Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Awaludien
Muhammad Iqbal Awaludien Mohon Tunggu... Penulis - Penulis konten suka-suka!

Berbagi informasi dan gagasan. Tergila-gila pada sastra, bola, dan sinema. Email: iqbalawalproject@gmail.com Blog: https://penyisirkata.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kita Bukan Manusia, Hanya Seekor "Ikan"

8 Desember 2020   15:16 Diperbarui: 8 Desember 2020   15:27 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image cover: http://www.lettl.de/

Ada dua kolam kecil di rumah. Satu berada di belakang satu di samping. Meski ukuran keduanya sama, saya menerapkan perlakukan berbeda. Apa pasal?

Tidak lain dan tak bukan karena kondisi sirkulasi air. Kolam kecil di belakang mendapat pengairan yang cukup. Ikan nila, mas, dan sepat di sana tumbuh dengan baik. Mereka tidak pernah menengadahkan mulut ke permukaan untuk mencari tambahan oksigen.

Kondisi berkebalikan terjadi di kolam samping. Ikan-ikan di sana yang berjenis kurang lebih sama, sering kali mengap-mengap. Tubuh-tubuhnya pun begitu ramping. Sebuah indikasi bahwa mereka kurang gizi.

Ya, cukup lama saya memang memprioritaskan kolam belakang terutama terkait pemberian pakan. Alasannya sederhana, kolam dengan sirkulasi air yang baik, jika diberi pakan cukup akan membuat ikan-ikan di dalamnya gemuk dan lebih gurih ketika disantap.

Sementara kolam dengan sirkulasi air yang buruk, bahkan asat sama sekali, jika diberi pakan berpotensi besar berguguran alias mati. Lagipula, imbal balik mereka pun tidak sebesar ikan di belakang rumah. Apa sih yang bisa didapat dari ikan kurus selain cucuk di tenggorokan?

Alhasil, saya biarkan saja mereka tanpa pakan. Saat kekurangan air, saya pun tidak ambil pusing. Yang penting ikan di belakang rumah! Berikan mereka yang terbaik, biar manfaatnnya bisa dipetik.

Jahat, ya? Ya, tapi itu manusiawi. Karena kita, sebagai manusia punya kecenderungan berlaku lebih baik kepada siapapun/apapun yang berpotensi memberikan untung. Lebih jauh, niat baik kita tak jarang terjebak dalam pertimbangan untung dan rugi.

Tentu saja saya tidak bisa mengatakan semua individu seperti itu. Namun, dalam aspek kehidupan nyata sulit membantah bahwa ada banyak sekali "kebaikan palsu", tepat berada di depan moncong kita. 

Manusia-manusia politik sebagai misal. Mereka akan tiba-tiba baik saat tiba musim pemilihan legislatif dan eksekutif. Kebaikan ini, umumnya hanya diberikan ke daerah dengan konstituen loyal, atau menurut hasil riset tim politik, potensial dimanipulasi.

Lalu, bagaimana dengan konstituen yang ternyata lebih membutuhkan tapi bukan basis pendukung manusia politik tersebut? Ah, itu urusan belakangan! Yang penting amankan dulu suara.

Dalam dunia pemasaran setali tiga uang. Manusia-manusia marketing akan memilah-memilah manusia ke sebentuk data, demografi, gender, usia, dan pekerjaan, untuk kemudian diberi "pakan" sesuai socioeconomic status (SES). 

Tujuannya, tak lain-tak bukan, agar promosi bisa berjalan dengan efektif, sehingga janji-janji manis berupa keunggulan produk hingga kebaikan-kebaikan dari sebuah campaign tersangkut di benak calon konsumen.

Bahkan, dengan mudah dapat kita amati dalam kehidupan sehari-hari, manusia-manusia marketing di bagian front office umumnya akan lebih ramah dan sopan kepada calon pelanggan yang datang dengan keminggris dan hypebeast, daripada kepada mereka yang bertanya dengan tergagap-gagap, dengan aksen dan dandanan yang ndesit.

Sementara calon pelanggan yang benar-benar membutuhkan namun sayangnya bukan bagian dari target market, ya "diluwehkan" saja.

Kemudian, terkait yang sedang ramai jadi perbincangan belakangan ini yaitu korupsi Menteri sosial yang mengutip iuran ceban untuk setiap paket bantuan sosial, saya curiga, manusia-manusia politik yang sudah bertransformasi menjadi manusia koruptor ini, tidak jauh berbeda seperti saya dalam memperlakukan ikan-ikan di rumah.

Rakyat yang sedang babak belur karena pandemi, para pekerja/buruh yang di PHK, lulusan SMK dan perguruan tinggi yang kesulitan mencari kerja mungkin dianggap tidak perlu dipedulikan. 

Prioritas tetap perut sendiri. Buat apa coba berbuat baik kepada mereka (baca: ikan kurus kurang makan)? Apa keuntungan yang didapat? Kalau dibandingkan dengan 17 miliar yang dapat membuat sebuah keluarga, kolega, dan teman-teman di partai bergemilang harta di antara jutaan rakyat yang sedang merana.

Mengapa hal ini bisa terjadi?

Hal ini saya pikir, dengan sedikit menukil pemikiran Emanuel Levinas dalam karya Thomas Hidya Tjaya Enigma Wajah Orang Lain (2012), karena kita terlalu sering memandang "sang liyan" (the others) berdasarkan abstraksi dan konsep-konsep rasional.

Sebagai contoh, saya melihat ikan di kolam rumah hanya sebagai sumber protein yang dapat diambil manfaatnya, bukan mahkhluk hidup yang harus diperlakukan adil. 

Manusia politik cum koruptor, saya berani jamin, pun menganggap rakyat tidak lebih dari sumber suara untuk memperoleh kemenangan. Bukan manusia-manusia yang punya segudang masalah, dari mulai lemah syahwat sampai kebingungan bagaimana caranya bertaubat.

Di depan mereka mungkin kita hanya matriks-matriks dan data berjalan yang dapat diperalat untuk naik ke atas pentas. Bukan seorang makhluk yang memiliki sensibilitas dan bernapas. Jahat, ya? Banget. Namun kita semua pun punya kecenderungan demikian.

Jadi bagimana semestinya manusia berperilaku? Aduh maaf saya cuma mengigau sehingga tak mampu menjawabnya. Selain itu, saya kan cuma seekor "ikan" yang kebetulan memelihara ikan. Itu saya, lalu bagaimana dengan Anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun