win lagi.

"Wah, kalau untuk itu kita harus baca banyak buku dan harus benar-benar ahli. Tapi kalau untuk tahu anggur mana yang tidak bisa disimpan lama, itu lebih gampang. Sederhananya anggur yang harga sebotolnya di kisaran 30-an dollar, itu artinya untuk diminum sekarang. Maksudnya...maksimal disimpan lima tahun."

Lalu hal yang sama terjadi ketika dua tokoh utama dalam novel ini membahas kopi pada bab "Pantai Gapang," mungkin karena penulis novel ini lahir dan besar di Gayo, dimana kopi merupakan urat nadi ekonomi sekaligus bagian dari kehidupannya sehari-hari, pembahasan tentang kopi yang ditampilkan melalui dialog-dialog dalam novel ini membuat kita yang pernah membaca satu novel karya seorang  penulis terkenal dalam novelnya yang mengangkat tema tentang kopi  terlihat cetek dan mengada-ada.

Tapi, meski pembahasan tentang kopi dan anggur ini sangat menarik. Yang sangat tidak saya duga, ternyata itu bukanlah fokus utama novel ini. Tema anggur dan kopi di sini hanyalah pembuka, sementara tema utamanya yang disampaikan sepanjang novel yang mengisahkan hubungan percintaan antara dua anak manusia ini adalah tentang kesetaraan dan anti diskriminasi. Sehingga point menarik yang paling saya tunggu-tunggu menjadi kenyataan.

Di sepanjang novel ini kita disuguhkan tentang jalinan hubungan antar manusia yang menunjukkan bahwa masing-masing peradaban memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing dan bagaimana peradaban dibangun dengan saling mengisi kekurangan itu. Dan berbeda dengan novel karya penulis terkenal lain yang juga menceritakan hubungan antar manusia dari budaya dan peradaban berbeda yang terlihat mengglorifikasi barat. 

Yang menggambarkan manusia dengan segala keunggulan adalah orang-orang yang berasal dari negara barat dan menggambarkan tokoh-tokoh dari negara dunia ketiga sedemikian menyedihkannya sampai disebut "pathetic four," di Romansa Gayo dan Bordeaux,  (setidaknya dari gambaran tokoh utama novel ini) kisah semacam itu tidak akan kita temui. Bahkan yang menjadi tokoh "pathetic" di novel ini berasal dari Amerika.

Selain tema besar itu, Romansa Gayo dan Bordeaux yang settingannya dibuat pada maret 1998, beberapa bulan sebelum jatuhnya Soeharto melalui gerakan reformasi ini juga seolah membawa kita kepada kenangan kelam di masa pemerintahan Orde Baru.

Berbagai tema besar lain, seperti rasisme, filsafat sampai ketuhanan dibahas dalam novel ini dalam kemasan bahasa yang ringan, membuat novel karya kompasianer ini menjadi bacaan yang sangat bergizi. Sehingga harga yang dikeluarkan sangat terjangkau untuk sensasi dan informasi yang didapatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun