Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Awaludien
Muhammad Iqbal Awaludien Mohon Tunggu... Penulis - Penulis konten suka-suka!

Berbagi informasi dan gagasan. Tergila-gila pada sastra, bola, dan sinema. Email: iqbalawalproject@gmail.com Blog: https://penyisirkata.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghargai "The Unsung Hero" dalam Kehidupan

29 Juni 2022   11:33 Diperbarui: 29 Juni 2022   11:41 1737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Atau tukang tambal ban. Lenyapnya mereka adalah bencana besar. Lho saya kan pakai mobil dan punya ban serep? Bukan di tukang tambal ban pula benerinnya kalau kempis! Di antara Anda mungkin ada yang bergumam seperti ini.

Oke, itu artinya bukan untuk Anda. Tapi ini tentang moda transportasi masyarakat kebanyakan yang menurut Badan Pusat Statistik berjumlah 115.023.039 unit pada 2020 di Indonesia. Pada 2022? Wallahualam. Tapi secara historis merujuk ke data BPS tersebut, sejak 1949 jumlah sepeda motor tidak pernah mengalami penurunan di Indonesia.

Siapa lagi? Anak muda yang tanpa pamrih membantu lansia menyebrang di jalan raya. Orang tak dikenal yang bukan sanak saudara tapi dengan senang hati menunjukkan arah bahkan mengantar ke tujuan di kala tersesat. Atau pedagang makanan kaki lima yang menyisihkan jatah khusus untuk para tuna wisma dan tetangga yang membantu saat rumah kebanjiran.

Masih kurang? Silakan Anda tambah sendiri ya daftarnya.

Buat saya pribadi, terlepas dari apa pun profesi dan latar belakangnya, the unsung hero memang selalu ada di sekitar kita. Seperti dulu, waktu pertama saya datang ke Jakarta. Sebagai anak daerah yang norak, mau tak mau, saya dipaksa terpana melihat gedung-gedung tinggi dan manusia Jakarta --  yang saya dapat dari televisi supercuek dan kejam.

jakarta-kompasiana-62bbd408d69ab31b57602052.jpg
jakarta-kompasiana-62bbd408d69ab31b57602052.jpg

Sumber gambar: Kompas.com 

Saya yang baru saja diterima kerja tentu saja harus mencari hunian alias kost untuk tinggal, yang ternyata susahnya minta ampun. Bukan karena tak ada, melainkan kurang cocok. Ya, kurang cocok! Ada yang harganya pas, kondisinya buluk. Ada yang oke punya, tapi harganya membuat saya terpaksa menelan ludah. Ya, kerja aja baru mulai, dapat uang dari mana buat bayar kost yang mahal?

Alhasil, saya memutuskan tidur di masjid untuk melepas lelah ditambah harapan bisa bertanya kepada beberapa jamaah terkait informasi kontrakan murah. Saya tidak ingat nama masjid yang saya tiduri tersebut, tapi saya yakin itu di daerah Slipi. Dan hanya tersisa ingatan samar tentangnya; letaknya tepat di pinggir jalan sebuah kompleks pemukiman padat, berwarna pisang matang, berpagar tinggi dengan lantai agak retak-retak.

Namun, baru saja mata hendak menutup, tetiba sebuah gagang sapu memukul-mukul ringan di pantat. Empunya, seorang lelaki kira-kira berusia lima dasawarsa, berjenggot tipis, sebagian besar memutih. Tatapannya yang awas membuat hati saya ciut dan refleks bangun untuk kemudian tergesa duduk.

"Bangun," Ia berujar dengan tegas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun