Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Awaludien
Muhammad Iqbal Awaludien Mohon Tunggu... Penulis - Penulis konten suka-suka!

Berbagi informasi dan gagasan. Tergila-gila pada sastra, bola, dan sinema. Email: iqbalawalproject@gmail.com Blog: https://penyisirkata.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Belajar Menjalani Kehilangan dari "Manchester by The Sea"

30 November 2020   17:33 Diperbarui: 1 Desember 2020   09:48 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu gambaran latar film Manchester By the Sea. (Sumber gambar: architecturaldigest.com)

Sebuah film yang mudah diikuti. Apalagi kalau Anda seseorang yang sangat menggemari film drama keluarga. Manchester By the Sea (2016) adalah sebuah karya sinematik yang agung tentang kesunyian, perasaan depresif dan kehilangan, juga akting yang memikat.

Ini bisa dibilang film tentang kehidupan itu sendiri. Tetap fiksi, karena tidak mencantumkan credit "Berdasarkan Kisah Nyata". Namun, kisah dan konflik yang disajikan bisa menimpa kita semua. Tidak peduli Anda berasal dari belahan bumi mana dan berlatar belakang apa.  

Buat Anda yang kuat dan suka menonton film sepi seperti Paterson (2016), film yang isinya cuma dialog semacam Before Sunrise (1995), dan drama keluarga dengan humor tipis-tipis, kemungkinan besar akan menyukai Manchester By the Sea. 

Siap-siap saja, selama dua jam lebih Anda akan disajikan kehidupan Lee Chandler (Casey Affleck), nelayan pemabuk yang akibat keteledorannya saat teler, menyebabkan tiga orang anaknya terbakar hidup-hidup di dalam rumah. Beserta Patrick Chandler (Lucas Hedges), keponakan Lee, anak SMA yang baru saja berkabung atas kematian ayahnya -- Kakak Lee.

Kematian orang-orang yang dicintai menjadi plot penting bahkan bisa dikatakan premis utama dari film. Karena memang, Manchester by The Sea merupakan cerita tentang interaksi antara Lee dan Patrick. 

Paman dan keponakan yang berbeda generasi tapi sama-sama mengalami kehilangan. Dari sini, menariknya, kita dipaksa (dengan ikhlas) untuk melihat cara berbeda yang mereka pilih untuk menyembuhkan luka.

Lee, sebelum kejadian nahas itu terjadi, adalah pribadi ceria yang sangat menikmati hidup. Memiliki istri yang cantik, Randi (Michelle Williams), dan ketiga orang anak yang imut. Lalu, pasca tragedi, ia berubah menjadi seorang antisosial, tak ramah, dan menarik diri dari society. Randi pun meninggalkannya bahkan mengutuknya.

Sementara Patrick seakan tidak ambil pusing atas kematian ayahnya. Padahal, di dalam suatu adegan jelas-jelas ia menangis terisak-isak di depan kulkas, dan saat ditanya Lee, Patrick tak dapat menjelaskan mengapa. 

Berbeda dengan pamannya yang memilih menjadi pemurung, Patrick justru aktif mencari kesibukan. Mulai dari bermain band sampai memacari banyak gadis. Pelarian tipikal seorang anak muda, bukan? Hehe.

Sumber gambar: www.dvdizzy.com
Sumber gambar: www.dvdizzy.com
Tidak ada taburan pesan dan khotbah di dalam film. Hal ini bagus, mengingat kalimat berbusa-busa yang motivasional sering kali bikin pengin muntah. Akibatnya, film jadi kehilangan sisi hiburan dan perkembangan karakter karena semuanya disetir kata-kata.

Manchester by The Sea tidak begitu. Meski ingin menyampaikan pesan bahwa hidup harus tetap dijalani, sesulit apa pun, kita mesti move on dari kehilangan yang paling nyeri. Di film ini tidak ada karakter sok intelek yang berupaya menjadi pahlawan dengan kata-kata sakti.

Baik Lee maupun Patrick, tidak mencoba menjadi malaikat penolong satu sama lain. Kalau Anda menyangka bakal ada adegan "pukpukpuk" dari seorang paman bijak yang memberikan banyak petuah kepada keponakannya atau keponakan yang tiba-tiba dewasa karena belajar dari sebuah kehilangan, Anda 100% salah.

Hubungan Lee dan Patrick malah seru dengan saling silang pendapat, pertengkaran, dan sikap tak mau mengalah yang kekanak-kanakan di antara keduanya. Namun di sinilah letak keunggulannya. Film jadi tidak terjebak pada melankolia yang mengharu biru. Akan tetapi, menyiratkan rasa depresi dan kehilangan yang terwakilkan oleh gestur, ekspresi, dan dialog yang realistis. Membuat kita, lagi-lagi dipaksa, berempati dan merasakan kehilangan Lee dan Patrick.

Setting film adalah sebuah pelabuhan kecil di pinggiran Amerika Serikat, Manchester, Massachusetts, yang bersalju, mendung melulu, dan score musik yang nyaris selalu diwakili oleh angin dan desah napas kedinginan pemeran utamanya. Semua itu sangat mendukung nuansa film. Puitis, depresif sekaligus heartwarming.

Salah satu gambaran latar film Manchester By the Sea. (Sumber gambar: architecturaldigest.com)
Salah satu gambaran latar film Manchester By the Sea. (Sumber gambar: architecturaldigest.com)
Lantas apakah antara Lee dan Patrick bisa berdamai satu sama lain juga dengan kehilangan serta masa lalunya? Saya sarankan Anda menontonnya sendiri. Tidak bakal rugi, daripada terus meratapi banyak kesempatan yang hilang karena pandemi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun