Tujuannya, tak lain-tak bukan, agar promosi bisa berjalan dengan efektif, sehingga janji-janji manis berupa keunggulan produk hingga kebaikan-kebaikan dari sebuah campaign tersangkut di benak calon konsumen.
Bahkan, dengan mudah dapat kita amati dalam kehidupan sehari-hari, manusia-manusia marketing di bagian front office umumnya akan lebih ramah dan sopan kepada calon pelanggan yang datang dengan keminggris dan hypebeast, daripada kepada mereka yang bertanya dengan tergagap-gagap, dengan aksen dan dandanan yang ndesit.
Sementara calon pelanggan yang benar-benar membutuhkan namun sayangnya bukan bagian dari target market, ya "diluwehkan" saja.
Kemudian, terkait yang sedang ramai jadi perbincangan belakangan ini yaitu korupsi Menteri sosial yang mengutip iuran ceban untuk setiap paket bantuan sosial, saya curiga, manusia-manusia politik yang sudah bertransformasi menjadi manusia koruptor ini, tidak jauh berbeda seperti saya dalam memperlakukan ikan-ikan di rumah.
Rakyat yang sedang babak belur karena pandemi, para pekerja/buruh yang di PHK, lulusan SMK dan perguruan tinggi yang kesulitan mencari kerja mungkin dianggap tidak perlu dipedulikan.Â
Prioritas tetap perut sendiri. Buat apa coba berbuat baik kepada mereka (baca: ikan kurus kurang makan)? Apa keuntungan yang didapat? Kalau dibandingkan dengan 17 miliar yang dapat membuat sebuah keluarga, kolega, dan teman-teman di partai bergemilang harta di antara jutaan rakyat yang sedang merana.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Hal ini saya pikir, dengan sedikit menukil pemikiran Emanuel Levinas dalam karya Thomas Hidya Tjaya Enigma Wajah Orang Lain (2012), karena kita terlalu sering memandang "sang liyan" (the others) berdasarkan abstraksi dan konsep-konsep rasional.
Sebagai contoh, saya melihat ikan di kolam rumah hanya sebagai sumber protein yang dapat diambil manfaatnya, bukan mahkhluk hidup yang harus diperlakukan adil.Â
Manusia politik cum koruptor, saya berani jamin, pun menganggap rakyat tidak lebih dari sumber suara untuk memperoleh kemenangan. Bukan manusia-manusia yang punya segudang masalah, dari mulai lemah syahwat sampai kebingungan bagaimana caranya bertaubat.
Di depan mereka mungkin kita hanya matriks-matriks dan data berjalan yang dapat diperalat untuk naik ke atas pentas. Bukan seorang makhluk yang memiliki sensibilitas dan bernapas. Jahat, ya? Banget. Namun kita semua pun punya kecenderungan demikian.