Manchester by The Sea tidak begitu. Meski ingin menyampaikan pesan bahwa hidup harus tetap dijalani, sesulit apa pun, kita mesti move on dari kehilangan yang paling nyeri. Di film ini tidak ada karakter sok intelek yang berupaya menjadi pahlawan dengan kata-kata sakti.
Baik Lee maupun Patrick, tidak mencoba menjadi malaikat penolong satu sama lain. Kalau Anda menyangka bakal ada adegan "pukpukpuk" dari seorang paman bijak yang memberikan banyak petuah kepada keponakannya atau keponakan yang tiba-tiba dewasa karena belajar dari sebuah kehilangan, Anda 100% salah.
Hubungan Lee dan Patrick malah seru dengan saling silang pendapat, pertengkaran, dan sikap tak mau mengalah yang kekanak-kanakan di antara keduanya. Namun di sinilah letak keunggulannya. Film jadi tidak terjebak pada melankolia yang mengharu biru. Akan tetapi, menyiratkan rasa depresi dan kehilangan yang terwakilkan oleh gestur, ekspresi, dan dialog yang realistis. Membuat kita, lagi-lagi dipaksa, berempati dan merasakan kehilangan Lee dan Patrick.
Setting film adalah sebuah pelabuhan kecil di pinggiran Amerika Serikat, Manchester, Massachusetts, yang bersalju, mendung melulu, dan score musik yang nyaris selalu diwakili oleh angin dan desah napas kedinginan pemeran utamanya. Semua itu sangat mendukung nuansa film. Puitis, depresif sekaligus heartwarming.
Lantas apakah antara Lee dan Patrick bisa berdamai satu sama lain juga dengan kehilangan serta masa lalunya? Saya sarankan Anda menontonnya sendiri. Tidak bakal rugi, daripada terus meratapi banyak kesempatan yang hilang karena pandemi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H